Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Menyusuri Jejak Köhler ke Serambi Mekkah

22 Oktober 2012   21:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:31 882 7

"In Memoriam Generaal-Majoor J.H.R. Köhler, Gesneuveld 14 April 1873", tulisan pada salah satu prasasti yang melekat di gerbang Kerkhof Peutjut, Banda Aceh itu menyentil sekelebat memori yang melintas perlahan di dalam kepala. Köhler! Nama itu mengingatkan pada sebuah prasasti di Kebon Jahe Kober, Jakarta Pusat yang beberapa kali disambangi.

Deja vu! Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler, pimpinan tentara kerajaan Belanda membawa 3000-an serdadu menapakkan kakinya di bumi Serambi Mekkah pada 6 April 1873 untuk merebut Aceh. Satu langkah yang dilakukan oleh Belanda setelah Perjanjian London yang disepakati bersama Inggris pada 1871; yang salah satu poinnya berbunyi Inggris memberikan kekuasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Pada 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang terhadap Aceh dan mengirimkan pasukan ekspedisi dibawah komando Köhler ke Aceh.

Di depan monumen Köhler, Pak Ramli dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang menjadi narasumber kami Kamis siang itu (11/10); memaparkan perjalanan Köhler, sepenggal sejarah Kerkhof Peutjut dan kisah pasukan khusus Hindia Belanda, Marsose! Marsose adalah pasukan khusus yang dibentuk pada 20 April 1890 untuk menghadapi serangan gerilyawan Aceh pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van Teijn. Perang Aceh berlangsung selama 31 (tiga puluh satu) tahun (1873 - 1904)dan dalam sejarah Belanda dicatat sebagai perang terpanjang dengan catatan kelam melebih pengalaman pahit mereka pada Perang Napoleon.

Saat tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Kerkhof Peutjut turut terendam air bah dan beberapa makam pun hanyut. Pembersihan dan revilatalisasi dilakukan dengan baik untuk menyelamatkan yang tersisa. Kini Kerkhof Peutjoet dikelola sebuah yayasan yang berpusat di Belanda, Yayasan Dana Peutjut. Yayasan ini dibentuk pada 29 Januari 1976 atas gagasan seorang veteran tentara Marsose Kolonel J.H.J. Brendgen setelah melihat kondisi makam militer Belanda yang memprihatinkan saat berkunjung ke Aceh.

Keluar masuk kompleks Peutjut, pengunjung akan melewati gerbang kehormatan Peutjut yang dibangun pada 1893. Di pucuk gerbang terdapat tulisan dalam bahasa Belanda, Melayu dan Jawa berbunyi, Aan onze kameraden, gevallen op het van eer ( = Untuk sahabat kita, yang gugur di medan perang). Sedang di dinding gerbang terpatri nama-nama mereka yang dimakamkan di Peutjut, daerah- daerah pertempuran Aceh termasuk beberapa peristiwa yang terjadi di Aceh.

Langit biru menaungi kota Banda Aceh saat langkah dengan berat harus diayun meninggalkan Kerkhof Peutjut. Hasrat untuk menikmati senyap dan berlama-lama di taman pemakaman itu masih menggebu, namun waktu yang terbatas memaksa kaki untuk segera beranjak. Di depan gerbang kehormatan Peutjut, satu doa dipanjatkan padaNya untuk diberi kesempatan kedua bertandang ke kota ini satu hari nanti.

Dari Kerkhof Peutjut, kami melanjutkan plesiran ke Museum Tsunami yang hanya berjarak beberapa langkah di depannya. Sebuah catatan lepas perjalanan bersama Sahabat Museum dalam kegiatan Plesiran Tempo Doeloe (PTD): Atjeh – Sabang (11 – 14 Oktober 2012).Tempat lain yang sempat dikunjungi selama 4 (empat) hari di Tanah Rencong adalah Titik Nol Km di Pulau Weh, benteng Anom Itam, bunker tentara Jepangdan beberapa situs bersejarah di Sabang, Rumah Cut Nyak Dhien, Makam Sultan Iskandar Muda, Rumoh Atjeh,  beberapa situs tsunami Aceh, termasuk wisata kuliner dan menikmati kopi Solong. Salam wisata sejarah. [oli3ve]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun