Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Donasi Buku Anak untuk Adik Thallasemia

5 November 2013   21:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:33 114 2

Hari ini(5/11/2013) tepatnya pukul 10 lewat 15 menit, kami sampai di Rumah Sakit Umum. Aku dan Tana sudah membawa seonggok buku-buku yang sudah dikumpulkan. Sumber buku ini ada yang dari pribadi, teman-teman kampus dan Forum Lingkar Pena Lampung, dan FL cabang Bandarlampung.  Buku yang kami bawa tak banyak memang. Hanya 18 buku, namun jadilah sebagai perlambang betapa pedulinya kami untuk adik-adik Thallasemia, supaya mereka tetap membaca apapun kondisinya. Bukankah buku jendela dunia?

Sebelumnya, kami memang sudah menghubungi pihak yang akan menyambut kami. Ciyee, bukan pihak sebenarnya. Beliau juga salah seorang calon tenaga kesehatan, calon dokter  yang sedang bertugas sebagai Co assistan dokter. Masih ingat dengan artikelku “ Kuliah Malam bersama Kak Nora Ramkita, S.ked “ ? nah beliau ini juga yang memiliki ide untuk donasi buku bagi para adik-adik Thallasemia. Mungkin dari pengamatannya, bahwa para adik yang sebagian besar harus rutin tranfusi darah ini, sangat menghargai waktu mereka. paling lama 4 jam, waktu mereka menghabiskan 1 kantung darah untuk masuk ketubuh mereka, namun mereka tetap mempergunakan waktu sebaik mungkin dengan membaca buku. Tak heran kalau ada perpustakan kecil disudut ruangan, walaupun sebagian besar adalah komik, toh bisa menghibur diri mereka dikala bosan melanda. Tak hanya itu, kak Nora juga yang menyebarluaskan info mengenai program blood4Lampung yang di prakarsai oleh mas Yopie Pangkey lihat artikel dari bang Adian Saputra (Yopie Pangkey "Pahlawan buat Penderita Talasemia ) melalui Blood4Lampung sebagai tempat/menjamin ketersediaan darah bagi para penderita Thallasemia di Lampung. Jadi Program blood4Lampung adalah satu anak penderita Thallasemia memiliki 10 kakak asuh, 10 kakak asuh ini bersedia mendonorkan darahnya untuk si adik asuh, tentunya dengan ketentuan tiap 3 bulan rutin, tak mungkin tiap bulan kita donor darah. Kemudian jika sang pendonor ternyata kadar HB, berat badan minimal 45 kg tak mencukupi,  si pendonor darah bisa digantikan oleh kakak asuh lain yang masuk kategori boleh mendonorkan darah. Lumayan, dari kampusku sendiri ada kira-kira 8 orang yang bersedia mendaftar sebagai pendonor dan satu orang kakak yang baru saja lulus dari poltekkes yang pula mendaftar.

Oke kembali lagi kisah awal. Kami menunggu sebentar di ruang Thallasemia, kebetulan Ka Nora tugas jaga di Alamanda, ruang Alamanda dan thallasemia sangat dekat, ruang Thallasemia di Rs ini seperti ruangan perawatan biasa bedanya, ruangannya tersendiri, ada banyak bed disana, dan di dekat pintu ada meja dan peralatan tindakan untuk mereka, seluruh penderita thallasemia. Kami disambut ramah dengan ka Nora, dengan pakaian dinas serba hijau dan jilbab hijaunya, di lehernya ter-kalung sebuah stetoskop pink dan sebuah tas kecil. Ya, jadi ingat, dulu kalau dinas di Alamanda harus sedia peralatan, gunting, kasa, plester dan lain-lain terutama gunting, karena di ruang anak ini memang infus menggunakan kasa gulung dan papan lembut agar tak terjadi pergerakan pada selang infus, sedangkan para anak sulit sekali untuk tenang. Iya, di tas kecil itu berisi segala peralatan gunting, plester dan lain sebagainya.

Kami masuk ke ruangan.  Di dalam ruangan kira-kira ada 4 orang pasien, beberapa sedang tranfusi dan selebihnya sedang masa perawatan. Aku keluarkan semua buku yang ada di tas. Lumayan banyaak. Kemudian ka Nora mengeluarkan sampul plastiknya, dan kami ketempat yang lebih nyaman untuk menyampuli buku yang dibawa, agar tetap awet. Di ruangan sebelah yang dipisahkan bilik papan kami mulai menyampuli buku satu persatu. Di bilik itu juga berisi tempat tidur para pasien, namun pasiennya tak ada, tak seramai biasanya. Ka Nora juga menyumbangkan 2 bukunya, buku dongeng bilingual. Sambil  menyampuli buku satu persatu sambil bincang, ada seorang ibu yang menghampiri kami. ibu itu sepertinya memang selalu rutin tiap bulan di ruang thallasemia, untuk menemani anaknya tranfusi darah.

“Nah, gitu dong, daripada buku bacaannya gak terpakai, mendingan ditaro disini biar anak-anak pada baca..” tutur si ibu sambil tersenyum. “Makasih ya mbak..” lanjutnya kemudian.

Kami balas dengan anggukan takzim.. “Iya ibu, sama-sama..” jawab kami bersamaan.

Tak lama ada seorang bapak yang membawa peralatan infus beserta satu kantung darah yang berada di dalam wadah.

“Dok, ini darahnya..” tutur si bapak.

“Oh iya..” kata ka Nora sambil sedikit melanjutkan sampulan plastik dibuku itu.

“Tuh pasang ya.. kan udah pakai baju dines..” tutur ka Nora sambil senyum jahil.

Aku menghampiri si bapak, melihat anaknya.

“Kelas berapa dik?”

“Kelas  4 SD..” Jawab si Adik lelaki ini sambil tersenyum malu. Melihat si adik yang berbadan mungil ini, melihat area pembuluh di tangannya. “Tipis banget pembuluhnya..” ucapku dalam hati. Daripada dipaksa melakukan tindakan, dan itu menyakitkan si adik, kalau tusukan infusnya sampai lebih dari sekali, mending aku laporan deh...

“Kak, belum dipasang jarum infusnya, belum berani pasang infus sama anak-anak kak. Pembuluhnya tipis..”

Dengan sigap, ka Nora meletakkan sebentar sampulan plastik, dan menyiapkan tindakan, aku mengaliri cairan Nacl pada selang supaya tak ada udara disana, tana menyiapkan plester, dan ka Nora menyiapkan peralatan lain. Mulai terlihat wajah ketakutan dari si anak, wajahnya yang pucat itu.. selalu menatap kearah ayahnya yang berdiri di sebelah tempat tidurnya.

“Yah.. Ayah...” ucapnya memelas sambil menatap ayahnya.

“Gak sakit kok, di gigit semut sedikit..” tutur ka Nora sambil menenangkan dan mulai memasukkan jarum pamflon ukuran kecil itu ke pembuluh si adik.

“Yah.. udah kan Yah.. Yah..” ucap si adik memelas. Padahal si jarum infus sudah terpasang.

“Udah ni.. udah..” Plester segera dipasang selang dari plabot telah dimasukkan, dan cairan telah dijalankan. Tinggal memasang plester dan merapikan. Memasang papan lembut ditangannya, membiarkan aliran Nacl dalam beberapa menit, kemudian kami malanjutkan menyampul plastik lagi. Setelah beberapa menit, aku diintruksikan memasang selang pada kantung darah. Membiarkannya mengalir deras, sampai menuju pembuluh si adik, kemudian mengatur jumlah tetesan darahnya.

Kami melanjutkan kegiatan, sedikit lagi selasai, buku-buku akan rapi. Bincang hangat dan tawa mungkin sering terdengar, berbagai cerita dari ka Nora mengenai aktifitasnya dinas di ruangan. Terutama ruangan Alamanda yang tak asing bagi ku dan Tana, karena kami pernah dinas disana, walau hanya 4 hari. Kejadian yang mungkin diluar dugaan, kalau pasien bayi kesayangan di ruang perinatologi sudah meninggal.  Ka Nora juga share ilmunya mengenai Thallasemia, mengenai berbagai pemeriksaan dan pengobatan bagi penderita, dan pencegahan dini yang ditekankan. PERIKSA KESEHATAN DIRI DAN PASANGAN SEBELUM MENIKAH. Karena penyakit Thallasemia terjadi jika pasangan suami istri sama-sama memiliki bawaan/carier thallasemia, mungkin beberapa tidak menyadari. Karena memang jika hanya pembawa Thallasem, si pembawa tidak merasa sakit atau kekurangan HB, karena hanya pembawa saja, tak jarang pasangan tak mengetahui keadaan fisiknya. Sedangkan jika si pembawa/carier thallasemia menikah dengan seseorang yang normal tanpa bakat thallasem, anak yang dihasilkan akan normal, walaupun ada satu orang yang memiliki sifat pembawa thallasem tersebut. Jadi, pencegahan dini itu harus dilakukan, karena kasian si anak, jika harus merasakan sakitnya ditusuk jarum infus berkali-kali dalam setahun. Namun tetap itu semua pilihan, dan tentu penyakit, hidup dan mati, Alloh SWT yang  mengatur. Namun jadikanlah takdir terbaik miliki hidup kita. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?

Tak luput dari bahan obrolan, mengenai rencana selanjutnya untuk masa depan. Pemikiran ka Nora yang gak mau kerja sama orang, “Nanti maunya kerja sendiri, buat klinik gitu, kalo kerja sama orang gajinya kecil.. Hm.. mungkin diawal kerja di puskesmas atau klinik orang dulu untuk mengumpulkan modal usaha mandiri..” tuturnya sambil terus menyampuli buku satu persatu.

“Kalo mau buat klinik sendiri, perawatnya udah siap kak!” godaku sambil melirik tana *kode. Hahaha

“Oh ya boleh-boleh..” sambung ka Nora dengan tawa. Kemudian menggoda Tana yang sampai sekarang belum siap ikutan donor darah, takut jarumnya yang besar. “Ayolah Tana, donor darah, supaya seger tidur nyenyak..”

Tapi tetap saja, Tana ogah mencoba yang namanya donor darah. ckck

Selesai membungkus semua buku, kami mulai merapikannya. Memberinya nama. Dan berdokumentasi Ria. Alias berfoto-foto sejenak, sebagai lambang sudah di terimanya buku ini. Kemudian kami juga foto bersama dengan seorang adik yang sedang tranfusi darah. Sambil terduduk ia sambil membaca buku yang telah disediakan. Bahkan sang ayahnya pun turut membaca sambil menanti anaknya selesai di tranfusi darah. Tak salah, bahan bacaan yang dipilih si bapak adalah majalah Bobo. Mungkin si bapak ingin mengenang masa kecilnya. Hehe

Oh ya, pesanku, tetap berjuang  untuk sehat dan segar bugar ya, para adik thallasemia. Semua orang disekitar sayang pada kalian dan selalu mendukung kalian. Miliki jiwa yang kuat dan miliki pemikiran yang kokoh melalui media baca. Salam hangat, segar selalu, tetap berjuang ya dik! : )

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun