Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Yogyakarta Harus Bebas dari Kekerasan Atas Nama Agama Apapun

24 Juni 2012   12:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:35 827 11

Apakah kita akan membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan suatu kelompok mengganggu kedamaian di Yogyakarta?

Pertanyaan semacam itulah yang menggelayut di hati dan pada akhirnya mengemuka menjadi pertanyaan bersama bagi orang-orang yang tinggal di Yogya dari berbagai level dan berbagai kalangan.

Kesadaran kolektif dengan semangat kebersamaan yang memiliki nilai-nilai toleransi, adalah sikap yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Yogyakarta.

”Selama ratusan tahun, Yogyakarta telah menjadi tempat bertemunya orang dari berbagai latar belakang yang berbeda.Dengan sikap saling menghargai di dalam masyarakat, keragaman ini menjadikan Yogyakarta sebagai Indonesia kecil” tertulis demikian dalam selebaran dari Forum Yogya untuk Keberagaman (YuK)

Berangkat dari sanalah, berbagai aksi damai yang melibatkan puluhan bahkan ratusan organisasi yang melibatkan ratusan bahkan ribuan masyarakat, sering dilakukan untuk menyampaikan sikap.

Sesuai rencana, acara berlangsung di depan Istana Gedung Agung. Ribuan orang memenuhi berbagai ruang dan menggemakan manifesto Yogyakarta untuk Kebhinekaan yang dibacakan oleh Habibah dan diikuti seluruh peserta aksi . (Isi lengkap Manifesto telah saya posting pada tulisan sebelumnya di SINI)

Pada manifesto ada tiga pernyataan yang disuarakan, yakni:

  1. Menolak intimidasi dan aksi kekerasan atas alasan apapun, sebab intimidasi dan aksi kekerasan atas nama perbedaan agama, suku, kelompok, gender, dan ideologi sesungguhnya tidak sesuai dengan prinsip kebinekaan.
  2. Mendukung aparat negara untuk menindak berdasarkan hukum, setiap individu ataupun kelompok yang melakukan intimidasi dan aksi kekerasan.
  3. Mengajak seluruh masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai kebinekaan, serta tidak membiarkan aksi kekerasan dan intimidasi yang melanggar hak-hak sipil warga.

Usai membaca, berbagai bunyi-bunyian seperti kentongan dan peluit bersahut-sahutan. Sri Sultan Hameng Kubuwono X, selaku raja dan juga Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, DR Pratikto selaku Rektor Universitas Gadjah Mada, dan Alissa Wahid anak dari Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur, turut memukul-mukul kentongan. Bunyi-bunyian dengan irama yang kita kenal sebagai tanda adanya bahaya agar orang-orang bisa terbangun dan bersikap waspada.

Setelahnya, manifesto tersebut diberikan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X. Inilah sikap warga Yogyakarta. Kami meminta Sri Sultan Hamengku Buwono X menerima manifesto ini dan menjaganya,” pernyataan yang dilontarkan Habibah selaku wakil Forum YUK saat menyerahkan manifesto tersebut.

“Ya, saya terima. Yogyakarta harus bebas dari kekerasan atas nama agama apapun,” demikian tanggapan dari Sri Sultan.

Selanjutnya manifesto diberikan kepada DR Pratikto. “Mewakili berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, agar tidak bisa diintimidasi,” Naomi Srikandi, Koordinator Aksi  yang membawakan acara  berseloroh.

Sambil tersenyum DR Pratikto memberikan pernyataannya “Universitas adalah tempat orang muda belajar, termasuk belajar berkomitmen menjaga kebhinekaan Indonesia,”

Pembacaan manifesto dan penyerahan ke Sri Sultan HB X dan Rektor UGM merupakan puncak dari aksi budaya ini. Selain itu, acara ini juga diisi oleh berbagai kelompok kesenian yang semakin menyemarakkan acara.

Damailah Yogyakarta, damailah Indonesia !

Yogyakarta, 24 Juni 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun