Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Seperti Durian, Undang-Undang Cipta Kerja Akan Nikmat Ketika Dibelah

9 Oktober 2020   12:40 Diperbarui: 10 Oktober 2020   14:51 367 16
Durian. Bagi yang belum pernah melihatnya, tentu takut dengan bentuk salah satu buah-buahan daerah tropis ini. Kulitnya keras penuh duri tajam, dan baunya yang menyengat. Jangankan tertarik untuk makan, melihatnya saja bisa membuat bulu kuduk merinding.

Tapi ketika dibelah, warna daging buah yang menguning langsung memikat. Teksturnya yang empuk, manis cenderung legit membuat lidah tak mau berhenti bergoyang. Tak salah bila durian selama ini dinobatkan sebagai rajanya buah. Banyak orang keranjingan dengan buah idola ini.

Lalu, apa hubungannya dengan Undang-Undang Ciptakerja? Keduanya memiliki sedikit persamaan. Ketika Undang-Undang Ciptakerja disahkan DPR RI, terjadi gelombang penolakan di berbagai daerah. Ribuan buruh dan mahasiswa turun ke jalan, tak sedikit yang berakhir dengan kerusuhan. Situasi mencekam, beberapa bahkan menjadi korban.

Ironisnya, banyak dari peserta demo yang tidak tahu substansi dari Undang-Undang Ciptakerja yang dilawan. Bermodal kalimat 'pokoke' dan informasi singkat di media sosial, mereka dengan lantang menolak karena menilai Undang-Undang Ciptakerja adalah musuh yang harus dilawan.

Seperti durian, mereka melihat Undang-Undang Ciptakerja hanya di permukaan. Beberapa pandangan negatif dibumbui kalimat provokasi, membuat mereka mengabaikan substansi isi yang sebenarnya memberikan harapan. Hanya karena ada beberapa yang dinilai tidak sesuai, lalu menolak secara keseluruhan.

Kalau mau membelah secara menyeluruh Undang-Undang Ciptakerja, tentu kemarahan dan penolakan tidaklah terjadi seperti saat ini. Memang ada beberapa point yang harus diperbaiki, tapi tidak menolak secara membabi buta.

Sudah banyak saat ini, orang yang memberikan klarifikasi-klarifikasi terhadap 'stigma' negatif Undang-Undang Ciptakerja. Kekhawatiran soal penghapusan pesangon, penghapusan UMK, penghapusan hak cuti, sampai penetapan status karyawan kontrak seumur hidup semua terbantahkan. Dalam undang-undang itu sudah dijelaskan, bahwa aturan-aturan yang menjadi kekhawatiran publik telah diatur dengan rigid. Kalaupun masih ada yang mengambang, akan dibahas secara detil menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).

Penulis tidak akan membedah satu persatu hoaks yang beredar tentang Undang-Undang Ciptakerja dengan fakta yang sebenarnya ada. Kompasianer senior dan handal-handal, sudah banyak yang membahas terkait masalah ini dengan bahasa yang cukup gamblang. Yang jelas, banyak informasi yang beredar di kalangan masyarakat tentang sejumlah point di Undang-Undang Ciptakerja adalah hoaks semata.

Kembali pada tema durian, penulis hanya ingin mengajak pembaca menyadari potensi kenikmatan yang dapat diperoleh setelah membedah Undang-Undang Ciptakerja. Bahwa sebenarnya, Undang-Undang Ciptakerja ini adalah jawaban dari doa para pengangguran dan pencari kerja di Indonesia.

Undang-Undang Ciptakerja merupakan langkah pemerintah untuk membuka lebar peluang investasi. Seperti semangat awalnya, yakni Omnibus Law, Undang-Undang ini dimunculkan untuk memangkas peraturan yang serba ribet dan terkesan tarik ulur. Meski memiliki lahan luas dengan sumber daya melimpah, para investor baik lokal maupun asing akan berpikir panjang untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Panjangnya birokrasi, ribetnya perizinan serta hantu-hantu calo investasi menjadi faktor penentu investor mengabaikan Indonesia.

Untuk soal ini, kita kalah jauh dibanding negara tetangga semisal Singapura, Malaysia bahkan Vietnam. Kisruh Amerika dengan Tiongkok misalnya, banyak perusahaan yang memilih memindahkan pabriknya ke Vietnam dibanding Indonesia. Bahkan kalau kondisinya tetap seperti saat ini, bisa saja Indonesia semakin kalah dari negara-negara menengah lain, semacam Kamboja atau Myanmar.

Disinilah kenapa negara menganggap penting melakukan terobosan dengan membuat Undang-Undang Ciptakerja. Ia muncul sebagai jurus andalan, untuk memangkas birokrasi 'tak penting' yang menghambat potensi investasi. Dengan kemudahan perizinan namun tidak mengabaikan aspek lain semisal lingkungan, Undang-Undang Ciptakerja ini bisa menjadi nilai tawar negara pada para konglomerat nasional dan internasional.

Berarti, negara hanya membela konglomerat dan mendukung para kapitalis?

Memang benar! Undang-undang Ciptakerja ini bisa dikatakan sebagai karpet merah pada para pemegang modal. Tapi, dengan masuknya para konglomerat untuk berinvestasi, maka akan banyak bermunculan lapangan kerja. Namanya saja Cipta Kerja, ya pasti tujuan utama Undang-Undang ini untuk menciptakan lapangan kerja baru dong.

Bayangkan saja, kalau ada satu saja perusahaan besar tertarik investasi ke Indonesia setelah adanya kemudahan ini, akan ada berapa ribu masyarakat yang mendapatkan pekerjaan. Itu baru satu, kalau ada 100, 1000 bahkan sejuta investor, tak terbayang bukan?

Lalu apa yang salah? Ketika banyak pengangguran di Indonesia, masyarakat teriak pada negara untuk menciptakan lapangan kerja. Ketika lapangan kerja dibuat dengan memudahkan investasi melalui Omnibus Law, pemerintah dinilai mendukung oligarki. Aneh!.

Undang-undang Ciptakerja ini mungkin memang ditolak sejumlah buruh. Setidaknya, para petinggi organisasi buruh sering bilang, ada 2 juta buruh yang akan turun ke jalan menolak undang-undang ini. Jumlah ini sangat kecil, dibanding angka pengangguran dan angka pencari kerja di Indonesia saat ini.

Jangan lupa, di Indonesia ada 6,88 juta orang menganggur pada bulan Februari 2020. Belum lagi, jumlah angkatan kerja di Indonesia terus naik tiap tahunnya. Data BPS mencatat, ada 137,91 juta orang angkatan kerja pada Februari 2020. Artinya, lebih banyak orang yang butuh kerja daripada orang yang sudah bekerja saat ini.

Dibanding peserta yang demo, jumlah gerombolan para pencari kerja saat ada lowongan kerja lebih banyak. Setiap ada bursa lowongan kerja, ribuan bahkan jutaan orang rela antre berdesak-desakan demi mendapat kesempatan. Bagi mereka, kerja apa saja dilakukan, yang penting halal. Keahlian dan ijazah yang dimiliki, rela ditinggalkan demi pekerjaan yang ditawarkan. Maka bukan hal yang aneh di Indonesia, lulusan IT yang kerjanya hanya jadi office boy.

Jumlah pengangguran semakin tinggi, angkatan kerja semakin meningkat. Apakah negara hanya diam saja? Belum lagi bonus demografi yang diramalkan akan terjadi sebentar lagi, tentu harus disikapi dan disiapkan secara matang. Kalau tidak, maka akan banyak kekacauan yang lebih besar.

Undang-Undang Ciptakerja muncul untuk menjawab persoalan-persoalan itu. Meskipun awalnya mengerikan, namun ketika dipahami seksama, peraturan ini memberikan secercah harapan.

Yah, seperti buah durian, kalau belum dibelah, belum tahu bagaimana rasanya. Salam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun