Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Mbanyu Mili

22 Januari 2015   20:55 Diperbarui: 27 Mei 2020   14:00 177 1

Saya sepakat dengan motto salah satu Guru Besar di Fakultas Teknologi Pertanian UGM tentang 'mbanyu mili'. Motto hidup beliau yang saya ketahui pas baca CV sewaktu menjadi salah satu narasumber simposium pada 2012.

Benar sih banyaknya harta bisa jadi membuat bahagia. Apalagi zaman sekarang yang dikit-dikit doi. Namun saya berusaha bahwa standar bahagia adalah apa yang dikatakan orang bijak: bahwa bahagia itu apa-apa yang membuat hati lapang dan jiwa yang tenang. Jadi walau pun 'cuma' makan durian yg langsung jatuh dari pohon sudah membuat saya bahagia (Yg penting yang punya sudah ngizinkan dan bukan hasil nyolong...).

Dulu Januari 2010 di profil blogspot pribadi saya nulis minat saya di Kementerian Pertanian dan akhirnya sekarang terwujud juga (sekitar empat tahun dari awal nulis hingga pengumuman keterima). Walaupun saat berjalannya S1 saya juga tertarik pada Bappenas. Hehe... Salah satu yang membuat saya bahagia masuk instansi ini adalah tidak pakai uang pelicin (karna proses seleksi memakai CAT). Kalau pun ada yang bilang gak pake uang sama sekali itu salaaaah besar. Pasti tetap pakai uang untuk keperluan hal yang wajar: uang akomodasi bolak-balik ke pusat dan ke daerah.

Dulu salah satu cita-cita sederhana saya keliling Indonesia, ya walaupun belum terwujud secara perfect minimal saya sudah menginjakan kaki di pulau-pulau BESAR Indonesia. Bahkan dulu dalam rentang sekitar 7 jam berada di tiga pulau (Sumatera, Jawa, Kalimantan). Gratis pula. Hal yang gak kebayang sebelumnya. Hanya Papua yang belum kesampaian hingga saat ini. 

Dulu saya pengen ke Jakarta. Orang-orang yang tahu bakal ketawa sebab udah segini besarnya belum pernah ke ibukota (ngenes). Saya ke Jakarta baru kesampaian tahun 2012 itu pun karena ‘beruntung’ masuk nominasi suatu tulisan dan diundang ke Jakarta. Beruntungnya juga saat itu ketemu dan bisa salaman dengan Jokowi (waktu itu malam H-1 pemilihan Gubernur DKI), CT, boss Indofood, dan yang kalah penting Pak Sukardi Rinakit. Nama terakhir lah yang karena punya kenangan dengan Yogya memberikan ‘ganti ongkos tiket’ kepada kami bertiga (hehehe...).

Saya menghindari ambisius dalam mengejar sesuatu, sekali lagi berusaha mbanyu mili (mbanyu mili berbeda dengan mengikuti arus lho ya). Kalo saya berambisius ngejar sesuatu takutnya saya 'dibutakan' sehingga nabrak pakem (mungkin karna rem saya tidak cakram): menghalalkan segala cara, ngorbankan teman, makan teman, nikung teman, dsb. Ya bisa jadi ada orang yang menilai berambisius itu ‘baik’ ya monggo. 

Jadi teringat zaman diklat dulu. Sempet ada kepikiran (cuma kepikiran bukan abisi) jadi ketua kelas tapi karena saya masuk ‘yunior’ (nomor 7 termuda dari 40 orang) agak minder juga buat mimpin rekan-rekan yang secara umur, golongan, kedewasaan, maupun gelar lebih tinggi daripada saya. Waktu itu udah siap jadi prajurit saja. Eh ndilalah saya yang awalnya berkonspirasi untuk menggolkan kawan saya yang lain biar jadi ketua kelas malah ketiban apes. Ada rencana yang lebih besar (orang yang tiba-tiba jadi tim sukses, ngakunya setelah selesai pemilihan) yang membuat saya jadi ketua kelas. 

Jadi ketua kelas itu nampaknya bakal jadi jabatan seumur hidup. Lha walau pun diklat sudah bubar dan mencar ke daerah penempatan masih ada saja yang manggil pake embel-embel jabatan. Tidak hanya diklat, beberapa temen SMA juga begitu. Apalagi kalau mau mutusin sesuatu dikit-dikit bawa jabatan ‘masa lalu’ (ini yang kagak enak). 

__________

Ya kadang memang jalan mewujudkan cita/impian itu tidak selalu mulus. Mbelok dulu atau bahkan nanjak dulu. Tapi yakinlah bisa jadi apa yang ‘mbelok’ dan ‘nanjak’ tersebut pada hakikatnya bisa jadi merupakan batu loncatan untuk meraih apa yang kita cita-citakan. Itulah salah satu learning point yang dulu saya dapatkan dari dosen saya pas kuliah.

Jalan ke depan memang masih banyak tapi marilah merenungkan bersama-sama betapa banyak nikmat kebelakang yang sudah kita dapatkan. Bukankah mensyukuri yang sudah didapatkan lebih penting daripada menggerutui yang hilang atau terlalu memikirkan yang belum didapatkan? (kata orang bijak). Nrimo ing pandum juga penting sebagai pegangan hidup agar kita tidak culas atau serakah dalam hidup. 

Dengan mbanyu mili membuat beberapa teman yang pernah bertemu langsung dg saya memberikan penilaian saya ini periang dan ceria. Selain itu juga karna sikap berusaha dan belajar menikmati membuat saya kaya’ gini. Ya saya mengamalkan nasehat Ka. Balai saat pertama kali bersua bahwa apa pun, kapan pun, dan dimana pun dinikmati saja. Dinikmati dalam arti (belajar) mensyukuri dan cepat adaptasi. Maka gak heran kalo 'dibully' senior2 baik pas diklat maupun disini ya 'biasa' saja. Saya anggap itu sebagai bahan mengakrabkan diri.

Terakhir, saya menyuplik nasehat dari dosen saya lagi bahwa tidak ada tempat yang tidak enak setelah bersyukur. Karna bersyukur itu lebih mendekatkan pada bahagia dan surga. 

 


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun