Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Mencari Lawan Jokowi - Si Manusia Setengah Dewa

18 Desember 2013   03:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:48 1204 2
Proses pencarian lawan tanding Jokowi ini adalah keniscayaan untuk menghadirkan banyak pilihan baik diantara yang terbaik. Kita sudah terlalu lama harus menerima kondisi memilih terburuk diantaranya yang terburuk. Jika Jokowi dibiarkan melenggang sendirian dalam pertarungan Pilpres mendatang, boleh jadi kita akan menelan kembali kekecewaan terlalu berharap dengan popularitas busa sabun, besar menggelembung tapi hanya setitik air.

Pada artikel sebelumnya "Epos Jokowi Sang Demigod" telah dijelaskan alasan apa yang melatarbelakangi "penasbihan" Jokowi sebagai Calon Presiden Setengah Dewa. Alasan-alasan penasbihan tersebut antara lain, popularitas Jokowi tak terkalahkan oleh bakal calon Presiden manapun. Lalu soal partai, apapun partainya bahkan partai gurem sekalipun, berpotensi menjadi pemenang bila mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Dan kebijakan apapun yang dibilang baik oleh Jokowi akan diterima publik sebagai kebijakan yang baik, vice versa.

Bahkan Foreign Policy melihat Jokowi sangat populer, "sehingga muncul istilah Jokowimania. Jika ia maju dalam pemilihan presiden, ada kemungkinan ia akan sulit dikalahkan. Ada harapan bahwa jika ia menjadi presiden, ia akan mengulangi prestasi baiknya selama ini," demikian ulas Majalah bergengsi di AS itu. Hal senada juga ditulis dalam artikel New York Times "In Indonesia, a Governor at Home on the Streets".

Mencari lawan tanding yang sepadan Jokowi untuk bertarung dalam pemilihan Presiden 2014 menjadi agenda yang penting saat ini. Jokowi sang Manusia setengah dewa akan dengan mudah melumat lawannya yang cuma kurcaci PEMALU alias pemain masa lalu. Semua nama yang menjadi pesaing Jokowi saat ini adalah orang-orang yang menjadi bagian dari rezim-rezim masa lalu. Dan Jokowi tampil sebagai harapan baru. Namun mengapa hanya Jokowi saja?

Mari, Kita Cari Lawan Tanding Untuk Jokowi

Jokowi terlalu digdaya namun juga sekaligus bisa menjadi ancaman demokrasi. Ancaman karena Jokowi ternyata meraksasa di hadapan para kurcaci PEMALU. Para petarung arena Pilpres hanya nama-nama hasil daur ulang atau replikasi elit politik. Para petarung yang memaksa diri masuk gelanggang setelah dikalahkan pada petarungan sebelumnya. Sedangkan di sisi lain, masyarakat menginginkan perubahan. Namun yang tersedia hanyalah Jokowi. Hal ini sangat disayangkan, karena dengan munculnya Jokowi tidak saja bisa mengalahkan para kurcaci PEMALU, namun juga menghalangi munculnya tokoh lain. Jokowi memang tampil sebagai harapan baru. Namun mengapa hanya Jokowi saja?

Kepemimpinan nasional adalah tema sentral dalam kancah politik satu tahun ke depan. Sistem pemerintahan Republik ini adalah Presidensial. Lembaga Kepresidenan memegang posisi kunci dalam jalannya pemerintahan. Namun seleksi kepemimpinan nasional hanya memberikan jalur dari partai politik. Kita tidak mungkin mengharapkan munculnya kepemimpinan nasional dari luar jalur tersebut. Namun, permasalahannya adalah, partai politik telah dikuasai oleh oligarki elit pemilik modal dan para "fans ababil tim hore-hore". Ini berakibat masyarakat menjadi apatis dan teralienasi dari politik. Dan juga sangat tidak percaya dengan partai politik. (hasil survey IPI, Juni 2013).

Jokowi muncul juga dari jalur yang tidak diperkirakan. Karirnya politiknya terbilang baru dimulai saat "didorong" mencalonkan diri sebagai Walikota Solo pada 2005 lalu oleh Ketua DPC PDIP Solo, F.X. Hadi Rudyatmo. Jelas, Jokowi bukan produk seleksi dan kaderisasi dari Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP). Jokowi bukanlah kader inti atau kepengurusan DPC PDIP. Dia hanyalah simpatisan PDIP. Hanya perlu 8 tahun bagi Jokowi untuk mencapai puncak bursa pemimpin nasional. Terbilang singkat jika dibandingkan dengan para pesaingnya yang harus melata memanjat pohon karir politik selama berpuluh-puluh tahun. Jokowi muncul dari partai politik yang mempunyai budaya politik "dibawah lindungan mamak banteng". Kehadirannya seolah-olah menjadi saingan bagi "mamak banteng" pemilik tunggal partai tersebut.

Jika memang proses pengkaderan PDIP, sebagaimana perang dan fungsi partai politik sebagai ajang pembentukkan dan seleksi kepemimpinan, berjalan dengan baik. Maka pasti sudah banyak Jokowi-Jokowi lainnya. Namun PDIP bisa dikatakan sangat langka menetaskan kader mumpuni. Berapa nama seperti Ganjar Pranowo, Rieke Dyah Pitaloka memang bisa disandingkan dengan Jokowi, namun itupun seperti "kurcaci" dihadapan 'si manusia setengah dewa' ini. Buktinya, mereka selalu menggunakan "Jokowi Effect" dalam perhelatan Pilkada di wilayah mereka. Singkatnya, lawan tanding Jokowi tidak mungkin berasal dari internal PDIP. Bahkan, yang terburuk, elit partai ini kemungkinan besar akan mendorong "mamak banteng" untuk mencalonkan diri kembali. Agar Jokowi tidak muncul dikancah Pilpres. Sehingga memberikan nafas bagi pesaing dekat Jokowi untuk bermanuver.

Situasi yang sama juga terjadi di Partai Politik lainnya. Sebut saja Partai Golkar. Pada tahun 2003, Partai Golkar menjadi pelopor mekanisme seleksi calon presiden dengan melaksanakan Konvensi Calon Presiden Partai Golkar. Hasilnya pelaksanaan Konvensi Capres Partai Golkar mengantarkan partai tersebut menjadi jawara di Pemilu Legislatif 2004. Namun sayang, keberhasilan di pemilu legislatif tidak diiringi sukses di pemilu presiden. Golkar ambruk! Dan sampai saat ini sepertinya Golkar menderita kutukan untuk tidak akan pernah bisa memenangkan kadernya diusung sendiri dalam pemilihan presiden. Tidak berlebihan jika menyebut Golkar memiliki lapis kader yang berkualitas, merata dan tersebar dari berbagai spektrum. Banyak tokoh muda yang sebenarnya bisa disandingkan dengan sebagai lawan tanding Jokowi. Namun apa daya, Golkar masih terjebak syndrome Group Think dengan berpatron pada lingkaran penguasanya, Aburizal Bakrie. Ketua Umum Partai tersebut telah jauh hari mencalonkan diri sebagai Calon Presiden Partai Golkar, terhitung sejak penetapan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Juli 2012. Tapi walau sudah melakukan kerja-kerja politik yang maksimal, Ical cukup sukses menjadi Capres dengan elektabilitas berdigit satu koma. Partai ini juga menyimpan "bom waktu perang Bharatayudha" saat Ical habis masa jabatannya, kelahi merebut Ketua Umum pada 2015 mendatang. Jadi kita biarkan saja mereka kelahi daripada sekongkol.

Partai Demokrat sekarang juga telah latah mengikuti sukses Konvensi yang pernah dirasakan oleh Partai Golkar. Namun apa lacur, upaya gaya-gayaan ini tersandung dengan indikasi dugaan skandal korupsi SKK Migas yang melibatkan kader teras Partai milik keluarga Cikeas itu. Selain itu, Partai dengan logo Mercy ini terperosok ke titik terendah elektabilitasnya. Balik modal, kembali ke angka elektabilitas di bawah satu koma seperti saat masa jelang Pemilu 2004. Sebenarnya, jika saja Anas Urbaningrum tidak "dicongkel" maka boleh jadi dia bisa menjadi lawan tanding yang sepadan untuk Jokowi.

Begitu pula PKS. Sebaiknya kita tidak usah repot-repot menghitung Capres dari PKS. Tradisi PKS memang selalu menunggu di tikungan. Selama 10 tahun, PKS telah menikmati berkerja menjadi bagian dari rezim dan memperkaya pundi-pundi elitnya. Partai ini tidak punya tradisi menjadi petarung dalam kancah politik. Kalau tradisi dibully mereka memang sudah tidak tahu malu dan malu-maluin kelompok politik Islam.

Saya sitir kembali pernyataan Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Prof. Hamdi Muluk "Mau jadi pejabat, harus lewat fit and proper test di DPR. Orang di DPR itu asalnya dari parpol. Penyakit parpol itu, ada kader yang baik tapi tidak dimunculkan. Karena parpol tidak jadi partai publik. Oligarki semua. Yang dekat cukong, yang maju mencalonkan," ujarnya saat rilis survei Cyrus Network, Minggu (15/12/2013) di Graha Pejaten sebagaimana yang dikutip dari media online Tribunnews.

Singkatnya, tidak ada kemungkinan untuk menggali lawan Jokowi dari latar belakang Partai Politik. Lalu dari mana kita bisa mencari lawan tanding yang sepadan untuk Jokowi. Mari kita tengok sumber-sumber kepemimpinan konvensional dalam politik Indonesia. Kita akan menemukan sumber dari latar belakang yang lumayan variatif. Misalnya, dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), lalu akademisi atau cendikiawan, Organisasi masyarakat dan Pengusaha. Kemudian ada sumber-sumber baru yang saat ini muncul seiring dengan fenomena Jokowi, dari kepala daerah dan birokrasi.

Sumber-Sumber Kepemimpinan Konvensional

Mari kita ulas, sumber pertama biasanya kita akan menyorot Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai alat negara, militer memang sering menyumbang calon kepemimpinan nasional. Indonesia pernah punya pengalaman di sini. Soeharto dan SBY adalah produk militer khususnya Angkatan Darat. Sempat beberapa nama seperti Wiranto dan Prabowo ikut dalam kompetisi pilpres, walau tumbang dan saat ini mereka bernafsu kembali untuk turun gelanggang. Nama baru kemudian beredar, tak lain adik ipar SBY, Pramono Edhie Wibowo Mantan Kepala Staff Angkatan Darat. Kepemimpinan militer adalah kepemimpinan yang paling kompleks dalam pengalaman. Merintis karir dari jenjang terbawah komando sampai level tertinggi. Sehingga para Jenderal adalah sosok yang kaya dengan pengalaman pengambilan keputusan. Tapi untuk saat ini, tidak ada bintang yang bersinar dari lingkungan TNI. Selama lebih 10 tahun, masa SBY, TNI seperti tidak bisa melahirkan sosok baru kecuali adik ipar Presiden. Sangat disayangkan jika kali ini kita tidak bisa mengharapkan siapapun dari TNI.

Kemudian ada kelompok akademisi atau cendikiawan. Sumber ini memang sering disebut sebagai kelompok "kancil pilek" alias paling alergi dengan politik praktis. Namun, Indonesia mempunyai contoh pimpinan nasional yang berasal dari kalangan ini. Sebut saja BJ. Habibie, teknokrat ulung yang sempat menjadi Presiden pada masa transisi, detik-detik yang menentukan. Dalam beberapa Pemilihan Presiden, sempat beberapa cendikiawan meramaikan bursa. Sebut saja Amien Rais, Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada. Atau Alm. Nurcholis Madjid yang sempat masuk bursa konvensi calon presiden Partai Golkar pada tahun 2003, walau mundur dengan alasan 'GIZI'. Dan Budiono, ekonom yang awalnya digandeng Megawati masuk ke jajaran kabinet dan akhirnya dipersunting SBY sebagai Wakil Presiden. Untuk kalangan cendikiawan dan akademisi saat ini kita akan menemukan nama Anies Baswedan.

Selanjutnya dari kelompok organisasi masyarakat. Kita pernah punya beberapa nama yang bertarung pada Pilpres sebelumnya. Sebut saja KH. Sholahudin Wahid yang sempat berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2004. Kemudian kita punya sejarah dipimpin KH. Abdurrachman Wahid, mantan ketua PB Naahdlatul Ulama yang terpilih menjadi Presiden melalui Sidang Umum MPR tahun 1999. Untuk saat ini, kita bisa mengajukan Tri Mumpuni, seorang sosial intepreneur, yang berhasil dengan mistrik mikro hidronya di desa-desa terpencil. Atau Ketua Serikat Petani Pasundan, organisasi petani terbesar di Indonesia. Alasannya sederhana, jenjang karir dalam organisasi kemasyarakatan adalah jenjang yang cukup menguji kualitas kepemimpinan. Kita perlu membuka mata dengan kemampuan pengorganisasian masyarakat. Di beberapa negara, kita bisa menemukan tokoh sekaliber Lench Walesa, pimpinan serikat buruh Polandia, seorang yang membawa Polandia selamat dari masa transisi pasca runtuhnya Blok Timur di akhir perang dingin. Juga Barrack Obama, Presiden AS ini awalnya adalah aktivis sosial yang menjalani pengkaderan di Partai Demokrat.

Lalu ada kelompok pengusaha. Mengapa tidak? Jusuf Kalla ada seorang pengusaha. Kita bisa melihat kepemimpin seorang pengusaha yang bisa melakukan penyederhanaan terhadap persoalan rumit dan mengambil keputusan dengan tepat dan efisien. Kita perlu mendorong pengusaha Indonesia yang telah selesai dengan hidupnya untuk berbakti pada Republik ini. Mereka telah mendapatkan banyak hal dari Republik ini dengan usahanya. Saatnya kita dorong mereka bertanggungjawab dengan mengelola kerumitan negara ini. Satu hal yang jelas, bertahan dalam bisnis hampir mirip bertahan dalam politik. Bedanya, pengusaha sangat efisien dalam pengambilan keputusan. Untuk kelompok ini memang ada nama Aburizal Bakrie, namun ini kita tidak bisa serta merta menilai pengusaha sebagaimana kita menilai Ical. Kita perlu memilih mereka yang tidak berhutang, tidak terlibat kasus hukum, terlibat jaringan mafia, pengemplang pajak, penyuap birokrasi atau singkatnya mereka yang clean and clear. Kita bisa mengambil contoh bagaimana Thaksin Sinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand. Basis dukungan Thaksin bukan dari kelas menengah perkotaan tapi justru kelas bawah di pedesaan. Kisah sukses Thaksin, walau akhirnya di kudeta militer, adalah sekedar contoh bagaimana pengusaha bisa diperhitungkan.

Kemudian sumber kepemimpinan baru. Kita menemukan kelompok kepala daerah dan birokrat. Fenomena kepala daerah yang punya kualitas yang patut dijajal dalam kancah seleksi kepemimpinan nasional diawali oleh Jokowi. Banyak kisah sukses kepala daerah di Indonesia, namun memang belum diketahui, maklum saja NKRI masih sangat Jakarta sentris. Kita menemukan nama-nama yang layak diperhitungkan, misalnya Basuki Tjahja Purnama (Ahok) Wakil Gubernur DKI Jakarta, lalu Tri Rismaharini Walikota Surabaya. Dulu jalur karir kepala daerah adalah berharap menjadi menteri, jika dia Gubernur, atau Gubernur, jika dia Bupati Walikota. Tapi, dengan fenomena Jokowi, bukan tidak mungkin walikota menjadi Calon Presiden. Kita ingat bagaimana walikota Tehran, Iran, Ahmadinejad berhasil terpilih menjadi Presiden Iran pada 2005. Singkatnya, kita bisa mencari sumber kepemimpinan nasional dari kepala daerah dan birokrasi.

Bagaimana Prosesnya?

Apakah nama-nama alternatif sebagai calon lawan tanding Jokowi akan bisa mendapatkan tiket untuk masuk gelanggang Pilpres? Jawabnya, bisa. Mari kita ingat lagi, siapa Jokowi pada tahun 2011, hanya Walikota Solo. Bagaimana dia bisa masuk Jakarta. Karena desakan dan aspirasi perubahan, walau agak naif, namun ini memang sudah menjadi fakta. Siapa yang menyangka kita bisa memenangkan Ahok, minoritas dalam pertarungan Pilkada paling "berdarah" dalam sejarah pemerintahan daerah pasca reformasi. Namun faktanya, kita bisa menyaksikan sepak terjang duet kepemimpinan Jokowi-Ahok membereskan Jakarta. Harapan kita tentang kepemimpinan yang melayani lambat laun mulai terwujud. Singkatnya, kita bisa memaksa Partai Politik untuk menampilkan lawan tanding Jokowi dengan suara dan opini kita.

Timbul pertanyaan, mengapa repot-repot mencari lawan tanding Jokowi? Mengapa tak dibiarkan saja Jokowi bertarung dan memenangkan Pilpres. Saya sendiri sependapat biarkan Jokowi menghabisi kurcaci-kurcaci PEMALU tersebut. Tapi, biaya trilyunan rupiah terlalu sayang untuk menyaksikan pertarungan yang sudah bisa dipastikan pemenangnya. Tidak Seru! Selain itu, bukan tidak mungkin kekuatan kurcaci PEMALU akan berkonsolidasi untuk menjegal Jokowi masuk gelanggang. Dalam politik semua kemungkinan bisa saja terjadi. Lalu, ini paling penting, kapan kita punya pilihan yang terbaik diantara yang terbaik. Jika Jokowi sebagai simbol harapan sendiri yang maju bukan tidak mungkin kita hanya membeli popularitas dan bukan gagasan.

Sudah saatnya, kita meluangkan waktu kita, memanfaatkan kedaulatan kita yang cuma bisa dipakai lima tahun sekali dalam Pilpres dengan mendorong calon-calon berkualitas setara Jokowi untuk ada gagasan dan konsep. Singkatnya, jangan berikan lagi panggung pada kurcaci masa lalu. Mari kita siapkan panggung untuk para pembawa harapan kita. Dalam kompetisi yang ketat dan bergairah. Mari kita buat tidak ada tempat bagi kurcaci masa lalu menyesakkan ruang visual kita melalui iklan-iklan cari perhatian (caper) mereka. Saya yakin, bagaimana dengan anda? (RZ)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun