Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Sekolah Sudah Menyistemkan Frugal Living bagi Siswa

2 Februari 2024   15:59 Diperbarui: 2 Februari 2024   17:32 153 14
Frugal living sudah menjadi tema penting dalam kehidupan masyarakat di bumi pertiwi sejak dulu kala, sejak saya masih kanak-kanak. Di sekolah, tema tersebut sangat kentara. Dan, hal itu, hingga kini masih berlangsung.

Ketika anak-anak mendaftar sekolah, sebagai siswa baru, misalnya, sudah diarahkan oleh sekolah memasuki gaya hidup hemat, hidup sederhana. Diberlakukannya seragam sekolah bagi siswa adalah salah satu praktik baik frugal living di sekolah.

Seragam merah-putih untuk siswa sekolah dasar (SD). Seragam biru-putih bagi siswa sekolah menengah pertama (SMP). Dan, seragam abu-abu-putih untuk siswa sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK).

Seragam tak hanya berkaitan dengan atasan (baju) dan bawahan (celana atau rok). Tapi, juga berkaitan dengan sepatu, kaus kaki, ikat pinggang, dan beberapa hal sejenis lainnya untuk siswa. Juga termasuk seragam olahraga.

Yang saya sebutkan di atas lebih mengarah ke siswa di sekolah-sekolah negeri. Siswa di sekolah-sekolah swasta sangat mungkin ada kebebasan.

Tapi, sejauh saya mengetahui, perihal seragam atasan dan bawahan cenderung sama dengan siswa di sekolah-sekolah negeri. Terkait dengan sepatu, kaus kaki, dan ikat pinggang, misalnya, siswa di sekolah-sekolah swasta lebih merdeka.

Sekalipun ada juga (sebetulnya) siswa di beberapa sekolah swasta yang diberi kebebasan oleh sekolah dalam hal berpakaian. Terutama, sekolah swasta yang berada di perkotaan, yang umumnya siswanya berasal dari keluarga menengah ke atas.

Siswa putri, baik di sekolah negeri maupun swasta, tak boleh mengenakan perhiasan. Sebab, perihal perhiasan selalu dikaitkan dengan gender wanita. Tentu hal tersebut tak berarti siswa putra dibolehkan memakai perhiasan. Tak boleh juga.

Siswa putri, yang selama ini kita melihatnya, hanya memakai anting-anting. Itu pun tak  berupa perhiasan yang mewah, artinya tak selalu emas dan sejenisnya.

Kalaupun emas, sudah pasti tak memikat mata, dari sisi ukuran atau bentuk, biasa-biasa saja. Kita pun mengetahui bahwa memakai anting-anting bagi siswa putri sebagai tradisi yang bersifat turun-temurun.

Jadi, pemakaian anting-anting bagi siswa putri lebih mengarah ke sisi kultural, yang berbau fashion.  Dan, tentu sekaligus untuk memberi ciri, sebagai salah satu pembeda dengan (siswa) putra.

Terkait kalung,  hampir-hampir tak ada yang memakainya. Kalaupun ada yang memakainya, dapat dipastikan tak mencolok. Masih dalam kategori wajar-wajar saja.

Dan, sekali lagi, seperti siswa putri di sekolah tempat saya mengajar, tak pernah saya menemukan mereka yang mengenakan kalung. Memang,  banyak dari mereka yang mengenakan jilbab, yang artinya kalau pun mereka memakai, tak akan kelihatan.

Tapi, beberapa yang tak mengenakan jilbab, saya juga tak menemukannya ada yang memakai kalung emas atau sejenisnya. Tentu saja semua orangtua siswa sudah menyadari bahwa ini pilihan terbaik untuk anaknya. Agar, tak rawan terhadap tindak kejahatan.

Bahkan, saya memandang, entah disadari atau tidak oleh banyak orang bahwa pemerintah yang memberlakukan jalur zonasi --yang masih diliputi berbagai persoalan-- dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) juga menyistemkan gaya hidup sederhana bagi siswa.

Sebab, dengan adanya jalur zonasi dalam PPDB, anak-anak tak jauh-jauh sekolahnya dari lokasi tempat tinggal mereka. Dengan begitu, mereka pulang-pergi sekolah dapat berjalan kaki.

Berjalan kaki yang dilakukan setiap hari, diakui atau tidak, bagian dari cara menata diri hidup sederhana. Bahkan, secara fisik, mereka memiliki kesehatan yang terjaga.

Dan, secara sosial, sikap kebersamaan dan keramahan mereka (akan) terbangun. Tak hanya antarteman, tapi juga dengan masyarakat di sepanjang jalan yang mereka lalui. Dalam bahasa Jawa, sapa-aruh (menyapa-menegur) dalam kondisi seperti itu sangat mungkin mereka lakukan.

Siswa yang tak berjalan kaki, dapat menaiki sepeda karena jarak rumah ke sekolah agak (sedikit) jauh. Di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, sebagian besar siswa menaiki sepeda.

Di tengah mobilitas kehidupan masyarakat yang serba motor, menaiki sepeda membentuk kepribadian yang sederhana.

Karenanya, bagi siswa yang pergi-pulang sekolah menaiki sepeda, di sekolah mana pun, berarti mereka  sudah mendapatkan pendidikan tentang kepribadian yang sederhana.

Saya belum pernah menemukan satu pun orangtua siswa yang menolak kebijakan sekolah, di tempat saya mengajar, tentang siswa pergi-pulang sekolah (wajib) menaiki sepeda. Semua orangtua siswa sepakat.

Karena, saya meyakini bahwa mereka memiliki pemikiran yang sama dengan kebijakan sekolah, yakni agar anak (hidup) sederhana, hidup hemat.  

Hanya, siswa yang kebetulan berdomisili jauh dari lokasi sekolah, tak dapat menempuhnya dengan berjalan kaki dan menaiki sepeda. Mereka diantar jemput oleh orangtua.

Tapi, ada juga siswa yang secara sembunyi-sembunyi mengendarai motor (sendiri). Motor tak diparkirkan di tempat parkir sepeda siswa. Ini tak mungkin mereka lakukan. Sebab, sekolah, yang tingkat SMP dan yang sederajat, apalagi SD, umumnya melarang siswa mengendarai motor.

Karenanya, sangat mungkin siswa yang mengendarai motor, menitipkan motornya di rumah temannya, saudaranya, atau warga sekitar sekolah yang mau dititipi motor --tentu saja dengan imbalan  uang jasa.

Siswa yang demikian tak banyak. Sebab, jumlahnya dapat dideteksi lewat jumlah sepeda yang diparkir di tempat parkir sepeda siswa. Tapi, sekalipun sedikit, ini melukai kebijakan sekolah, lebih-lebih jika dikaitkan dengan upaya mendidik siswa menghayati hidup sederhana.

Karenanya, sekolah pasti mengajak siswa yang ketahuan mengendarai motor saat pergi sekolah untuk berdiskusi. Bahkan, motor  akhirnya harus ditaruh (sementara) di sekolah. Dan, hanya boleh diambil oleh orangtua.

Dalam relasi ini, kemudian sekolah (justru) dapat membangun komunikasi yang bersifat mengajak orangtua untuk mengedukasi anaknya. Sekalipun upaya ini belum tentu efektif.

Sebab, dapat saja karena rumah jauh dari lokasi sekolah, orangtua pun sibuk bekerja, dan pertimbangan nilai ekonomis, anak akhirnya tetap (saja) diizinkan oleh orangtua  mengendarai motor.

Fakta ini jelas kurang mendukung kebijakan sekolah. Bahkan, berlawanan dengan kebijakan sekolah. Sementara sekolah membangun kepribadian sederhana pada anak, tapi beberapa keluarga --dalam kondisi tertentu-- justru menjauhkan anak dari kesederhanaan.

Sekalipun begitu, sekolah tetap menjaga dan memberlakukan kebijakan baik yang sudah berjalan, yaitu siswa wajib menaiki sepeda. Karena, kebijakan tersebut memiliki efek yang positif terhadap sebagian besar siswa.

Nah, menambah yang sudah disebutkan di atas, siswa putri, umumnya, tak diizinkan membawa keperluan berhias saat bersekolah. Misalnya, bedak, lipstik, dan sejenisnya. Mereka dikondisikan untuk berpenampilan biasa saja. Tak dibuat-buat alias apa adanya.

Sekalipun sangat mungkin siswa putri ketika berada di rumah, terlebih saat-saat ada hajatan di keluarga dan saudara, ada yang bersolek. Tapi, hal ini dilakukan karena tuntutan keadaan.

Bersolek memang begitu dekat dengan gender wanita. Bahkan, boleh dibilang wanita identik dengan bersolek. Tapi, sekolah menjaga agar siswa putri tak bersolek ketika beraktivitas sekolah. Di beberapa sekolah bahkan ada razia untuk perihal ini.

Termasuk sekolah melarang siswa menyemir rambut, baik bagi siswa putri maupun putra adalah juga upaya sekolah menjaga agar frugal living dijalani oleh siswa. Sebab, sekolah melarang siswa menyemir rambut berarti mengarahkan siswa bersikap hidup hemat.

Intinya, semua aktivitas dan program di sekolah yang dikenakan terhadap siswa selalu diarahkan untuk membentuk sikap hidup yang sederhana bagi siswa.

Sebetulnya begitu juga diberlakukan bagi guru dan tenaga nonguru di sekolah. Yakni, mempraktikkan  gaya hidup sederhana. Adanya seragam bagi guru dan tenaga nonguru merupakan indikator bahwa guru dan tenaga nonguru  juga diarahkan dalam kesehariannya mengedepankan frugal living.

Pun selama ini, saya tak pernah melihat teman guru wanita yang mengenakan perhiasan yang berlebih, meski saat ada kondangan, mereka mengenakan perhiasan yang lebih mencolok. Sangat berbeda ketika mereka sedang beraktivitas di sekolah. Menciptakan kesahajaan.

Tentu termasuk juga bersolek, saya tak menemukan guru dan tenaga nonguru wanita di sekolah tempat saya mengajar. Mereka berpenampilan biasa saja. Kalau memakai bedak dan menggunakan lipstik sebagai hal yang wajar bagi wanita dewasa.

Dari semua hal yang diuraikan di atas tampak bahwa sekolah sudah menyistemkan frugal living, yang ternyata tak hanya bagi siswa, tapi juga bagi guru dan tenaga nonguru.

Bagi siswa, penyisteman frugal living di sekolah ini, disadari atau tidak, sebagai wadah untuk mendidik dan melatih mereka hidup hemat, hidup sederhana, dalam menghadapi kehidupan di luar sana yang penuh keglamoran.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun