Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Potret Sosial Kaum Pinggiran di Mata RDJ

26 Oktober 2012   14:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:22 365 0

Merah-putih yang terlihat lusuh, sudah terikat di tali tiang bendera. Tidak berkibar di atas, pun bukan setengah tiang. Masih di bawah. Ah, siapa mengikat tanpa mengereknya? Atau itu sebagai pertanda?

Terlihat anak-anak berlarian, berputar, lalu mendekat dan mengelilingi tiang bendera. Ekspresi wajah mereka terlihat berubah. Menjadi lebih serius. Dua orang anak memegang tali, satu anak membentangkan bendera. Perlahan mereka menaikkan bendera hingga ke puncak. Memberi penghormatan. Setelahnya mereka berlarian kembali, lalu menghilang ke wing panggung.

Berikutnya, seorang berpakaian batik bermonolog tentang situasi dan bendera merah-putih yang lusuh. Tampak seperti pengantar kepada para penonton tentang keberadaan kaum marginal, yang sebenarnya juga tidak terlalu diperlukan, mengingat adegan-adegan selanjutnya sangat gamblang menggambarkan kehidupan kaum marginal.

Tidak ada tokoh sentral dalam kisah ini. Pun tiada kisah utama di dalamnya. Nama-nama tokoh seperti Pak Yanto, Lastri, Yu Jum, Tumini, Marni, Bambang, Inem, Jilah, Maria, dan sebagainya, hadir dalam persoalan masing-masing, yang terangkai antara satu dengan lainnya dengan ruang pertemuan antar tokoh, bukan pada persoalan utama. Oleh karenanya, kita seakan menyaksikan potret-potret kaum yang terpinggirkan.

Di warung angkringan Yu Jum, kita menyaksikan ia menyewakan anak perempuan kepada rekannya untuk mencari uang di jalanan, ada seorang ibu (Tumini) dengan bayinya yang tengah mencari suami yang tidak pulang-pulang ”terjerumus” ke prostitusi, ada pula Maria, seorang anak jalanan sekaligus sebagai PSK. Yu Jum seakan menjadi penyaksi dari nasib buruk kehidupan orang-orang yang hadir di warungnya, sekaligus juga sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

Ancaman terhadap HIV/AIDS, dimunculkan melalui pembacaan pemberitaan di media massa, yang membuat para perempuan was-was dan akhirnya melahirkan dugaan-dugaan tentang kemungkinan ada salah seorang warga yang bisa beresiko menularkan penyakit tersebut ke masyarakat mereka. Sasaran ditujukan kepada seorang waria, yang pada salah satu dialognya menyatakan: ”Aku ini laki-laki, cuma penampilan seperti ini untuk mencari uang. Tapi aku, tetap laki-laki,”. Sosok inilah yang kemudian didatangi dan hampir menjadi korban amuk massa.

Hal menarik adanya dialog-dialog spontan yang bisa membuat kita terhenyak atau bahkan bisa tertawa, merupakan dialog-dialog yang umum berlaku sehari-hari di kalangan anak jalanan dan orang-orang kampung miskin kota.

Sebagai penonton, saya menyimak dan sangat menikmati pementasan ini. Di Kepala seringkali berkelebatan berbagai kenangan terhadap kehidupan yang pernah cukup lama saya berada di dalamnya.

Dunia jalanan dan dunia kaum pinggiran kota, bukan hal yang asing bagi para pemainnya. Mereka pernah atau bahkan sebagian diantaranya masih menjalani kehidupan itu hingga saat ini.

Teater RDJ sendiri memang lahir dan diinisiasi oleh sekelompok anak jalanan perempuan Yogyakarta sejak bulan Mei 2005. Sang Sutradara, Munawaroh ”Dhenok” yang juga turut bermain sebagai Tumini, adalah mantan anak jalanan perempuan yang sekarang menjadi aktivis pekerja sosial di LSM yang bekerja untuk anak jalanan perempuan dan kaum pinggiran. ”Capek dan lelah tak terasa, bersama menciptakan karya. Semoga karya kami bisa menghibur, menambah semarak dunia seni peran dan tak dipandang sebelah mata, meski kami berasal dari Komunitas Marjinal” katanya.

Lakon yang dimainkan, adalah naskah yang dibuat bersama. Tema-tema yang diangkat, berangkat dari realitas nyata keseharian hidup mereka. Hal ini membuat para pemain tidak memiliki beban untuk ”menjadi seseorang” karena mereka bisa hadir ”menjadi diri sendiri”. Ada kebebasan para pemainnya untuk berekspresi dan mengembangkan dialog-dialognya.

Tentang hal ini, saya teringat tentang ”Teater Pembebasan” yang menjadi media pendidikan bagi masyarakat marginal untuk mengenali dan membangun kesadaran kritis tentang realitas diri dan lingkungannya, serta mampu mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang disuarakan dan didesakkan kepada para pengambil kebijakan bagi perubahan yang lebih baik.

Teater yang menjadi media pendidikan rakyat, yang banyak dikembangkan oleh para aktivis di tahun 1980-an, diantaranya oleh Fred Wibowo di Puskat; Warsito dkk di Yayasan Pengembangan Budaya; Simon Hate, Joko Kamto, Agus Istianto dkk di Kelompok Teater Rakyat Indonesia; dan Wiji Thukul dengan Sanggar Suka Banjir dan Jaker-nya.

Selamat kepada para sahabat di Teater Ra Dhe Jeneng, semoga tak pernah lelah berproses untuk terus belajar dan menyuarakan kepentingan kaum marginal. Pementasan ”???” yang juga didedikasikan kepada Aniecs-Yu Ginah (Almarhumah), bukanlah akhir, namun tetap menjadi proses penting di dalam membangun semangat kolektif.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun