Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kenangan Sepakbola di Jalan Jambu

31 Maret 2010   15:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04 298 0
Berbicara tentang sepakbola daerah, aku teringat soal kenangan dahulu kala (yah, sebenarnya tidak terlalu lama juga sih, aku sekarang kelas 8 - kenangan ini ketika aku kelas 4-6, jadi 2-4 tahun yang lalu).

Saat itu aku adalah murid pindahan baru, di PEIS - Pakistan Embassy International School (sekolah Internasional punya kedutaan Pakistan), waktu itu bertempat di Jl. Jambu, Gondangdia, Menteng. Sekarang kabar terakhir sekolah ini sudah pindah tempat ke Sunter, berubah nama menjadi AIMS - Alama Iqbal Memorial School (Berusaha meniru sukses Gandhi Memorial School).

Ada apa sodara-sodara? Sepakbola kala di PEIS di Jl. Jambu sangatlah...berbeda, dari sekolah yang lainnya - mungkin saja, kami bisa dikategorikan jauh ketinggalan fasilitas bahkan dibandingkan dengan level SD Negeri khas Jakarta. Well, supaya tidak jauh penasaran - saya mulai saja ceritanya yak.

Awalnya aku adalah murid baru saat kelas 4, pindahan dari SDI Al-Falah yang berada di Kelapa Dua Wetan, Cibubur (kenapa jauh-jauh sekolahnya? Padahal rumahnya di Pejaten). Faktor pemindahanku lumayan banyak - mulai dari distance alias jarak dari rumah, lalu uang sekolah yang makin lama makin mahal (angka figur 7 digit rupiah / bulan, dan terus naik!), dan juga sistem full-day school dimana aku akan menghabiskan waktu di rumah kemungkinan hanya untuk makan dan minum; bayangkan, pulang jam 4 lebih. Dan dengan kemacetan Tol Cibubur sampai ke Ps. Minggu? Dan belum lagi kemacetan sore Ps. Minggu sampai Pejaten? Wah, keok aku lama-lama bisa, tapi sudah cukup terbiasa sih.

Suasana PEIS jauhlah berbeda dengan atmosfir yang ditampakkan oleh Sekolah Internasional pada umumnya - tempat PEIS di Jl. Jambu tak jauh berbeda dengan sebuah villa, dan ya, betul, itu karena memang gedungnya dulunya adalah guesthouse punya Kedutaan AS.

Lalu lapangan untuk bermain bolanya, kalau kata orang luar - ini bukan lapangan. Dan memang aslinya bukan lapangan; aslinya adalah tempat drop para supir jika sedang hujan; dimana dari situ kami (aku dan teman-teman) bisa langsung masuk ke kelas tanpa kehujanan.

Ya, lapangan itu tak lebih sekitar 10-20 m saja, dengan lebar paling besar 15 m, itupun agak zigzag karena ada titik-titik yang 'terhalang' oleh rimbun dedaunan, pos satpam depan, dan semacamnya. Seperti halnya tempat drop yang merupakan jalanan, 'lapangan' kami ini adalah jalanan pula; batu - conblock. Bayangkan saja kami bermain disana. Apakah lapangan terlalu kecil - jika kami bermain bersama seluruhnya maka, ya, sangat kecil dan akan sempit dan rusuh - tetapi tidak jika hanya digunakan 1-2 kelas (maklum, satu kelas di PEIS saat itu hanya sekitar 10-20 orang saja).

Lalu bagaimana kami bermain? Kami bermain seperti biasa, main saja - untuk batas gol, kami gunakan sepatu atau kursi bekas dari gudang untuk sisi jauh, dan untuk sisi dekat, sudah dibatasi oleh 'jendolan' di dinding, sehingga kami bermain saja terus. Kami bermain layaknya anak-anak lain. Tidak dibatasi oleh kewarganegaraan kami yang berbeda-beda; kelasku saja terdiri dari anak-anak dari Indonesia (tentu), Pakistan (pasti), India, Afghanistan, Azerbaijan, Bosnia, Arab, Iran, Vietnam, Myanmar, Korea dan Yaman - sepakbola dan lapangan depan itu menjadi 'melting pot' batas-batas sosial kami; disitulah, dengan bermain bola bersama kami belajar mengerti satu sama lain - menjadi suatu tempat sosialisasi; dari sepakbola lah, saya mulai tahu beberapa kata dari bahasa masing-masing, dan mereka perlahan-lahan tahu Bahasa Indonesia pula; sebuah bukti konkrit betapa sepakbola bisa menembus batasan budaya dan dengan sendirinya menjadi medium untuk sosialisasi. Meski terkadang ada perbedaan antara peraturan dan pandangan/POV (Point-of-view) yang membuat kami sedikit berantem, tapi tetap tidak dibawa keluar lapangan; masalah lapangan tetap di lapangan. Dan kami selesaikan dengan membuktikan siapa jawaranya.

Soal fasilitas individu, seperti bola, kaos, atau bahkan sarung tangan - jangan diremehkan, namanya juga anak-anak dari Dubes dan kawan-kawan pasti sudah memiliki; untuk itu kami membawa masing-masing, kadang kami saling bertukar minjam-meminjam. Jika yang satu memiliki sarung tangan, kadang ditukar dengan pelindung lutut, dan semacamnya.

Meskipun dalam keterbatasan lahan, kami tetap bermain dan tetap berprestasi - dalam keterbatasan ini kami memiliki determinasi kuat untuk menunjukkan ke sekolah lain kalau kami tidak kalah dari mereka; oleh karena itu, 'para dewa' kami yang terpilih, akan dilatih. Oleh siapa? Waktu itu kami tidak mempunyai guru olahraga formal - lalu siapa guru olahraga kami? Tidak lain tidak bukan adalah seorang pramubakti/OB yang luar biasa, muda dan bersemangat, namanya mas Yogi. Ucapan populernya yang paling saya ingat adalah ketika ada anak yang makan roti, dia pasti selalu mendekat dan berbicara "Bagi roti." Kasihan.

Yogi ini adalah seorang motivator ulung; perjalanannya sendiri hingga akhirnya terdampar sebagai seorang OB pun tragis - berumah di Parung, dia berangkat pagi-pagi sekali, malah kadang tidak pulang ke anaknya agar tetap berada di Jakarta. Dulu dia pemain yang bagus; masuk Persija U-17, tapi dibuang karena banyaknya kisah tragis mengenai praktik 'Suap Bakat' - dia tidak memiliki uang dan harus keluar. sayang sekali, mas Yogi. Dia, lulusan SMA, tidak tahu mau kemana, akhirnya mengabdi disini menjadi seorang...OB.

Tapi semangatnya tidak padam, ketika 'para dewa' sepakbola kami memutuskan untuk 'go global' alias menjajal kompetisi sepakbola disekolah lain, Yogi pun diangkat menjadi Coach mereka - seringkali mereka berhasil. Yogi pun mendapatkan bonus pula untuk bagiannya, tatkala itu ia tidak meminta roti untuk 2 minggu. Aku bertanya, dia jawab. "Alhamdulillah, kan, kenyang gue.". Sayangnya ia tidak dijadikan guru Olahraga, ia tetap menjadi OB. Kasihan, sang unspoken hero; pahlawan yang tidak tertuturkan ceritanya. Kasihan sangat.

Hari demi hari berlalu di PEIS, lapangan lama itu kami tetap gunakan - bulan demi bulan, dibawah tangan Yogi dan para senior, kami berhasil membangun sebuah tim futsal yang kokoh, yang namanya disanjung di antara kami, dan cukup menjadi momok untuk beberapa lawan di beberapa kompetisi futsal di area Jakarta Pusat, Timur, dan Utara. Tapi di area Jakarta Selatan kami masih kalah.

Aku sendiri, memang kurang jago bermain bola. Yah, sejago-jagonya aku, aku hanya pernah membuat gol 8x (tidak termasuk Penalti) selama 8 tahun pembelajaran dari SD sampai SMP ini. Sebagus-bagusnya aku aku selalu ditempatkan sebagai Bek Sayap, Wing Back. Atau sebagai gelandang bertahan, Defensive Midfielder. Orang-orang memang cukup takut ketika akan melewati aku - tackle ku keras, dan aku susah untuk dilewati, bahkan jika orang yang melawanku adalah master dribble.

Lapangan itu tetap tidak berubah, fungsinya juga tidak berubah - dari sinilah betapa aku belajar bahwa sepakbola adalah sebuah bahasa universal yang dapat mempersatukan semua bangsa.

Benar-benar sebuah kenangan sepakbola yang tidak bisa dilupakan dan patut untuk dituturkan. Patut untuk dikenang.

M Arkan, 31032010

Bisa dilihat pula di; podjoknusantara.blogspot.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun