Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Email Tania (Cerpen Inspired by Prita Mulyasari)

12 Juli 2011   13:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:44 184 0
Hendra memarkir mobil kijang inova-nya di halaman parkir SD Madani, tepat di samping masjid sekolah tak jauh dari pintu gerbang. Dalam benaknya hanya ada Tania, putri kesayangannya yang duduk di kelas 2 SD. Jauh dari situ, di ruang guru, Tania duduk di depan meja Bu Eli, wali kelasnya. Hari itu hari Jum’at. Tania tampak cantik dengan jilbab biru seragam sekolahnya. Wajahnya mirip sekali dengan Evi Savitri, mamanya.

Hendra jalan tergesa-gesa menuju ruang guru. Lewat lapangan besar sekolah, tampak beberapa murid laki-laki sedang bermain sepak bola. Hari itu murid-murid selain kelas 6 memang sedang melaksanakan ujian praktek. Termasuk kelas 2. Namun berbeda dengan Tania. Ia malah duduk sendiri ditemani Bu Eli sejak 30 menit yang lalu. Tania enggan ikut ujian praktek komputer.

Ruang guru sudah dekat. Hendra masuk ke dalam. Dilihatnya Tania sedang memutar-mutar botol minuman yang dibekalnya dari rumah. Setengah jam yang lalu Bu Eli menelepon Hendra perihal Tania.

“Assalamualaikum,” Hendra mengucap salam sembari masuk, ”Tania kamu kenapa sayang, kok nggak ikut ujian komputer?” tanya Hendra seraya mengusap kepala Tania yang terbalut kerudung seragam sekolah. Hendra kemudian melirik pada Bu Eli, wali kelasnya. Ia mengisyaratkan agar menjelaskan apa yang terjadi dengan Tania.

Tania tetap cemberut masam. Ia masih malas untuk bicara. Tubuhnya rebah dipelukan Hendra, ayahnya.

“Tania mau ketemu mama, pah. Kok mama lama banget sih urusannya,”

“Iya sayang, habis ini kita ketemu mama ya.” Hendra berusaha menenangkan hati Tania.

“Tania sebenarnya ikut ujian praktek kesenian pada jam pertama, dan dia seperti biasa ikut bersama kawan-kawannya ujian kesenian. Hanya setelah diberi penjelasan tentang ujian praktek komputer di jam berikutnya, dia nggak mau ikut. Katanya pengen ketemu mamanya.” Dengan bijak Bu Eli menjelaskan kronologis mengapa Tania tiba-tiba tidak mau ikut ujian praktek komputer.

Hendra mendengarkan dengan seksama. Ia mulai mengerti mengapa Tania tiba-tiba bersikap seperti itu. Langsung saja ia teringat saat Tania mulai menanyakan beberapa judul berita koran langganannya tentang Evi, istrinya yang ditangkap aparat kepolisian hanya karena menulis keluhan dalam sebuah email kepada temannya.

“Pah, email itu yang buat nulis di internet kan?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Nggak pa-pa, ini kok ada nama mama di koran,” ujar Tania saat ia membaca koran langganan Hendra.

“Mana sayang?” tanya Hendra sembari menyiapkan beberapa berkas pekerjaannya ke dalam tas  di ruang tamu. Ia mendekati Tania. Dalam benaknya ia merasa mau tidak mau Tania pun akan tahu sendiri tentang kasus yang menimpa istrinya. Tapi dia sendiri bingung bagaimana harus menjelaskannya pada Tania. Masak hanya karena sebuah email, istrinya bisa ditahan. Kalau pun ia menjelaskan tentang tuduhannya yang mencemarkan nama baik sebuah lembaga publik karena tidak memberikan pelayanan yang semestinya, Tania pasti tidak akan percaya, karena Evi yang Tania kenal jauh dari bayangan seperti yang didakwa para penegak hukum itu. Hendra pun tak kan mungkin menjelaskan tuduhan yang akan menjatuhkan citra istrinya di hadapan putrinya sendiri.

Hendra duduk tepat di samping Tania yang sudah siap dengan seragam sekolah. Hendra melihat berita tentang Evi. Ia bacal judul berita yang ditanyakan Tania: Gara-Gara Email, Evi Savitri Ditangkap Polisi. Hah, harus bagaimana lagi ini aku menjelaskannya, pikirnya. Sudah dua minggu istrinya ditahan polisi. Ia diancam hukuman enam tahun penjara dan denda satu miliar terkait dengan dakwaan pencemaran nama baik. Hendra sendiri saat itu tak habis pikir, mengapa hal itu bisa terjadi. Ia yang sehari-hari bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan besar asing, belum mengerti secara mendalam permasalahan hukum yang dialami istrinya. Baru seminggu ini saja setelah ia bersama pengacaranya menangani kasus istrinya, ia mulai paham. Bahkan ia menduga ada ketidakberesan pada persoalan hukum yang menjerat istrinya itu.

Wajar kan kalau seorang warga mengeluhkan pelayanan sebuah lembaga publik, yang tidak bisa memberikan kenyamanan dan kepuasan. Nah, Evi ketika itu memilih mencurahkan kekesalannya pada seorang kawan di sebuah milis. Beberapa hari kemudian polisi datang dengan sederetan pasal-pasal pidana yang mendakwa kalau dirinya telah mencemarkan nama baik lembaga tersebut.

“Oh iya sayang, email memang untuk nulis sesuatu lewat internet. Tania juga biasa kan main-main internet di laptop papah,”

“Tapi ini benarkan nama mama? Kok di sini tulisannya mama ditangkap polisi gara-gara email?”

“Oh, mungkin korannya salah nulis.”

“Ah, benar kok ini nama mama.”

“Oh ya ya benar,” Hendra terus bertahan dengan kepura-puraannya.

“Tapi kenapa ditangkap polisi, kayak penjahat aja,”

“Mungkin juga mama salah nulis sesuatu di email, makanya polisi mau nanyain dulu.”

“Kok lama sih nanyainnya?”

“Sebentar lagi sayang, nanti juga pulang,”

“Ah berarti bener nih gara-gara email, mama jadi ditanya-tanya polisi,”

“Eh udah siang nih. Yuk berangkat nanti terlambat masuk sekolah”

Hendra semakin habis akal menjawab pertanyaan-pertanyaan putrinya. Belum lagi ia dipusingkan oleh perkara hukum istrinya. Ditambah lagi pekerjaan di kantornya. Anak jaman sekarang memang tak asing lagi dengan dunia teknologi informasi. Duduk di kelas satu SD saja sudah kenal dengan komputer dan istilah-istilah dunia maya seperti internet, facebook, chating dan istilah-istilah cyber lainnya, bahkan akrab dalam bahasa sehari-hari. Meskipun belum mengenal betul apa hakikat sebenarnya tapi keakraban mereka dengan dunia IT membuat akses informasi cepat dan mudah sekali didapat. Berbeda dengan kehidupan zaman Hendra dulu waktu masih kecil. Jangankan internet, komputer saja masih seperti benda asing entah dari planet mana. Maka tak aneh, Tania yang belakangan akrab dengan komputer, karena pemberitaan media yang benyak menyorot kasus hukum istrinya, kini seperti mulai menjauh dan dingin dengan yang namanya komputer dan internet. Dalam bayangannya dunia maya terutama email begitu jahat, sehingga menggiring mamanya ke meja hukum.

Zaman reformasi sekarang ini, perkara ketidakadilan akan mudah disorot media. Dengan cepat para pekerja media itu mencium bau-bau ketidakberesan yang terjadi ditengah masyarakat. Kebebasan memang sedang dielu-elukan. Hal ini pulalah sekarang yang terjadi pada Evi.

****

“Mamaaa….”

Tania lari dan langsung memeluk Evi. Hari itu ia menemui ibunya di kantor kepolisian untuk yang ketiga kalinya. Pilu rasanya melihat gadis cilik itu memeluk ibunya erat sekali. Tak terasa air mata pun tumpah. Hatinya mendung. Evi langsung menurunkan badan sejajar dengan tubuh imut putrinya. Hendra pun mendekat. Di sampingnya, Pak Bowo, pengacara yang selama ini menjadi kuasa hukum Evi Savitri.

“Tania, gimana sekolahnya sayang?” tanya Evi sambil berusaha menyembunyikan kesedihan dan penderitaan yang menimpa dirinya. Statusnya masih sebagai terdakwa.

“Tania mau sama mama terus,”

“Iya sayang, mamah juga,” Evi kemudian menatap suaminya kemudian bergantian memeluk Hendra.

“Kau sehat?”

“Alhamdulilah,”

“Kau gak usah terlalu banyak pikiran. Semua sudah diurus Pak Bowo.”

Di luar kantor kepolisian, para pemburu berita sudah berkerumun untuk mencari perkembangan informasi Evi. Mereka berusaha masuk dan menemui Evi, namun aparat mencegahnya. Tak lama kemudian ada satu elemen Masyarakat Peduli Keadilan Hukum datang memberi dukungan moril. Mereka akan tetap berada di belakang Evi kalau memang saat persidangan nanti keadilan tak berpihak padanya.

Ponsel Evi dan Hendra pun terus berdering memberi dukungan. Sudah tak terhitung ada berapa pesan pendek masuk menyatakan simpatiknya. Ada yang bilang kasus Evi dipengaruhi kepentingan pemodal.

Masih ada waktu beberapa menit Evi bisa bercengkrama dengan Tania dan Hendra.

“Mama sih main-main sama email jadi mamah dipanggil polisi,” ujar Tania dengan wajah polosnya. Mungkin dalam bayangannya email-lah penyebab semuanya.

“Mama nggak main-main sama email sayang, mama cuma nulis aja di email. Tapi mungkin ada yang nggak suka mama nulis atau mereka nggak ngerti, jadi mama dipanggil polisi deh,” Evi mengelus-elus rambut Tania yang lurus tergerai sebahu. Masih didekapnya tubuh Tania menuntaskan rasa kangen karena beberapa hari tak berjumpa.

“Lagian sih mama nulis-nulis segala di email,”

“Lho kan Tania juga tau mama suka nulis. Suka bareng Tania juga kan nulisnya terus Tania suka pengen lihat foto-foto Barbie kan di internet,”

“Iya tapi Tania nggak mau jauh dari mama,”

“Iya deh, nanti lagi mama nggak kan dipanggil polisi kalau nulis di email.”

Evi memeluk erat lagi gadis kecil disampingnya. Ia pun sama tak ingin jauh dari putrinya itu. Hendra tersenyum betapa bahagia melihat dua anugerah Tuhan di hadapannya itu.

“Katanya Tania nggak mau ikut ujian komputer ya di sekolah?”

“Nggak.”

“Lho kenapa? Nanti nggak naik kelas gimana,”

“Habisnya email jahat, Tania nggak mau ketemu komputer!”

Evi dan Hendra saling berpandangan. Tertegun dengan ucapan Tania.

****

Kasus hukum Evi memang melelahkan. Hendra harus terus berada di belakang istrinya. Ia terus berjuang apa pun  yang terjadi. Keadilan harus menjadi milik semua umat manusia. Ia tak boleh lenyap oleh tekanan apa pun. Dan dua hari lagi Evi akan menggelar sidang pertamanya.

Setelah bertemu mamanya, Tania akhirnya giat lagi sekolah. Bahkan anehnya tiba-tiba ia bersedia ikut ujian susulan praktek komputer. Gadis kecil itu memang sudah lihai dengan yang namanya komputer. Maka tak sulit ia melewati ujian susulan praktek komputer dari sekolah. Bu Eli sengaja memberi dispensasi untuk Tania, mengingat keadaan yang dialami keluarganya yang ia baca di berbagai media massa.

Tania kembali akrab dengan komputer di rumahnya dan mulai banyak-banyak bertanya tentang internet terutama email pada Hendra. Di bawah pengawasan Hendra, seperti biasa Tania browsing foto-foto boneka Barbie dan artis-artis favoritnya. Dan diam-diam dia pun suka menulis apa saja lewat email.

“Tania, ayo cepat kita udah terlambat nih,”

“Iya pah.” Tania menggendong tas sekolahnya. Mbak Inah, pembantu rumah memasukan bekal makanan dan minuman ke dalam tas Tania.

“Nanti Tania pulang pake jemputan sekolah aja ya, soalnya papah mau ada perlu dulu ke kantor Pak Bowo,”

“Iya pah,”

Hendra dan Tania naik mobil kijang inova yang terparkir di garasi rumah. Hendra mengantarkan Tania dulu ke sekolah sebelum berangkat ke kantornya. Mobil Hendra melesat melewati jalan besar. Menembus kemacetan yang untungnya tak berlangsung lama.

Mereka sampai di depan gerbang sekolah. SD Madani ramai dengan murid-murid yang baru saja tiba di sekolah. Tania turun dari mobil setelah mencium tangan Hendra.

“Jangan nakal ya,”

“Ya pah.” Tania berlari masuk ke dalam dan bertemu beberapa teman-temannya. Tak lama kemudian, ponsel Hendra berdering. Ternyata Pak Bowo.

“Halo Pak Hendra,”

“Ya Pak Bowo, ada apa?”

“Pak Hendra, bapak sudah online internet hari ini?”

“Oh, belum, memang ada apa?

“Sepertinya kita dapat masalah baru,”

“Maksudnya?

“Sebaiknya bapak coba cek dulu. Lihat email atau facebook,”

Hendra mengikuti saran Pak Bowo. Ia mengeluarkan laptop dari tasnya. Diletakkannya laptop di pangkuannya. Mesin mobilnya belum dimatikan. Laptop dinyalakan. Kebetulan ia memasang modem ke laptopnya. Setelah masuk windows ia membuka milis email sekaligus facebook. Beberapa saat kemudian ia terhenyak.

“Ya Allohh… Tania, Tania,..”

Di layar laptop dalam dunia maya ramai komentar pernyataan polos sebuah email:

_masa sih polisi nangkap orang yang cuma nulis di email. emang gak ada penjahat yang lain apa. kalau nggak suka sama orangnya bilang aja.

heh polisi, nih kalo mau nangkap aku gara-gara nulis di email, tangkap aja. Biar aku bisa nyusul mama.



-dari anaknya evi savitri yang baik-

****

dedicated for prita mulyasari

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun