Banyak orang orang luar negeri yang justru tertarik dengan tontonan & tuntunan wayang kulit, mereka harus rela berpayah payah menunggu semalam suntuk kemudian menyimpan dan mereka ulang kajian/pesan moral yang ada di pagelaran tersebut. Bagaimana ini bisa terjadi? kemungkinan ini ada karena banyak pustaka dari bangsa Indonesia yang justru tersimpan di negara asing (Museum Leiden-salah satunya), sehingga mereka sempat untuk membuka, mengetahui dan lebih banyak mengkaji kandungan pustaka tersebut, termasuk seni wayang.
Lewat penuturan buyut-buyut zaman dahulu, ditambah pula informasi dari Nyonya Wikipedia, ternyata wayang sudah ada di zaman Prabu Airlangga, ya..seorang raja dari kerajaan Kahuripan (1028-1035) namun tumbuh dan berkembang menjadi tontonan yang menarik dan merakyat terjadi saat datangnya para Walisanga yang berdakwah melalui jalur budaya. Syeh Malaya alias Sunan Kalijagalah salah satu tokoh yang sering mementaskan pagelaran wayang kulit ini, yang mempunyai gelar dhalang yang bernama dhalang Soponyono. Dibanding wayang zaman Airlangga, ada banyak penambahan baik isi maupun cerita atau muatan nilai islam yang dimasukkan dengan sangat halus dan elegan disetiap lakonnya. Bukankah jimat Puntadewa bernama Jamus Kalimasada? yang bisa juga diartikan sebagai Kalimah Sahadat? Saking halusnya pesan islami dari para wali bahkan sampai sekarangpun masih banyak orang yang sibuk menafsiri berbagai lakon wayang, katanya akan berhubungan dengan penanggulangan bencana dari beragam sampah postmodernisasi.
Ada banyak dalang yang namanya terkenal karena melanjutkan jejak para wali diantaranya: Ki Manteb Sudarsono (salah satu dhalang) yang berbahagia sebab mewakili Indonesia menerima penganugerahan dari Unesco, Ki Anom Suroto, Ki Hadi Sugito, juga tak ketinggalan tokoh kawakan dari Semarang Ki Narto Sabdo, Ki Enthus Susmono (sang dalang edan) pula masih banyak lain lainnya. Mereka berlomba lomba menarik minat warga untuk kembali mencintai kesenian Jawa, dengan berbagai gaya dan cara dilakukannya. Ada yang bergaya pakem, bergaya modern pula ada yang nyeleneh disetiap penampilannya. Dan itu sah sah saja.
Zaman sekarang, fungsi dan peranan dalang sudah berubah. Mereka tidak memerlukan lagi blencong, kelir maupun gunungan. Para dalang gaya baru lebih banyak memerlukan cerita rekayasa, tokoh-tokoh yang sering berganti peran, walau satu muka. Apalagi ditambah animo masyarakat yang sepertinya asyik mengikuti cerita dan lupa akan esensinya (meski suatu saat berubah jadi bosan). Lihat saja, ada saja kasus yang tiba tiba menghablur, tanpa bekas dan sisa, atau tiba tiba ada lakon baru sebelum lakon lama selesai. Ya..dalang gaya baru yang seringnya memakan korban, baik masyarakat kecil maupun umat agama, dan anehnya sang dalang tak jadi terdakwa.
Entah kapan semua ini akan berakhir...