Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Burung, dari Matinya Saya Belajar Tentang Riau

23 September 2015   15:02 Diperbarui: 23 September 2015   15:11 132 0


Menjejakkan kaki di dunia politik sejak usia belasan tahun. Mengecap pendidikan di banyak disiplin ilmu lain selain Hukum. Dari ribuan jam kiprahnya yang saya saksikan dan baca di media, ada secuil waktu--tak lebih dari 45 menit--dimana saya sempat bertemu dan ngobrol dengannya. Lebih tepat disebut menyimak ketimbang ngobrol. Karena saya lebih banyak bertanya dan menikmati alur pikirnya ketimbang berpendapat.

Dalam obrolan di sela persiapan rekaman sebuah talkshow sebuah televisi nasional, itu bang Buyung lebih banyak berkisah soal kegemarannya memelihara burung sejak muda. filosofi-filosifi burung dan alam pun mengalir darinya. Mengesankan. Seorang advokat yang 'galak' di ruang sidang. Namun memiliki kehalusan perasaan di sisi yang lain.

Wafatnya bang Buyung kembali mengingatkan saya sebuah pengalaman. Tentang seekor burung yang 'terpilih' mati di tangan saya. Seperti bang Buyung yang mengajarkan banyak hal. Burung ini pun--dalam sebuah perspektif--demikian. Setidaknya untuk saya.

Selamat jalan, Bang Buyung.

=======================================================

Di siang yang panas itu, sendirian sambil bengong-bengong bego di teras, seekor burung kecil tiba-tiba terbang mendekat dan brukkk...... Ia menghantam dinding yang persis ada di belakang saya. Jatuh di lantai lalu menggelepar. Dengan hati-hati saya raih dan belai tubuhnya. Gerakannya makin melemah dan...mati.

Kejadian ini sesungguhnya biasa saja, walau burung menabrak dinding adalah hal yang langka bagi saya. Namun kemudian saya berpikir."Ada banyak burung lain dan atau tempat dan cara lain untuk mati. Kenapa burung ini memilih mati di dekat saya, ya? Bahkan di tangan saya".

Tidak juga bermaksud puitis, melo atau mengada-ada. Bagi Anda yang yakin bahwa segala sesuatu diperjalankan Tuhan--termasuk cara burung ini mati--setidaknya saya merasa dipilih Tuhan untuk melihat salah satu mahlukNya tersudahi hidupnya.

Apa pun musimnya, burung selalu mendapatkan cara untuk bertahan hidup. Itu sebabnya ia tak menyimpan makanannya untuk besok. Memulai paginya selalu dengan riang. Keluar dari sarangnya dengan optimis. Bahwa alam akan menyediakan makanan yang cukup baginya, hari itu.

Pada burung yang hidup di alam, Anda tak akan pernah menemukan burung dengan fisik yang tambun dan gendut. Selalu slim, aerordinamis dan proporsional. Burung tak pernah menyimpan makanan berlebih kecuali untuk dirinya hari itu. Karena ia selalu yakin akan ada rizki baginya dan bagi masing-masing dari ribuan burung yang lain.

Seperti Anda, saya juga hampir tak pernah melihat bagaimana secara alamiah burung mati. Kecuali di film dokumenter tentang burung yang dibuat oleh pengamat satwa.

Hari itu, kepada saya diantarkan sebuah kejadian tak biasa. Mungkin bukan tentang cara matinya. Tapi Tuhan meminta saya melihat dari dekat mahluk kecil yang hebat. Yang darinya saya bisa belajar tentang apa itu cukup dan selalu optimis. Tanpa prasangka buruk bahwa rizki dan miliknya akan diambil orang lain. Yang itu sebabnya ia selalu gembira.

Yang ia tahu, ia harus pergi dan terbang untuk memilih dimana harus mendarat, untuk mendapatkan rizkinya. Pada dirinya terlengkapi sepasang sayap yang harus sama kuatnya. Walau tak pernah bertemu, tapi sayap yang satu percaya bahwa pasangannya di sebelah sana juga mengepak sama kuat dan sama cepat, agar burung bisa terbang.

Dengan kerendahan hati dan jauh dari maksud menggurui, ayat-ayat, nilai-nilai atau pelajaran sesungguhnya terlalu banyak untuk tidak bisa kita lihat dari alam. Dan itu di depan mata. Hanya mungkin karena saya terlalu bebal, tuli bahkan buta. Hingga Tuhan perlu menyodorkannya sedikit ekstrim, dengan mengirim pesan melalui burung.

Seekor burung kemudian mengambil tugas itu dengan ikhlas, walau harus mati. Supaya saya mau dan bisa menyentuhnya, lalu belajar dari sana.

Akibat pembakaran hutan dan lahan, burung adalah satu dari jutaan flaura dan fauna yang--pelan tapi pasti--musnah di Riau. Dan kita--umat manusia--kehilangan kesempatan menyimak Kalam-kalam Ilahi yang selalu lekat menyertai setiap mahluk ciptaanNya.

Membakar dan membiarkan alam terus menerus terbakar. Tanpa menyisakan tempat bagi mahluk lain. Itu sama dengan membakar ayat-ayat sang Khaliq. Membiarkan pesan-pesan penting kehidupan terbang begitu saja. Bersama asap dengan aroma keserakahan yang sangat menyengat.

Bagi si burung kecil, ia sadari atau tidak, mati baginya bisa kapan saja. Dan dengan cara apa saja. Tanpa membawa apa-apa. Tapi pada kita yang belajar, matinya tak boleh sia-sia. Karena kematiannya membawa pesan luar biasa. Dari Tuhan. Untuk kita, manusia.

Terima kasih, Tuhan.
Terima kasih burung kecil.
Maafkan kami yang serakah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun