Mohon tunggu...
KOMENTAR
Worklife Pilihan

Lika Liku Wartawan: Ditentang Keluarga, Diremehkan Narasumber (Part II)

2 November 2020   22:01 Diperbarui: 2 November 2020   22:05 156 10
saya berhasil diterima bergabung di Harian Pagi Radar Sukabumi (Group Jawa Pos), media lokal yang ada di Sukabumi, ujian kembali datang. Kali ini, ujian itu bukan datang dari pekerjaan, melainkan dari lingkungan keluarga. Mengetahui saya akan bekerja di perusahaan media, kesan yang muncul di lingkungan keluarga kurang begitu baik. Saya merasa, keluarga saat itu kurang setuju bila saya bekerja menjadi seorang wartawan.

Alasannya beragam. Mulai dari alasan keselamatan, hingga kesan profesi wartawan yang dianggap tidak baik. Bahkan cenderung kepada orang yang pekerjaannya mencari kesalahan-kesalahan orang lain.

"Mau apa kamu jadi wartawan? Mau nyari-nyari kesalahan orang? Apakah tidak ada pekerjaan lain lagi?," itulah pertanyaan yang sering saya dengar dari lingkungan keluarga.

Mendegar pertanyaan-pertanyaan tersebut, jujur saja waktu itu perasaan pun menjadi sangsi. Antara tetap melanjutkan, atau tidak sama sekali. Beruntung pada waktu itu, saya memiliki teman dekat perempuan yang kini menjadi isteri saya. Ia memberikan dukungan atas pekerjaan baru saya tersebut.

"Jika memang itu cita-cita mu dulu, lanjutkan saja. Buktikan pada keluarga bahwa profesi wartawan itu tidak seburuk apa yang mereka fikirkan," itulah pernyataan yang menguatkan saya.

Merasa masih ada yang mendukung dengan profesi baru saya itu, saya pun memtuskan untuk tetap melanjutkan pekerjaan sebagai wartawan. Saat itu tekad dalam hati, ingin membuktikan bahwa seorang wartawan itu pekerjaannya bukan mencari kesalahan orang. Melainkan mengabarkan sebuah informasi yang sangat bermanfaat untuk masyarakat luas dan turut serta menjalankan amanat Undang-undang dalam mewujudkan cita-cita banga mencerdaskan kehidupan berbangsa. Tentu ini sangat mulia.

"Saya akan buktikan, bahwa pekerjaan wartawan itu tidak demikian. Pelatihan yang saya terima sebelum resmi diterima, tidak ada materi pelatihan yang mengajarkan mencari kesalahan orang," timpal saya kepada keluarga.

Akhirnya, dengan penjelasan sederhana tersebut, keluarga pun luluh dan mengizinkan. Meskipun saya lihat izin itu seakan terpaksa. Namun tak jadi masalah, yang penting saya bekerja berada di bawah ridha dan izin keluarga. Dan terpenting, cita-cita sejak kecil itu selangkah lagi akan terwujud.

Pagi harinya, saat matahari mulai bangun dari tempat tidurnya. Saya sudah siap-siap berangkat beraktifitas. Beberapa isu yang menjadi tugas dari kantor pun sudah saya terima. Inilah hari pertama kerja saya sebagai wartawan. Gerogi, degdegan, namun rasa bangga tak bisa saya sembunyikan.

"Saya harus bisa jadi wartawan. Wartawan yang bukan seperti keluarga saya sampaikan," gumam saya dalam hati.

Saya masih ingat betul, koordinator liputan memberikan tugas untuk mengirimkan tiga berita setiap hari. Bila liputan selesai, saya harus ke kantor untuk mengetik berita dan memperhatian senior saya dalam mengedit berita. Artinya, proses pembuatan berita harus saya kuasai.

Hari itu, diantara tugas yang saya terima salah satunya adalah meliput tentang pemerintah desa. Desa tujuannya adalah desa yang ada di Kecamatan Cikembar. Jaraknya lumaya jauh dari jalan utama. Jalannya lumayan ekstrim. Selain masih berbatu, juga harus melewati kebun karet. Namun itu semua tidak menyulutkan saya. Kantor menargetkan, akses warga yang belum tersentuh program pemerintah di desa harus diangkat dalam berita agar ke depan pemerintah memprioritaskan pembangunan di desa ini.

Setelah melalui jalan yang cukup menantang tersebut, tiba lah di kantor yang saya tuju. Sepeda motor yang saya kendarai, diparkirkan di halaman kantor desa. "Pantas saja kantor mengirim saya ke desa ini, ternyata selain jalan yang masih butut juga gedung kantornya masih kumuh. Memang benar, desa ini harus diprioritaskan pembangunannya," gumam saya lagi dalam hati.

Tak berfikir lama, saya pun langsung berjalan menuju ke dalam kantor desa. Berharap bisa mewawancarai Kepala Desa seperti yang ditugaskan redaksi. Namun sayang, baru juga dua anak tangga yang saya injak, tiba-tiba pria berseragam desa ke luar ruangan dan menghampiri saya. Seraya menyodorkan uang sekitar Rp25 ribu, pria itu meminta saya untuk pergi dari kantor desa.

"Gak usah ke sini lah, ini nih," ucap pria yang belakangan saya ketahui dia adalah Kepala Desa tersebut.

Perasaan saya marah, kesal dan murka atas perlakuan pria tersebut. Saya mencoba menjelaskan maksud dan tujuan atas kedatangan saya itu, namun seakan-akan ia tak menghiraukan. Tak berfikir panjang, seketika itu saya langsung meninggalkan kantor desa tersebut.

Selama dalam perjalan pulang, perasaan saya berkecambuk dan penuh tandatanya atas sikap Kades yang saya datangi itu. "Mengapa wartawan diperlakukan demikian? Ini apa yang salah," gumam saya.

Hingga akhirnya, arah kendaraan saya tujukan ke kantor kecamatan. Mencari jawaban atas perlakuan Kades tersebut. Cukup kaget ketika mendengar penjelasan dari orang-orang kecamatan saat itu.

"Mungkin belum kenal kang. Maklum, selama ini desa sering didatangi orang yang ngaku-ngaku wartawan. Nulis berita tidak bisa, dan kantornya pun tidak jelas. Ujung-ujungnya mereka meminta uang. Padahal, wartawan Radar Sukabumi selama saya kenal tidak ada yang demikian. Kami akan berikan penjelasan kepada desa bersangkutan," papar pegawai kecamatan.

Dari pengalaman ini saya belajar, bahwa citra wartawan buruk itu akibat ulah oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang mengaku sebagai wartawan. Mereka datang hanya semata-mata untuk uang. Prilakunya jauh dari kode etik jurnalistik. (bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun