Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop Pilihan

Perikanan Masyarakat: Antara Ekonomi dan Kebijakan

21 November 2022   11:11 Diperbarui: 21 November 2022   11:26 259 15
Warung Mama Upik adalah destinasi utama saya saat waktunya jam makan siang, cukup berjalan kaki sekitar lima empat menit, jaraknya memang cuma sekitar 200 meter saja dari kantor.

Menu makan saya monoton, kalau tidak ayam goreng, ya hati goreng, kadang ditambah telor ceplok, plus teh tawar hangat tentu saja.  Sambalnya yang terbukti enak dan khas.  Tapi ini bukan kisah menu di warung makan itu, mungkin nanti saja berkisah tentang menu makan siang yang tak bosan-bosannya saya pesan setiap kali ke sana.

Kebetulan saat makan tadi, ada satu pelanggan yang datang, memesan nasi sop, lalu duduk tenang dan makan di pojokan saat pesanannya datang.  Saya yang memang suka SKSD (sok kenal sok dekat) menanyakan pertanyaan standar, seperti mau kemana, sednag sibuk kerja apa.

Ternyata lelaki separuh baya itu bekerja sebagai pengelola karamba yang dimiliki oleh pembakal (kepala desa) setempat.  Katanya pembakal punya 20 karamba yang berjejer di sungai, lokasinya juga tak begitu jauh dari kantor.

Sungai utama di kecamatan sekitar kantor memang terkenal dengan kejernihan airnya, walau sekarang cukup padat dengan hadirnya karamba-karamba masyakarat sekitar yang biasanya dipenuhi oleh dua jenis ikan, yaitu nila dan bawal.

Mengelola karamba milik orang lain itu katanya, tugas utamanya adalah memberi makan sedari awal bibit datang sampai nanti panen yang waktunya bervariasi.  Ikan nila perlu waktu pemeliharaan selama 6 bulan, sementara bawal perlu waktu yang lebih singkat yaitu 3 bulan untuk sekali panen.

Upah yang diterima juga bervariasi, tapi rata-rata dalam bentuk bagi hasil keuntungan setelah panen, bisa berlaku pembagian keuntungan fifty fifty,  artinya laba bersih dibagi dua antara pemilik karamba dan pemelihara.  Atau bisa juga satu banding tiga, tentu saja dua pertiga kentungan adalah bagian pemilik usaha.

Masalah utama sekarang katanya adalah mahalnya harga pakan ikan, yang sekarang sudah mencapai 400 ribu per sak atau per karungnya.  Sementara satu karamba ikan bisa menghabiskan tiga sak per harinya.   Bayangan saja berapa uang yang dihabiskan hanya untuk modal pakannya saja.

Empat ratus ribu itu harga pakan ikan yang mengapung di permukaan air, untuk pakan yang tenggelam dalam air katanya harganya lebih mahal lagi, bisa mencapat setengah juta per karungnya.

Padahal pabrik pakan cukup lama sudah berdiri di kota tetangga, kira-kira satu jam perjalanan dari lokasi sungai tempat karamba-karamba ikan itu berjejer, tapi tetap saja harganya terus melonjak, sepertinya dikarenakan harga bahan baku yang juga meninggi.  Mungkin karena pasokannya yang harus didatangkan dari luar daerah.

Sempat tadi melontarkan ide untuk membuat saja pakan sendiri, walau sedikit repot, tapi bisa menekan biaya produksi.  Apalagi jika bisa diwujudkan pasti bisa membantu para peternak ikan yang cukup banyak dengan total karamba sekitar seribu lebih, termasuk pemilik karamba di sekitar waduk PLTA Riam Kanan.

Itu baru dari segi biaya produksi, belum lagi terkait penurunan produksi ikan yang diakibatkan kualitas air yang sangat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup ikan.  Hal yang utamanya dipengaruhi oleh populasi ikan itu sendiri serta pola karamba yang jumlahnya kian padat serta ditambah kualitas air sungai dan waduk yang harus diteliti lebih lanjut.

Penambangan galian C di sekitar sungai juga secara tidak langsung kemungkinan akan mempengaruhi kualitas air sungai.  Air yang mengalir dari perbukitan sekitar sungai yang ditambang pasti akan mengarah langsung ke sungai, tanpa ada filter dari pepohonan yang sebagian sudah hilang berganti pemandangan mengerikan dari permukaan bukit yang terbuka dan terluka menganga.

Terkadang membingungkan kenapa bisa ada tambang di wilayah yang seharusnya masuk kawasan hutan lindung, ingin mempertanyakan kepada pihak berwenang tapi belum punya keberanian karena pasti ada kepentingan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun