Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Memilih Permainan Anak Sesuai Umur Itu Sulit!

13 September 2020   19:08 Diperbarui: 13 September 2020   19:10 192 13
Anak saya baru saja ulang tahun. Pada September ini, usianya sudah menginjak lima tahun. Tentu, saya dan istri sangat bahagia karena bayi kecil kami kini sudah tumbuh semakin dewasa.

Ada yang unik saat perayaan ulang tahun anak kami, tahun ini. Saya dan istri, harus berdebat panjang saat hendak membelikan kado ulang tahun. Yah, meski selalu dirayakan secara sederhana, kami berdua selalu memberikan kado ulang tahun untuk ananda.

Mainan adalah kado yang selalu kami pilih, selama ini. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini saya dan istri tak sepaham dengan jenis permainan yang akan dihadiahkan.

Saya pribadi, adalah bapak yang cuek dengan anak. Tak bisa berpikir panjang, yang pasti apa yang anak sukai, itulah yang saya pilih. Tapi istri, mulai cerewet soal pilihan mainan yang saya ambil.

Saat di toko mainan itu, saya mengambil truk pemadam kebakaran berukuran cukup besar. Pilihan itu saya putuskan, karena anak saya selalu antusias melihat film kartun yang menceritakan tentang truk pemadam kebakaran. Pikir saya, dia pasti girang mendapatkan hadiah itu.

"Jangan itu, anak kita sudah besar. Bukan anak kecil lagi yang mainannya hanya untuk senang-senang. Harus ada edukasi yang diberikan sekarang. Meskipun itu mainan, tapi harus sesuai umurnya dan mendorong perkembangan motorik," kata istri.

Perdebatan panjang terjadi. Istri saya keukeuh membelikan mainan yang bertuliskan untuk usia lima tahun ke atas. Mainan berjenis seperti lego, yang jika dirakit menjadi berbagai jenis mainan seperti mobil-mobilan, pesawat, rumah-rumahan yang ia pilih.

"Ini saja, melatih kreatifitas anak. Jadi nggak cuma senang-senang, tapi juga bisa mendidik," katanya meyakinkan.

Saya yang tak ingin berdebat, dan memang selalu terbiasa mengalah, harus rela mengiyakan. Akhirnya kami ke kasir, dan membawa mainan itu pulang ke rumah sebagai kado.

Tibalah saat pemberian hadiah tiba. Usai acara tiup lilin dan potong kue, istri begitu semangat memberikan kado mainan yang terbungkus rapi itu. Tapi setelah dibuka, sepertinya si kecil tak begitu menyukainya. Akhirnya, mainan itu hanya tergeletak di lantai, dan dia asyik mendorong mainan mobil-mobilan yang ia punya.

Istri saya tentu kecewa. Bukan hanya karena anak tak suka, sepertinya dia menyadari bahwa tadi di toko mainan, kami berdebat hanya untuk hal yang sia-sia. Tak ingin membuatnya berlarut, saya mencoba menghibur dengan membungkus kembali mainan itu dan saya taruh di atas lemari.

"Mungkin nanti kalau dia sudah agak dewasa lagi, dia suka mainan ini. Kan bisa dikado pada ulang tahunnya yang ke 6, 7 atau 8 nanti," hibur saya.

Akhirnya, terpaksa kami balik lagi ke toko mainan, dan membelikan truk pemadam kebakaran yang saya pilih sebelumnya. Dan benar saja, ketika diberikan, anak saya begitu menyukainya. Ia langsung membuka dan memainkannya dengan ceria.

Sebagai orang tua dengan anak tunggal, tentu saya dan istri belum begitu pengalaman dalam hal mengurus anak. Ternyata, teori-teori psikologi perkembangan anak yang selama ini kami pelajari, tak mudah diterapkan dalam kehidupan nyata.

Memang terkadang, sebagai orang tua kita berharap banyak pada anak. Padahal tentunya, itu bukanlah sikap yang bijak. Karena sejatinya, orang tua yang baik adalah yang selalu mendampingi, membimbing dan mensuport pertumbuhan anaknya. Mengarahkan anak pada hal yang menunjan masa depannya memang penting, tapi bukan dengan cara yang memaksa. Semuanya harus dilakukan dengan perlahan, dengan pemikiran waktu yang tepat.

Sedih juga melihat anak-anak yang masa kecilnya kurang menyenangkan, saat ini. Mereka dipaksa sekolah, belajar, les dan lainnya demi memenuhi keinginan orang tua yang selalu berharap perfeksionis pada anak. Padahal, mereka sejatinya ingin bermain bebas dan mengekspresikan keceriannya.

Betapa kita selama ini telah kejam merenggut kebahagiaan mereka? Atau memang ini harus dilakukan demi menyiapkan masa depannya? Entahlah...

Mungkin tidak sedikit dari pembaca yang mengalami hal serupa. Tapi setidaknya, kisah saya ini menyadarkan, bahwa anak kita, memiliki dunianya sendiri. Biarkan dia tumbuh dengan dunianya itu, dan menikmati masa kecilnya yang selalu indah. Itu sudah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun