Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Tasawuf dalam Secangkir Kopi

20 Agustus 2019   20:49 Diperbarui: 20 Agustus 2019   20:49 73 1
Sesendok bubuk kopi mengisahkan cerita panjang tentang kerja keras, disiplin, telaten, totalitas, perhatian, cinta, dan... kehidupan. Dan begitupun gula.
 
Banyak hal yg manis dalam perjalanan kopi, dan mungkin banyak hal yg pahit dalam perjalanan gula. Ada rasa manis dalam pahitnya kopi, dan ada rasa pahit dalam manisnya gula.

Satu hal yg pasti, sang kopi mengurangi egonya ketika menyatu dalam panasnya air dan rela dipanggil "air kopi", bukan "kopi air". Malah setelah egonya bisa lebur, dengan sendirinya eksistensi sang kopi pun makin membesar dan meluas lewat rasa dan harumnya yg khas.

Walaupun pengorbanan sang kopi tidak sehebat sang gula yg semua wujudnya hilang berubah menjadi rasa manis, dan namanya pun ikut lenyap dalam "air kopi", seakan sang kopi memberitahu pengorbanan pasangannya yg bisa menyatukan sisi manisnya dalam kepahitan dan hitam dirinya.  Memang ia dan pasangannya hancur, tapi melebur dan tidak hilang. Seperti lenyap dan kalah, tapi sebetulnya eksis dan menang.

Akhirnya para penikmat pun paham bahwa Kopi dan Gula tidak saling menghilangkan, malah menggenapkan rasa. Sisi pahitnya kopi dan manisnya gula saling menyatu dan keduanya terasa. Itulah kesempurnaan karena saling melengkapi dan bukan saling melenyapkan.

Seperti itulah hidup dan kehidupan, selalu hidup dan menghidupkan dalam dualitas sisi yg saling berlawanan, seperti gula dan kopi,  manis dan pahit, serta putih dan hitam.
 
Dan bukankah "...diciptakan berbangsa-bangsa itu supaya lita'arafu (saling kenal-mengenal).." ? Tentunya bukan sekedar saling kenal-mengenal, tetapi harus bisa saling memahami dan bersikap arif (bijak), seperti halnya asal kata dari "lita'arafu" yaitu 'arif, makrifat.
 
Jadi, bijaklah karena ada putih di dalam hitam dan ada hitam di dalam putih.
Dan hati-hatilah karena dalam benar pun suka ada salah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun