Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Artikel Utama

Curhat Itu Racun atau Obat?

16 Juni 2011   09:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:27 595 3

[caption id="attachment_116901" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin/shutterstock"][/caption]

Pernah kecewa berat dalam hidup ini? Pernah senang? Tentu pernah. Pernah curhat atau mencurahkan isi hati atas segala kekecewaan atau kesenangan tersebut kepada saudara atau orang terdekat? Konon kesengsaraan terbesar orang-orang yang kesepian bukanlah tak punya tempat berkeluh kesah saat kesulitan tetapi justru tak punya tempat mencurahkan segala kegembiraan yang dirasakan.

Namun tak semua orang mampu mencurahkan isi hatinya dengan leluasa. Sebagian orang memilih bungkam dan memendamnya dalam-dalam. Atau bahkan menguncinya rapat-rapat dan membuang anak kuncinya ke ngarai lipatan waktu. Beberapa kasus bunuh diri yang marak diberitakan media massa belakangan ini menunjukkan fakta sebagian pelaku bunuh diri semula disangka tak punya masalah apa-apa. Masalahnya adalah ketika kemudian mereka didapati menggantung mati di kusen pintu atau batang pohon. Mengapa mereka memilih diam? Barangkali soal karakter yang sangat tertutup; faktor kehormatan diri alias menjaga aib atau depresi psikologis yang amat sangat sehingga untuk berbagi pun tak berani.

Seorang suami tetangga saya sangat pendiam sekali orangnya. Susah sekali diajak berdiskusi atau diajak ngobrol panjang lebar. Keruwetan rumah tangganya baru terungkap ketika sang istri kedapatan berupaya bunuh diri dengan cara bakar diri. Ternyata bahasa sehari-hari sang suami adalah hardikan dan hantaman. Kedua putrinya pun tumbuh dalam atmosfer pertengkaran rumah tangga.

"The ability to talk over problems, to sit around table and discuss varied points of view, to settle difficulties by means of tongue and pen, and not by bombs and guns is the hallmark of civilized man."

Kutipan panjang dari L.H. Logan dalam buku Creative Communication tersebut mengungkapkan bahwa kemampuan membicarakan masalah, duduk bersama dan membahas dari berbagai sudut pandang, dan mengatasi kesulitan dengan lisan dan pena, dan tidak dengan kekerasan atau senjata adalah ciri orang yang beradab. Meski kutipan ini lebih dimaksudkan dalam dimensi negosiasi dan penyelesaian konflik, curhat—entah kapan istilah ini mulai populer dalam khazanah bahasa Indonesia— atau mencurahkan isi hati sedikit banyaknya merupakan cara beradab dan sehat untuk mengatasi masalah atau, setidaknya, mengurangi masalah. Jika tidak, niscaya kita terjebak menjadi orang-orang biadab yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan fisik dan psikologis, tinju dan perang urat syaraf.

Di satu sisi curhat memang tombo ati, obat hati. Sungguh melegakan atau bahkan menyembuhkan ketika kita dapat curhat via lisan atau tulisan. Syukur-syukur pengalaman atau kisah hidup kita itu dapat diambil hikmahnya bagi orang lain, atau menginspirasi banyak orang untuk berbuat yang terbaik. Lebih-lebih jika kita curhat kepada Tuhan dalam doa, tahajud, sembahyang atau pengakuan dosa dan apapun tata cara legal formal agama di dunia. Di sinilah puncak transendensi keberimanan seseorang diuji sampai sejauhmana ia memasrahkan diri kepada sang Khalik dengan menundukkan segala ego dan logika duniawinya.

Seperti pesan Norman Vincent Peale dalam bukunya yang menjadi buku best-seller internasional termasuk di Indonesia, The Power of Positive Thinking,"Lewat keuletan, pengetahuan diri, komitmen, optimisme, doa, kepercayaan total kepada Tuhan serta pengembangan kekuatan moral maka Anda akan menikmati keberkahan terdalam dan mampu menghadapi kesulitan hidup dengan keberanian dan keyakinan."

Namun seperti obat yang filosofinya adalah racun yang dilemahkan di mana terlalu banyak mengonsumsi obat dapat membahayakan, curhat juga dapat menjadi racun. Terlalu banyak curhat yang tidak perlu akan melemahkan semangat juang dan menimbulkan paranoia tersendiri terhadap kehidupan. Hingga pada akhirnya kita akan terperosok pada sumur keluh-kesah tak berdasar atau lorong panjang keluhan tak berujung. Lagi-lagi, kecuali kita mengumbar curhat kepada Tuhan yang tak akan pernah lelah menampungnya. Meski dalam konteks ini patut dicermati sikap seorang khalifah Umar bin Khattab yang geram melihat seorang laki-laki yang terus-terusan berdoa sepanjang waktu di mesjid untuk meminta rejeki. Apa kata Umar? "Rejeki tidak jatuh begitu saja dari langit. Bekerjalah!"

Penyair Mohammad Iqbal dari Pakistan, sang inspirator kemerdekaan Pakistan dari India, dalam bukunya Javid Nama (Ziarah Keabadian) secara tidak langsung mewanti-wanti kita bahwa "jika engkau dapat berubah dan berhasil dalam ujian engkau akan hidup dan dipuja. Atau bila tidak, api kehidupanmu akan jadi asap dan lenyap."Ya, curhat hanya akan terhenti sebatas curhat belaka jika tidak ada perubahan setelahnya. Kecuali jika kita curhat hanya sekadar melampiaskan ego untuk didengar atau diperhatikan.

Sebagai orang yang kerap dipercaya jadi tempat curhat sejak zaman SMA—entah mengapa demikian— saya sering mendapati banyak kawan yang kadang curhat berjam-jam atau berkali-kali kirim sms atau surel (surat elektronik) hanya untuk menunjukkan bahwa mereka orang termalang di dunia. Atau bahkan terkesan mengeksploitasi "penderitaan" yang dialami. Tanpa berusaha mencari cahaya terang di ujung terowongan yang gelap.

Sebetulnya tidak masalah apapun motif mereka untuk curhat. Sepanjang telinga masih kuat berpanas-panas ria dengan gagang telepon. Sepanjang masih bisa duduk dengan tenang mendengarkan tamu yang curhat berkepanjangan. Sepanjang pulsa mencukupi untuk membalas sms yang bertubi-tubi minta perhatian. Sepanjang jemari masih bertenaga mengetikkan email balasan untuk kawan yang minta dipedulikan. Toh, itu pertanda mereka percaya kepada saya. Kepercayaan itu barang mahal. Dan sharing atau berbagi itu nikmat.

Lagipula curhat juga tak sesederhana apa yang kita bayangkan. Maka jangan tertawakan seorang sahabat Anda yang susah sekali mengungkapkan apa kesulitan dirinya kepada Anda kendati Anda sudah membujuk atau memaksanya. Jika curhat adalah obat, tak semua orang sanggup menelan obat dalam satu bentuk saja.

Itulah kenapa produsen obat merancang obat dalam bentuk jamu, sirup, puyer, pil, kapsul, tablet atau kaplet. Jika curhat adalah obat hati, ia butuh kejujuran diri sebagai syarat manjurnya tombo ati itu. Karena curhat bukan sekadar mengungkapkan sakitnya perasaan akibat makan ati. Karena curhat bukan hanya meluapkan kegembiraan kepada orang terdekat atau kerabat. Karena curhat sejatinya adalah penyerahan kepercayaan penuh kepada objek yang dicurhati untuk menampung dan menjaga rahasia dari relung hati terdalam.

Maka selain leluasa bercurhat ria kepada orang lain relakah kita untuk memaksimalkan kelebihan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita? Kelebihan anugerah Tuhan itu adalah dua telinga dan satu mulut. Bukan dua mulut dan satu telinga.

Jakarta, 16 Juni 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun