Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Karena Wanita Masih Ingin Dimengerti

22 Desember 2023   10:31 Diperbarui: 22 Desember 2023   10:53 105 1
Karena Wanita Masih Ingin Dimengerti
Ocit Abdurrosyid Siddiq

Dalam kalender, setidaknya ada 2 tanggal yang berkaitan erat dengan perempuan. Yang pertama tanggal 21 April, dan yang kedua tanggal 22 Desember. Bila 21 April merujuk pada peringatan Hari Kartini. Sementara 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.

Pada kedua tanggal itu merupakan momentum penghormatan kepada perempuan dan ibu. Biasanya diperingati dengan beragam acara yang pada intinya memosisikan kaum perempuan dan kaum ibu dalam suasana yang sarat dengan pemuliaan atasnya.

Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Nama ini diyakini sebagai Pahlawan Nasional, yang semasa hidupnya dianggap telah banyak berjasa dalam memperjuangkan hak-hak perempuan sehingga memiliki kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam beragam bidang.

Sejak zaman baheula, sejarah peradaban manusia di berbagai belahan dunia pada umumnya, memosisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Mereka dianggap sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Laki-laki memiliki kewenangan lebih dibanding perempuan.

Stigma ini bukan hanya dikenal di berbagai budaya manusia. Dalam banyak ajaran agama, posisi perempuan selalu dibawah laki-laki. Bahkan bila merujuk hingga pada manusia pertama pun, perempuan yang diyakini terbuat dari tulang rusuk laki-laki menjadi pembenar atas anggapan tersebut.

Seiring dengan perkembangan zaman, mulai muncul adanya kesadaran dan tuntutan atas kondisi selama ini. Di banyak belahan bumi, muncul tokoh-tokoh pembaharu yang berusaha mendobrak pakem selama ini. Mereka pada umumnya berasal dari kalangan perempuan juga.

Lewat perjuangan yang tidak mudah, akhirnya perlahan tapi pasti, cara pandang umat manusia atas posisi perempuan mulai bergeser dan berubah. Perempuan mulai memiliki hak, kewenangan, dan posisi yang setara dengan laki-laki.

Mereka menghimpun diri dalam beragam organisasi dengan beragam nama. Lazimnya menggunakan diksi "wati-wati" dan diksi berakhiran "i" lainnya. Ada Aisyiyah, Fatayat, Muslimat, Kohati, Forhati, Imawati, Gemawati, Bhayangkari, dan yang lainnya.

Fenomena yang dilabeli sebagai gerakan emansipasi ini membuahkan hasil. Kini, perempuan sudah bisa menyetarakan dirinya dengan laki-laki. Hampir tidak ada lagi ruang tertutup yang selama ini hanya menjadi ranah dan didominasi laki-laki, yang tidak bisa ditembus oleh perempuan.

Ruang publik yang mengakomodir perempuan lewat prinsip afirmasi, sudah diterapkan di seluruh organisasi dan lembaga. Dengan political will sebagai media daya-paksa ini, mau tidak mau mesti disediakan ruang bagi perempuan untuk berkiprah.

Tiga puluh persen merupakan batas angka minimal sebagai alat-paksa untuk mengakomodir perempuan ditengah dominasi laki-laki. Baik dalam lembaga dan organisasi negara maupun dalam peluang dan kesempatan perempuan untuk menjadi wakil rakyat.

Kini, perempuan sudah setara. Emansipasi sudah berhasil. Namun sayang, keberhasilan memperjuangkan emansipasi ini tidak dibarengi dengan sikap yang konsisten. Sebagian kaum perempuan masih merasa nyaman di zona aman dengan menjual faktor keperempuanan.

Mari kita renungkan ulang! Perempuan menuntut kesetaraan. Setelah berhasil, masih menggunakan perkara kelamin untuk mendapatkan prioritas. Emansipasi kan dimaksudkan untuk kesetaraan. Bukan untuk mendapatkan prioritas. Bukan untuk diperlakukan secara khusus.

Bila diperlakukan khusus karena faktor fisik yang rentan menuai gangguan, masih bisa dimaklumi. Misalnya penyediaan gerbong di kereta khusus bagi perempuan. Tapi bila menghimpun diri dalam organisasi yang anggotanya khusus perempuan, apa urgensinya?

Menggalang show of force sesama perempuan, koalisi perempuan, parlemen perempuan, polisi perempuan, perempuan pengusaha, perempuan penyelenggara Pemilu, apa urgensinya? Ketika sudah setara, mengapa mesti menuntut prioritas? Mengapa harus eksklusif? Mengapa ingin diperlakukan khusus?

Apakah dengan narasi ini lantas bermakna bahwa penulis anti dan menentang emansipasi dan kesetaraan? Tentu tidak! Yang menjadi soal bukan itu. Yang menjadi soal adalah ketika perempuan sudah setara dengan laki-laki, mengapa masih menggunakan alat kelamin sebagai senjata untuk mendapat prioritas.

Ketika disatu sisi menuntut kesetaraan, sementara disisi lain ketika kesetaraan itu didapat tapi masih memosisikan diri menuntut perlakuan khusus karena faktor jenis kelamin, sejatinya adalah perilaku standar ganda yang merasa aman di zona nyaman.

Atas dasar jenis kelamin menuntut kesetaraan, tetapi atas dasar jenis kelamin juga menuntut perlakuan khusus. "Perempuan dulu"  atau "ladys first" dalam sebuah antrian, adalah cara laki-laki yang mengalah untuk memberikan kesempatan bagi perempuan. Padahal kesetaraan itu diraih bukan karena laki-laki yang mengalah.

Menduduki jabatan publik karena kompetensi tentu lebih kredibel dibanding meraihnya karena afirmasi. Menjadi wakil rakyat karena terbanyak dipilih rakyat jauh lebih substantif dibanding terpilih karena diselipkan sebagai syarat menggugurkan kewajiban keterwakilan perempuan.

Perempuan kini sudah setara. Ia bersama laki-laki adalah  sesama manusia. Jangan lagi jadikan perbedaan alat kelamin sebagai senjata. Bayangkan bila laki-laki melakukan hal yang sama. Bisa jadi peradaban manusia surut kembali ke zaman Adam dan Hawa. Yang adalah bagian dari tulang rusuknya.

Wallahualam.
***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun