Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Saya (Tidak) Suka Cina!

15 September 2012   23:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:24 4130 31

Judul di atas jika di hilangkan tanda kurungnya menjadi provokatif dan kental dengan nuansa kebencian. Namun jika dihilangkan kata “tidak” didalam kurung itu nadanya menjadi netral.

Mengapa ada yang suka dan ada yang tidak suka terhadap sesuatu?, itu sesuatu yang wajar. Menjadi aneh ketika ada yang tidak suka sesuatu tanpa alasan atau argumentasi. Dan menjadi sangat lucu jika hal itu hanya didasari suatu kebencian belaka. Apalagi benci terhadap sesama manusia yang sama-sama makhluk ciptaan Tuhan tetapi kebetulan beretnis beda dengan kita. Cina umpamanya.

Tulisan ini tidakada hubungannya dengan pilkada DKI Jakarta yang akan dilangsungkan pada 20 September nanti. Hanya kebetulan saja, inspirasinya nongolnya berbarengan dengan itu.

Salahkah bila kita suka pada orang yang berbeda dengan kita?. Secara pribadi saya menyatakan suka pada Cina, kenapa?, berikut inilah alasannya.

Sejak tahun 80-an saya sudah mempunyai hobi (utak-atik) elektronik. Awalnya cuma bongkar-bongkar radio transitor. Saya korbankan cincin kawin saya saya tukarkan dengan sebuah radio (rusak), merknya Sanyo buatan Jepang. Setelah saya buka dan saya belikan batu baterai 6 buah lantas saya pasang, memang tidak hidup sama sekali, bahkan krak-krek krak-krek pun tidak. Memang agak schok juga benda yang sangat bersejarah itu saya tukarkan bodholan, namun karena sudah saya niati maka tidak ada penyesalan.

Belajar elektronik tidak mungkin hanya praktek saja, harus diiringi teori, maka ketika saya pergi ke loakan buku-buku, saya menemukan buku-buku bekas dan saya beli dengan harga Rp.6.000,- empat eksemplar buku elektronik. Meskipun buku stensilan namun isinya lumayan bagus kala itu buat ukuran saya, pengarangnya J.Canny. Di buku itupun ditulis sebuah motto : teori tanpa praktik lumpuh, praktik tanpa teori buta. Saya semakin serius menekuni hobi elektronika, terlebih lagi sudah punya buku panduannya, dan akhirnya bodholan itu bisa hidup kembali.

Hobi saya itu akhirnya kebablasan, bukan hanya ngutak-ngatik radio, lama-lama banyak tetangga yang mengantarkan elektroniknya ke rumah saya untuk diperbaiki. Radio, taperecorder, video cassette recorder (VCR) dan pesawat televisi. Waktu itu belum ada vcd atau dvd. Akhirnya secara resmi saya menerima service (amatir) elektronik di rumah. Mengapa saya katakan amatir, ya karena saya belajar elektronik secara otodidak, apalagi sekolah atau kuliah elektronik kursuspuntidak, jadi nggak berani bilang sebagai profesi, profesi kan sudah profesional.

Namun meskipun bukan profesional, saya bekerja selalu berusaha seprofesional mungkin, oleh sebab itu untuk menambah ilmu saya tentang elektronik saya selalu membeli buku-buku elektronik (sebagian besar terbitan Gramedia) dan buku-buku diagram televisi sebagai panduan guna memudahkan mendiagnosa suatu kerusakan.

Ketika itu yang banyak dimilik masyarakat tv buatan Jepang , seperti Sony, Sharp, Sanyo, Hitachi, Mitsubishi, National dan produk Korea Samsung dan Gold Star (sekarang LG) serta produk Eropa Philips, Telefunken, Blaupunk, ITT dan Graetz. Waktu itu belum ada produk Cina, ada produk Cina cuma speaker.

Lebih 20 tahun saya melayani masyarakat menservis perangkat elektroniknya. Tentu banyak suka dukanya melayani orang banyak dengan beragam karakter.

Orang yang tidak tahu tentang elektronik biasanya suka meremehkan atau menganggap gampang, katanya utak-utik sedikit saja sudah dapat uang sekian ratus ribu, sakit rasanya jika dibilang begitu, padahal elektronik itu sungguh rumit, terlebih lagi bagi tukang yang tidak bisa membaca diagram.

Setelah didiagnosa dan ketemu penyakit atau kerusakannya terkadang kendalanya mencari komponen penggantinya itu lama, di toko tidak ada stok atau stoknya habis. Maka terkadang sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tvnya belum juga jadi. Disinilah terkadang kita harus tabah menghadapi pelanggan yang tidak sabar. Tidak jarang pelanggan yang tidak mau diberi pengertian marah-marah menganggap dia dipermainkan.

Kendala yang lain biasanya mahalnya harga sparepart atau komponen. Satu IC (Integrated Circuit) ada yang berharga 100 hingga 200 ribu ribu rupiah. Disini terkadang pelanggan merasa diperas oleh tukang yang katanya ongkosnya terlalu mahal. Maka jika ada tv yang terlalu mahal komponennya atau sudah tidak diproduksi lagi IC penggantinya, banyak tv yang menjadi bangkai.

Kembali ke judul “saya (tidak)suka cina”...hehehe...hampir lupa, nanti dikira tidak sesuai dengan judul.

Cina sungguh jeli melihat peluang ini. Tidak malu-malu Cina memproduksi mainboard (orang sering menyebut sasis atau mesin TV) berbagai merk tv-tv Jepang. Maka tv-tv yang sudah membangkai tapi CRT (Catode Ray Tube) atau tabung gambar nya masih bagus bisa diganti dengan mesin tv cina, meskipun terkadang ada merubah sedikit sedikit, namun tv yang seharusnya dijual kiloan itu bisa dihidupkan kembali. Inilah salah satu kenapa saya suka pada Cina...hahaha.

Bukan hanya itu sekarang produk-produk elektronik dari Cina mendominasi etalase toko-toko elektronik. Herannya sampai hal yang kecil-kecil seperti power supply vcd/dvd serta power supply DSR (Digital Satellite Receiver) pun di produksi oleh Cina, bahkan berbagai macam remote controlpun dibuat oleh Cina. Uedan tenan Cina kok.

Apakah kita harus membenci Cina lantaran produknya menjajah hingga ke pelosok-pelosok desa diseluruh Indonesia? Mengapa kita harus membencinya padahal masyarakat kelas bawah tertolong oleh produk Cina yang terkenal murah itu?

Pernah ada wacana akan memboikot produk Cina, kenapa? Bukankah ini sebuah tantangan agar kita semakin kreatif?

Saya tidak tahu kenapa para pemodal besar tidak (mau) membaca peluang hal-hal (yang dianggap) kecil itu untuk diproduksi di dalam negeri, untuk mengimbangi “menggilanya” produk Cina.

Itulah kenapa saya suka Cina.

Semoga tulisan ini bisa menginspirasi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun