Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kota Palangkaraya dan Cara Soekarno dalam Membangun Peradaban

1 Januari 2011   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:04 14 0
Selamat datang di Palangkaraya Kota Tambun Bunga. Begitu julukannya. Sebuah kota yang beberapa waktu lalu menjadi perbincangan hangat dan jadi headline di media massa sebagai kota alternatif pemindahan Ibu Kota Negara. Kota ini tergolong muda, karena baru berdiri pada tahun 1957 dan (katanya) dirancang untuk dijadikan ibukota Indonesia oleh Presiden pertama RI, Soekarno.

Setelah tiba di kota Palangkaraya, saya bermukim di rumah orang tua angkat selama 4 hari. Kami diajak berkeliling melihat tiap sudut kota. Kesan pertama saya adalah, kota ini terkesan"agak kotor", tidak sebersih Pekanbaru, kota tempat saya tinggal. Kemungkinan pertama, mungkin karena pemerintah kota ini tidak punya anggaran yang cukup untuk membiayai operasional "pasukan kuning" seperti di Pekanbaru. Atau kemungkinan kedua, mereka tidak ingin menghabiskan anggaran untuk biaya membersihkan kota, dan memilih mengalokasikan anggaran itu untuk kebutuhan lain (sekali lagi, ini kemungkinan menurut pendapat saya).

Kesan kedua, jalan di sini sangat tertata dan memang benar bahwa sepertinya Bung Karno telah mempersiapkan kota ini sebagai Ibukotanya Indonesia. Jalan-jalan protokol di sini dibangun sangat lebar (jika dilihat dari google earth), sepintas jalan di kota ini terlihat seperti lingkaran. Pusat pemerintahan terletak di tengah-tengah lingkaran. Jalan protokol semuanya 2 jalur, dan masih bisa diperlebar lagi. Diantara jalan-jalan protokol itu, terdapat jalan penghubung yang lebarnya juga memadai dan tidak pernah buntu. Artinya memang dirancang untuk dijadikan kota besar yang bisa mengatasi masalah lalu lintas. Sungguh visi yang sangat luar biasa untuk membangun sebuah kota modern di masa depan.

Pada hari kedua disini, saya berkesempatan diajak berkunjung ke Kota Banjarmasin dengan jarak tempuh sekitar 4 jam ke arah timur dari Kota Palangkaraya. Di perjalanan, saya melintasi 2 kabupaten di Kalimantan Tengah. Saya juga melintasi 4 jembatan besar yang melintasi 4 sungai besar di Kalimantan. Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, Sungai Barito (1 sungai lagi saya lupa namanya). Dan juga melintasi banyak jembatan kecil. Kalimantan memang memiliki banyak sungai besar dan anak sungai kecil.
Sepanjang perjalanan yang saya tempuh, hampir seluruh jalannya bergelombang dan rusak parah di beberapa bagian dengan banyak lubang kecil dan besar di kiri-kanan jalan. Topografi Kalimantan sedikit mirip dengan di Riau, yaitu sebagian besar berupa rawa dan gambut. Dibutuhkan teknologi yang lebih sulit dan mahal untuk membangun jalan disini. Mungkin itulah alasannya mengapa banyak jalan yang bergelombang dan rusak parah, sama seperti di Riau. Menurut pendapat seorang teman yang kuliah di bagian konstruksi jalan (teknik sipil), jalan dibangun dengan kontruksi dasar jalan yang tidak padat, karena dibangun diatas rawa dan gambut yang ciri khasnya tidak akan bisa padat. Mungkin karena anggaran yang kurang, atau memang sengaja dianggarkan kurang, atau mungkin dianggarkan cukup tetapi sengaja dikurangi, entahlah.

Kemungkinan kedua adalah, jalan dibangun dengan teknologi yang tepat untuk di jalan rawa gambut, tapi hanya sanggup menahan beban ringan. Namun dilintasi oleh kendaraan super berat yang melebihi beban (padahal ada tempat untuk menimbang beban kendaraan). Ini yang mengakibatkan mengapa banyak jalan rusak. Entah siapa yang harus disalahkan untuk masalah jalan rusak ini. Apakah pemerintah yang membangun jalan dengan teknologi dan anggaran yang tidak memadai? Ataukah jalan yang dibangun tidak dirawat dengan baik karena membiarkan kendaraan melebihi beban melintasi jalan ini?

Sepotong jalan yang disebut dengan nama Jalan Rusia..

Setelah 4 hari di Palangkaraya, saya berpindah ke desa Sei (Sungai) Gohong yang akan menjadi tempat tinggal saya selama 3 bulan ke depan hingga pertengahan Maret 2011. Lokasinya sekitar 30 km di sebelah barat menuju utara (barat laut). Jauh berbeda dengan jalan menuju Banjarmasin. Jalan menuju desa ini sangat mulus dan tidak bergelombang, padahal disekelilingnya adalah rawa dan gambut.

Alkisah, ternyata jalan menuju lokasi ini disebut jalan Rusia. Karena dibangun oleh tenaga ahli dari Rusia pada awal tahun 1960. Jalan ini adalah proyek yang digagas oleh Soekarno yang ingin membuat jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan kota-kota di Kalimantan (sekali lagi, Soekarno merancang jalan tidak hanya untuk dalam kota, tetapi juga penghubung dengan kota lain). Jalan ini dibangun dengan menggali seluruh tanah  rawa dan gambut hingga bagian paling dasar yang tanahnya kokoh. Kemudian ditimbun dan dibangun jalan diatasnya. Teknologi yang sangat mahal, karena harus menggali hingga bermeter-meter ke dalam tanah, kemudian ditimbun dengan tanah yang kokoh. Mahal, namun menjadikan jalan ini tetap baik meskipun telah berumur lebih dari 50 tahun. Tetapi karena insiden G30S/PKI pada tahun 1965, proyek ini terhenti. Rusia hanya membangun jalan lebih kurang 30 km, artinya dari Palangkaraya-Sei Gohong.

Banyak "obrolan kedai kopi" disini, jika tidak ada insiden G30 S/PKI, mungkin seluruh Kalimantan akan terhubung dengan jalan yang mulus dan tidak bergelombang. Namun semuanya kembali kepada pemerintah, sebagai pihak yang memiliki otoritas tertinggi untuk masalah pembangunan jalan. Apakah harus orang Rusia yang membangun, baru kita bisa menikmati jalan mulus dan tahan lama? Tidak bisakah pemerintah kita melakukan pembangunan berkesinambungan sehingga tak perlulah berterima kasih kepada Rusia?

Pada tahun 1960an, ditengah keterbatasan keuangan negara (pada saat itu Indonesia baru saja mendapat kemerdekaan penuh dari Belanda, ditandai dengan berakhirnya Republik Indonesia Serikat). Kemudian saat itu juga Indonesia sedang dalam persiapan menjadi tuan rumah Asian Games 1962 dengan membangun Stadion Utama Senayan (saat ini bernama Gelora Bung Karno) dan berbagai venues olahraga di kawasan Senayan Jakarta. Sehingga keuangan negara harus benar-benar dibagi dengan baik. Mungkin kita sepakat untuk mengucapkan terima kasih atas jasa monumental kepada Soekarno, seorang visioner dengan visi yang jauh ke depan dalam membangun sebuah kota dan sebuah negara.

Pernah saya belajar dari seorang Profesor di Universitas Riau, guru besar tentang budaya melayu, Prof. Yusmar Yusuf. Saat itu saya belajar tentang bagaimana asal mula sebuah kota. Beliau berkata "peradaban besar di dunia, dimulai dari peradaban sungai sebagai jalur transportasi utama pada saat itu. Peradaban Mesir kuno dibangun dipinggiran Sungai Nil. Peradaban Mesopotamia (Persia) berada di antara Sungai Eufrat dan Tigris. Begitu juga peradaban China kuno di tepian Sungai Yang Tze".

Kerajaan di Indonesia juga dimulai dari sungai. Kerajaan Kutai di tepi Sungai Mahakam. Kerajaan Majapahit di tepi Sungai Brantas, Sriwijaya dengan Sungai Musi-nya, juga Kerajaan Siak Sri Indrapura di tepi sungai Siak. Peradaban kota-kota modern dunia juga dimulai dari sungai. Kota London di tepi Sungai Thames. Kota Montreal di tepi sungai St. Lawrance. Sungai Cao Praya di Bangkok. Sungai Rhein di Eropa menghidupkan beberapa kota di Jerman, dan Belanda. Juga Kota Pekanbaru-Riau yang dimulai dari Bandar Senapelan di tepian Sungai Siak.

Dahulu kota dimulai dengan sungai sebagai sarana transportasi utama. Hari ini, kota itu sudah berdiri dan mungkin tepat rasanya jika dikatakan bahwa sebuah kota modern harus didukung oleh jalur transportasi yang lancar dan nyaman, yaitu jalan raya, kereta api, dan sarana lain. Mempercepat proses perpindahan barang dan orang, secara otomatis akan membuka banyak lapangan usaha dan efisiensi dan sisi ekonomi. Karena tak ada satupun kota di dunia yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Artinya (menurut saya) sebuah kota belum bisa disebut sebagai sebuah kota yang modern jika tidak didukung dengan jalur transportasi memadai.

Banyak negara berkembang di dunia telah memulai. China, Jepang, Korea, dll membangun jalur transportasi yang nyaman dan cepat. Negara tetangga yang sering kita benci, Malaysia, telah memulai dengan membangun jalan Tol dari Utara ke Selatan. Kalau tidak salah namanya PLUS (Projek Lebuhraya Utara Selatan). Kemudian sarana transportasi kereta api modern yang nyaman, yang saya yakin banyak tenaga ahli dan tenaga kerjanya berasal dari Indonesia.

Mereka telah memulai, bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana dengan Riau? Bagaimana dengan Pekanbaru sejak orde otonomi daerah yang digadang-gadang akan menjadi pusat ekonomi dan kebudayaan melayu di Asia Tenggara tahun 2020, namun masih bermasalah dengan menyeberangkan orang dari pusat kota Pekanbaru kearah utara kota menyeberang Sungai Siak yang panjangnya tak lebih dari 1 km dan masih mengandalkan Jembatan Siak I (1977). Pembangunannya pun didanai oleh sebuah perusahaan minyak, bukan oleh negara. Setiap hari terjadi kemacetan diatas jembatan yang semakin Gaek dan besi penghubung kolom jembatan mengeluarkan bunyi dan getaran pada kendaraan yang melewatinya (duh kasian jembatan ku sayang). Macet total akan terjadi ketika ribuan supporter PSPS menonton Liga Indonesia ke Stadion Rumbai. Apatah lagi menghubungkan kota-kota di seluruh Provinsi Riau ! Jalan Pekanbaru –Dumai yang sering kami lalui ketika saya masih SD
dengan masa tempuh 3.5- 4 Jam, tapi kondisi kekinian 5- 6 jam untuk menjelajahinya, panjang jalan masih tetap seperti dahulu keterlambatan disebabkan oleh lebar jalan yang tidak dapat memikul ramainya kendaraan ber tonase jumbo lalu lalang di jalan tersebut dan tentu saja jalan yg tak mulus. Topografi Riau daratan yang berupa rawa dan gambut yang dibelah oleh 4 sungai besar, Rokan, Siak, Kampar, dan Indragiri yang tentunya membutuhkan biaya sangat mahal untuk menghasilkan jalan mulus bebas hambatan.

Semuanya terpulang pada pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi dan tentunya ada di tangan pemimpin sebagai pemegang kekuasaan. Punya visi jauh ke depan dalam membangun sebuah peradaban kota. Visi puluhan tahun ke depan, tidak hanya visi yang sekedar 5-10 tahun hingga habisnya masa jabatan. Sebagai wakil dari Provinsi Riau dan besar di Kota Pekanbaru, hati kecil saya tergelitik. Bersempena dengan pemilihan Calon Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru 2011, saya berharap dan juga  mungki banyak orang berharap. Semoga muncul "Soekarno" baru, yang akan membawa masyarakat ke arah kondisi gemah ripah loh jenawi, toto tentrem kerto raharjo. Semoga tidak ada istilah "ayam mati di lumbung padi". Dan semoga istilah Riau Gemilang Riau Terbilang tidak hanya menjadi sebuah slogan. Mungkin semua itu bisa dimulai dengan membangun sarana transportasi yang nyaman dan modern. Membantu menggerakkan roda perekonomian,sehingga puluhan tahun ke depan banyak orang berterima kasih karena telah membangunkan jalan tahan lama, seperti halnya masyarakat Kalimantan Tengah yang berterima kasih pada Soekarno dan "orang Rusia". Bukankah Riau adalah salah satu Provinsi terkaya di Indonesia, jadi masalah pendanaan sepertinya bukan suatu masalah besar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun