Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Hubungan Banyaknya Angkatan Kerja dengan Tingginya Kejahatan di Indonesia

17 Juni 2021   20:46 Diperbarui: 17 Juni 2021   21:14 124 1
Hubungan Angkatan Kerja dan Tingginya Kejahatan di Indonesia

Di kolom ini, saya akan coba memberikan pemahaman dengan tulisan sederhana kepada publik, terkait isu yang hangat-hangatnya kayak martabak baru mateng di republik ini. Memang jarang menulis serius di kolom ini, tapi sekali-sekali rasanya tak mengapa, sekalian menerapkan pembelajaran akademik yang ditelan beberapa tahun lalu.

Begini tuan (bayangkan saya sedang mengangkat kedua tangan saya kayak meramal di bola sakti milik Baba), tulisan ini terkait perekonomian dan saya kaitkan dengan femomena sosial masyarakat yang kadang cukup meresahkan seperti fyp aplikasi sebelah. Aku mulai dengan bagian ekonominya. Pernah dengan soal hukum permintaan dalam ilmu ekonomi, ringkasnya begini, kalau harga barang atau jasa naik, maka permintaanya turun, sebaliknya jika harga barang atau jasa turun maka permintaan naik. Itu hukumnya. Hubungannya berbanding terbalik. Sampai sini paham gak?

Oke, aku kasih contoh yang mudah. Ada produk jam tangan merek  (sebut saja) Tojin yang mahal, ekslusif, elegan dan sebagainya harganya Rp10 juta, dengan harga itu, yang minta (beli) sedikit, permintaan turun. Jika jam itu diturunkan harga entah karena berbagai faktor menjadi Rp 7 juta, maka yang minta (beli) pasti naik. Itu hukumnya, jadi paham ya, harga tinggi, permintaan turun, harga turun permintaan tinggi, berbanding terbalik. Oiya, hukum permintaan ini patokanya harga.

Ada hal lain, tapi aku lupa namanya apa disebut teori permintan atau apa, komen dibawah kalau kata yutuber. Begini, kalau patokannya banyak atau tidaknya permintaan lain lagi ceritanya. Misal, kalau permintaan  tinggi, maka harga tinggi. Kalau permintaan rendah maka harga rendah. Ini berbanding lurus. Beda ya sama paragraf di atas. Contoh gampangnya begini gengs, misalnya warga (konsumen) banyak yang minta produk tertentu secara terus menerus, maka harga akan cenderung naik.

Misalnya ada proyek buka tanah kavlingan, dibuka satu kavling cuma Rp10 juta ukuran 10x15 meter, karena banyak warga yang minta (ingin beli), produsen atau pengelola pasti akan cederung menaikkan harga, sah? sah-sah aja cyin.. boleh. Nah, bisa saja karena banyak yang minta, dalam waktu beberapa tahun, harga satu kavling tanah yang awalnya segitu bisa naik jadi Rp 15-25 juta. Cukup syarat ini mau aliran ekonomi mana pun? iya. Ekonomi klasik, Karl sebut ini invicible hand (tangan tak terlihat), alah keterusan.

Nah, oke kita lanjut ya, ini aku bahas soal "permintaan" saja, soal penawaran mungkin di lain kolom karena nanti terlalu panjang. Soal permintaan yang dampaknya berbanding lurus dan terbalik itu cuma pangantar saya untuk bahasan selanjutnya. Karena ekonomi itu luas cakupannya selain permintaan dan penawaran. Sekarang kita beranjak ke aspek lain yang terhubung.

Kalau tadi permintaan, sekarang kita bahas soal hubungan angkatan kerja dan lapangan kerja. Bayangkan, setiap tahun, angkatan kerja atau kerennya disebut lulusan perguruan tinggi atau sekolah yang siap bekerja atau calon SDM atau whatever you name it lah itu terus tinggi. Kita bayangkan saja, misal dalam suatu negeri, angkatan kerja (fresh graduate) setiap tahun itu dihasilkan 100 ribu orang. Sementara, lapangan kerja atau ketersediaan peluang, kesempatan untuk bekerja baik di perusahaan (korporasi), pemerintahan (ASN)/abdi negara, bekerja pada perorangan dan sebagainya itu terbatas. Bayangkan setiap tahun hanya ada 10 ribu lapangan kerja.

Artinya, kawan-kawan, angkatan kerja itu berbanding terbalik dengan lapangan kerja. Karena tingginya angkatan kerja tiap tahun tidak berbanding dengan lapangan kerja yang sedikit. Dalam contoh di atas itu 1:10. Lanjut, masih kuat kan?. Artinya, dari 100 ribu angkatan kerja yang terserap lapangan kerja itu hanya 10 persennya, atau 10 ribu yang akhirnya mendapatkan pekerjaan yang oke. Oke, terus ya, jangan kagetan. hehehe.

Terus, (oiya, ini percontohan saja yaa.. penggambaran biar mudah dipahami), dari 100 ribu itu, 10 ribu yang dapat kerja, 90 ribu lain ngapain? apa? jadi pengangguran? tidak secepat itu Gustavo. Jadi begini, angkatan kerja yang belum mendapatkan pekerjaan yang oke, oke maksudnya dari 10 ribu lapangan kerja setiap tahun di suatu wilayah itu misalnya, kan pasti menembuh berbagai jalan lain. Di antaranya ada yang melanjutkan studi (gak bisa dipanggil pengangguran aktif dong), ada yang buka usaha sendiri, ada yang tetep menunggu sampai dapat kerja yang oke, ada yang jadi pekerja lepas dan lain sebagainya.

Kita bayangkan saja, dari 100 ribu, yang terserap lapangan kerja berbagai sektor itu 10 ribu, sisa 90 ribu. Nah yang lanjut studi, yang buka usaha, tetap mencari, pekerja lepas, paruh waktu apa pun itu you named it, anggaplah jumlahnya 40 ribu orang. Jadi dari 100 ribu angkatan kerja 50 ribu yang akhirnya punya pekerjaan atau kegiatan. Nah, 50 ribu lagi sisanya, mau ngapain woi? jobless? tunggu dulu, masih ada opsi lain apa itu?? jreng jreng jreng... itulah... Tunggu dulu, sebelumnya lanjut, dari ini ada perbanding lain yang aku berikan, kasus kasus di atas, kalau tadi angkatan kerja berbanding terbalik dengan lapangan kerja, kali ini "Jika angkatan kerja tinggi, lapangan kerja rendah, maka hasilnya pengangguran, jobless, idle human resource jadi tinggi duech...

Lanjut, 50 ribu yang jobless aja kita sebut biar lebih soft, ini ngapai? jreng-jreng yang tadi,,, itulah sedikit banyak akan terserap di organisasi kemasyarakatan, kepemudaaan dan semacamnya, whatever you named it. Jadi ormas dan OKP itu baik, salah satu fungsinya yakni menyerap pengangguran atau jobless tadi. Dengan serapan tersebut, jobless itu akhirnya ada kegiatan, apa pun itu. Masih kuat ya, masih nyambung ya... Ini pembahasan general saja, tidak spesifik, kalau ada hal ini di lingkungan kita yang semoga tulisan ini memberi pemahaman.

Diteruskan ini yaa, gengs,, sebelumnya, aku kasi lagi perbandingan. Di atas kita sampai pada "Angkatan kerja tinggi, maka pengangguran tinggi" ya kan, logic ya kepana pengangguran tinggi, ya jelas, karena lapangan kerja rendah, mau jadi single fighter atau solo, belum semua kita mampu. Ini perbandingan selanjutnya, dimulai dari jobless. Jadi, jika pengangguran tinggi, maka kriminalitas tinggi. Perbandingan ini berbanding lurus yang. Ini umum, sering diajarkan di sekolah. Eitt,, jangan tinggi dulu ya.. bukan berarti kaum rebahan itu penyebab kejahatan tinggi. Bukan. (hahaha).

Oiya, tadikan masih sisa 50 ribu orang idle, bayangkan aja karena peran ormas dan sebagainya, terserap 40 ribu misalnya, jadi ada sekitar 10 ribu orang lagi yang idle, Nah ini kira-kira ngapai? oke kita lanjut. Sampai dimana kita Booth? tanya Dora, oiya, sampai pada persamaan, pengangguran tinggi, maka kriminalitas tinggi. Artinya semakin banyak orang jobless maka potensi atau kecenderungan untuk terjadinya tindak kejahatan itu semakin tinggi. Okeh, masih kuat ya? haha tahan dulu. Sikit lagi cocotenya. Sekarang kita fokus cari kemana dan ngapai yang 10 ribu orang tadi.

Okeh, nah ini, aku kaitkan dengan kondisi saat ini. Beberapa hari, di medsos kita viral bapak yang telpon Kapolri yang isinya kurang lebih gini, bapak perintahkan agar premanisme, soal-soal palak memalak (mengompas) kalau bahasa kami di Medan ini. Hal ini ditambah beberapa waktu lalu kan di medsos kita ramai soal hal-hal serupa. Video-video malak sering kali terlihat kan, mulai dari yang kecil, pukulan parkir liar Rp2 ribu per orang, di pelabuhan, di pasar dan lain-lain.  Marak. Apakah itu baru? enggak, udah lama itu, dari zaman ya bahkan sebelum ada republik.

Dari banyaknya perbandingan yang dijelaskan di atas, sederhananya gini, dari jumlah angkatan kerja tadi, yang akhirnya yang dapat kerja atau kegiatan, taruhlah 90 ribu, yang 90 ribu ini dapat apa? ya kalau dalam pendekatan ekonomi pasti dapat materi, dapat cuan, dapat duit dalam sebutan gaji, penghasilan, pendapatan, income, ah, pucuk la pokoknya. Fair ya, kita kasih kinerja, kita dapat pucuk. Belum lagi sumber sumber sekunder lain ya, kayak uang saku perjalanan dinas, hahahaha, prive, komisi dan banyak lagi lah,, yang semacam semacam itu. Belum lagi sumber-sumber yang di sudut bayangan (gelap), eh stop. Intinya, secara umum, secara umumnya, apapun sektor kerja kalian, atau kegiatan kalian, secara umum pasti ada feedback yang diraih. Umumnya, materi. Umumnya, khususnya nanti di kolom lain dibahas.

Nah, yang 10 ribu tadi, yang mungkin gak seberuntung yang 90 ribu itu, kan juga kebutuhan sama kan, perlu cuan/duit/money untuk diri sendiri, kebutuhan keluarga, mamam, jalan-jalan, beli ini itu, dan sebagainya lah, lazim. Tapi kadang mereka gak punya cara yang legal seperti yang sebagian besar orang bisa dapat. Apa dampaknya? haa ini baru sedap, kita kaitnya sama telpon bapak  dan dampaknya terhadap kegiatan kepolisian yang belakangan ini nangkepin preman. Iyak, tepat. Perbandingan pengangguran tinggi maka kriminalitas tinggi, menurutku inilah salah satu wujud realitanya. Orang yang punya kerja layak (lazim) tetap juga harus menemukan cara untuk memperoleh cuannya walau dengan cara apapun. Apapun its mean? yeah,, muncullah narasi premanisme, yang telah ada jauh, lama seiring republik.

Mereka beranggapan, semua orang equal (setara) untuk mendapatkan cuan juga? ada yang sepakat dengan ini ada yang tidak. Walau kita bilang tidak, fakta dan realitas di lapangan, ini ada. Udah lama ada. Yang menggelitik, akhirnya karena telpon bapak, semua polda, polres dan jajaran sibuk "nangkepin" yang katenya tersinyalir sebagai preman. Ya, mereka mungkin dilabelkan preman ya preman atau kiasan dari kata freeman (orang yang bebas), bebas menentukan aksinya untuk dapat cuan. Tadi kumpul bersama senior jurnalis, sedikit bincang soal ini, biasa yang watak wartawan pasti memunculkan pertanyaan. Jadi gini, kalau fenomenanya saat ini menangkapi preman, ada yang puluhan, ratusan di berbagai daerah di Indonesia karena awalnya bisa aja dari telponan bapak dan kepala kepolisian itu, muncul pertanyaan kalau sekarang bisa ditangkepin, kalau dulu-dulu kemana? karena jurnalis, muncul asumsi, apa pembiaran? apa kooperatif? (oops) apa ada settttttoo****?? alamak. Sudah. Cukup kan.

Oke itu slash aja, kita lanjut ya. Aku ulangi perbandingan dari awal biar disegarkan, oke siap. Dimulai dari jika angkatan kerja tinggi, maka berbanding terbalik karena lapangan kerja sedikit. Lapangan kerja sedikit mengakibatkan tingginya pengangguran, atau lapangan kerja rendah pengangguran tinggi. Jika pengangguran tinggi, maka kriminalitas tinggi. Yang dikerjakan otoritas sekarang yakni menangkapin "penjahat" kelas bawah itu, tujuannya menghilangkan premanisme dalam berbagai bentuk, malak, pungli dan lainnya sebagainya.

Nah, dalam kajian jurnalistik dikasi bumbu akademik dikit. Coba lihat perbandingan di atas. Mulai dari tingginya angkatan kerja, tapi lapangan kerja sedikit berujung pada tingginya kriminalitas. Pertanyaannya, apakah menyelesaikan penjahatnya (di ujung) apakh menyelesaikan masalah? toh rajia preman sering digelar, apa premanisme hilang? (jawab sendiri). Jadi sebaiknya, melihat awal persoalan, apa membasmi premanisme itu solusi? mereka juga warga negara atau menarik solusi dari hilir yakni ketersediaan lapangan pekerjaan?. Bagaimana jika (what if) lapangan kerja tersedia tinggi hingga hampir seiring jumlah angkatan kerja? Silakan dibahas yok.

Anti-tesis? Premanisme gak sulit dihilangkan (gak akan hilang) jika hanya dengan menangkap pelaku premanisme doang, harus ada solusi di hilirnya, kalau gak yang kayak motong rumput doang, ada lagi ada lagi, cuma soal waktu aja. Ketersediaan lapangan kerja, baik formal informal, korporasi perorangan bahkan bekerja sendiri menciptakan usaha sendiri apapun itu yang legal sebagai counter dari salah satu masalah sosial masyarakat. Satire : Hati masyarakat hancur ketika tersedia lapangan kerja tapi bukan untuk masyarakat warga bapak.

Tulisan ini panjang, tapi biarlah tersampai closingan, hehe, semakin banyak lapangan kerja, semakin bagus, artinya warga bekerja. Itu poin pentingnya. Menukil dari Prof Syawal Gultom, apa pun kerjamu. di sektor apapun itu, secara umum menurutnya ada empat, 1. bekerja di korporasi, 2. bekerja pada negara (semacamnya) 3. bekerja dengan perorangan atau 4. bekerja membangun usaha sendiri (sendiri) yang paling pentingnya merasakan dan menjalankan esensi bekerja itu sebagai amal dan ibadah.

Dariku yang belum bisa buka lapangan kerja
AN Putra

Wallahualam bisshawaf

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun