Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Artikel Utama

Senandung Sunyi, Menggali Ilmu dari Sebuah Nisan Tua

9 Agustus 2011   03:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:58 893 1
[caption id="attachment_127878" align="alignleft" width="300" caption="@Cenotaph Singapore"][/caption] Ketika berkesempatan mengunjungi satu kota, ada beberapa hal yang harus saya cari tahu sebelum bertandang yaitu : sejarah kotanya, tempat wisata yang jarang dikunjungi orang serta kuliner khasnya. Kawan saya geleng-geleng kepala memelototi catatan kecil yang ada di tangannya,”kamu ke sini cuma buat mencari kuburan dan jalan ke museum?” Dia membuka pintu apartemennya lebar-lebar buat saya menginap selama berlibur di Singapur beberapa waktu lalu, syok mendengar penjelasan saya. Banyak tempat yang sama sekali belum pernah dia dengar apalagi dikunjungi. Baju yang basah oleh keringat menempel di badan setelah berjalan kaki dari St Andrew, tak menyusutkan semangat untuk menapaki anak tangga menuju Fort Canning Park. Tujuan pertama mencari petunjuk arah ke Battle Box, bunker yang dulu menjadi markas pusat komando bawah tanah Inggris semasa perang dunia kedua. Setelah membayar biaya masuk, saya bergabung dengan rombongan turis bule untuk menyusuri bunker dipandu oleh seorang pemandu lokal bernama William. Terkagum-kagum dengan penggambaran ketegangan detik-detik menjelang Inggris menyerahkan Singapur ke tangan Jepang. Suasana itu bisa dilihat dan dirasakan dengan bantuan sound efek audio visual khusus serta animatronik berkualitas tinggi yang jempol punya. Tour berakhir di ruang pertemuan tempat LetJend Arthur Ernest Percivales dan pasukannya berunding sebelum mengambil keputusan penting menyerah ke Yamashita pada 15 Pebruari 1942. Bule-bule setengah baya yang dari awal memandangi saya dengan penuh tanya akhirnya bertanya kenapa saya tertarik mengunjungi tempat ini? [caption id="attachment_127780" align="aligncenter" width="300" caption="Perundingan Percivales dkk sebelum menyerah ke Jepang @Battle Box Singapore"][/caption] Keluar dari Battle Box, saya menikmati keasikan lain tenggelam membaca nama-nama yang tertera di nisan yang dipasang di tembok taman Fort Canning tanpa peduli panas mentari yang tepat di ubun-ubun. Di tempat ini dulu terdapat kompleks makam Kristen yang dibangun 1846, masih lebih muda dari Taman Prasasti yang sudah ada dari 1795. Kelebihan Fort Canning adalah tamannya tertata rapi, luas dan hijau sementara Taman Prasasti areanya yang tadi 5,5 hektar menyusut menjadi 1.3 hektar saja. Sebagian besar tanahnya telah dipakai sebagai lahan berdirinya kantor Walikota Jakarta Pusat. Selain beberapa prasasti yang diambil dari makam di halaman gereja Sion maupun Museum Wayang, di sini masih terdapat makam yang utuh. Awal pencarian ke Taman Prasasti adalah untuk menemukan makam istri Raffles, Olivia Marianne Raffles beberapa tahun lalu. Tak pernah bosan untuk selalu kembali ke sini, saat mengikuti kegiatan salah satu milis pecinta sejarah bersama dua orang kawan kami memisahkan diri dari rombongan untuk mencari guardian angel Sho Hok Gie. Berbekal obor pinjaman dari panitia, kami menghampiri salah satu pohon di tengah taman untuk memastikan patung itu masih ada di sana. Takut? Biasa aja ya, mungkin karena tamannya sedang ramai walaupun hari sudah menjelang tengah malam dan kami terpisah jauh dari rombongan. Pengen lihat peti mati mantan presiden Soekarno dan wakilnya Moh Hatta? Datanglah ke sini, lebih seru kalau lihatnya malam-malam. [caption id="attachment_127778" align="aligncenter" width="300" caption="menyusuri prasasti tua @Taman Prasasti"][/caption] [caption id="attachment_127779" align="aligncenter" width="300" caption="peti mati Soekarno & Hatta @Taman Prasasti"][/caption] Suasana berbeda saya temui saat melangkah di Taman Makam Kehormatan (TMK) di utara Jakarta. Matahari semakin condong ke barat saat langkah terhenti di depan sebatang pohon mindi yang telah mengering. Oleh pak Ali, saya dibebaskan untuk berkeliling sendiri di antara 2000-an patok-patok kayu berwarna putih penanda dibawahnya terbaring jasad seseorang yang dulu berjuang untuk bangsanya. Mata saya terpaku pada tulisan yang terpatri di batang pohon itu :

they shall not grow old

as we are that left grow old

age shall not weary them

not the years condemn

at the going down of the sun

and in the morning

we shall remember them.

we shall remember them …

Antjol, 1942-1945

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun