Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Seperti Tiada Arti

26 Januari 2023   19:57 Diperbarui: 26 Januari 2023   19:58 143 3
Baru kemudian wanita itu bangkit dari kursi kayu. Melewatkan lembaran uang kertas di atas meja yang semula mengapit di antara jemari. Ia mempersilahkanku masuk dan terburu mengelap meja yang kukehendaki.

"Sendiran saja?", tanyanya.

"Iya, sendiri. Ingin mampir saja", kataku sembari tak mampu menahan pandangan yang kerap meliputi tiap sudut warung bambu itu.

"Dari kota, ya?" Tanya si ibu yang ramah tersebut, senyum merekahnya tak kunjung surut sedari aku datang tadi.

"Tidak, di kota hanya mengajar, Bu", kataku sambil memandang keluar jendela.

Keadaan tak banyak berubah, alam sekitar masih sama. Pepohonan tumbuh rindang, tanaman singkong, pepaya, dan pisang di kebun, juga beberapa taman sederhana hasil kerjaku dengan teman-teman masih tampak subur. Tak hanya itu, lapangan hijau yang membentang di seberang sana, dimana aku dan teman-teman menggelar acara tujuh belasan lima tahun lalu sepertinya masih digunakan, entah sepak bola atau voli, atau mungkin kegiatan lain, terlihat setengah darinya telah terjal dengan permukaan yang terdapat gundukan-gundukan. Hingga kini, perasaanku seakaan kembali ke masa itu, saat melakoni program KKN di semester enam perkuliahan.

Banyak yang kami lakukan kala itu untuk membantu warga desa. Tapi jujur saja, mengenai program kkn itu, awalnya aku tidak terlalu antusias. Mungkin karena asalku pun dari desa. Hampir semua rentetan kegiatan itu sudah lazim bagiku. Tak ada yang baru lebih-lebih menarik. Aku juga tidak tahu apa yang belum pernah warga desa lakukan. Mungkin memang aku tidak perlu memikirkannya, karena aku lebih sibuk mengamati seseorang secara diam-diam.

Seorang gadis dari jurusan Bahasa Indonesia, yang menurutku begitu saja menghipnotis pikiran karena keelokannya. Membuatku melupakan kedatangan kami untuk bergotong-royong membangun desa. Aku lebih berminat mengawasinya ketimbang siswa SD yang sedang belajar di kelas. Dengan ringan hati aku membawakan apa saja untuknya ketimbang membantu kerja bakti. Dan aku lebih sering mengumbar perhatian padanya dari pada mengurus kelompok mempersiapkan acara. Intinya, semua kegiatan yang aku ceritakan tadi tak semuanya benar. Tapi aku benar-benar menginginkannya.

Septi Andriani nama panjangnya. Bisa dibilang, dia salah seorang dari divisi pendidikan yang paling aktif di antara para anggotanya, juga yang paling bersinar di antara lima belas gadis rombongan kami. Tubuhnya langsing namun tidak terlalu tinggi. Kulit putih dengan bulu-bulu halus melingkar di kedua lengan. Dan yang paling membuatnya lebih menggemaskan adalah wajah oval dengan bibir mungil yang terukir menawan, manis sekali. Seringkali dia dibonceng sana-sini oleh para pejantan rombongan kami, saling berebut satu sama lain mengantarkannya ke seluruh penjuru mata angin, kemana dia hendak pergi bertugas. Dia hanya tersenyum malu menanggapi semua itu, mengingat masing-masing di antara kami baru saling mengenal beberapa minggu. Ekspresi lugu khas kembang desa, meski aku tak tahu pula asal-usul nya.

Aku membuka kacamata hitam yang menggantung di wajahku. "Mungkin ibu masih ingat saya", kataku lirih, bersiap menanggung malu jika sampai si ibu menjawab tidak.

"Nak Tomo?" Katanya sesaat setelah mendalami penglihatan. Senyum khas si ibu kembali mengembang, dengan mata yang terbenam oleh kedua pipi, juga beberapa lekukan di area pelipis. Aku mengangguk.

Ternyata dia masih mengenaliku, tapi tidak dengan tahun berapa aku berkunjung. Perasaanku begitu lega dibuatnya, karena bisa saja si ibu telah lupa dan merasa tidak enak untuk menjawab tidak, hanya demi menjaga hati seorang pelanggan warung.

Langkahnya terhenti tepat di sampingku sesaat setelah menyajikan makanan, semangkuk soto ayam yang potongan dagingnya hanya nampak beberapa buah, mengambang di antara kuah bening yang mengisi penuh batok kelapa, dipisahkan dengan sepiring nasi yang ditaburi bawang goreng. Si ibu duduk di samping kiri. Wajah itu seketika muram, menatapku dalam-dalam. Aku belum siap menanggapi apa yang hendak dia katakan, apa yang tiba-tiba membuatnya membisu. Aku paham sekali si ibu gemar bercerita, sekali bercerita tidak ada ujungnya.

"Apa kabarmu, nak? Kamu sehat kan?" Tanyanya, sembari menghapus air mata yang mulai berderai-derai.

"Baik, Bu", kataku cemas. Kemudian memandang sekeliling, dalam hati aku menanyakan Pak Sardi yang jam segini biasa pulang dari sawah.

Kabar duka dari mulut si ibu akhirnya terkuak, Pak Sardi telah meninggal terserang penyakit jantung. Seorang RT di desa tersebut, suami si ibu. Baru minggu lalu, acara kenduri 40 harian diadakan. Pilu mendengarnya, Pak Sardi orang yang sangat rendah hati, begitu ramah kepada kami para tamu yang sering kali bertingkah seperti hewan liar, tidak tahu sopan santun. Si ibu turut mengingat kedekatanku dengan Pak Sardi.

Tak jarang pada siang hari, aku mendapati nya duduk di bawah pohon randu di dekat sawah miliknya. Minum segelas kopi dan menghisap sebatang rokok dari pipa kayu buatan sendiri. Pak Sardi selalu mempersilahkanku untuk singgah, duduk di atas tikar anyaman yang sebenarnya tidak muat untuk berdua. Dia kerap menceritakan kehidupan di desa, termasuk cerita pembagian sawah orang tuanya.

Siang itu, lima tahun yang lalu, aku turut menceritakan kepada Pak Sardi sebuah budaya cinta lokasi. Aku tidak tahu betul, Pak Sardi begitu sudi mendengarku layaknya seorang sahabat. Baru satu minggu aku bertamu, hingga aku begitu lantang menceritakan tentang perasaanku terhadap Septi. Pak Sardi menggut-manggut seraya tersenyum, mendengar tak satu pun usahaku terbalaskan.

Maka ku ceritakan pula jika perlahan aku menjauh, kembali dengan perhatian yang berjarak, tanpa komunikasi, atau tawaran-tawaran hambar lainnya. Sering kali saat waktu makan tiba, kedatangan ku yang kerap terlambat memaksaku melihat Septi dikerubungi para pejantan itu. Dengan gombalan-gombalan di antara kunyahan yang terdengar menjijikkan bagiku, saling bersahutan. Aku memilih untuk keluar dari ruangan yang penat itu, makan siang seorang diri di teras rumah.

Senin hingga Sabtu, kami bergantian untuk datang ke sekolah setiap pagi, membantu guru mengajar di kelas-kelas. Septi sangat mahir membuat puisi sekaligus membacanya, aku yakin, siapa saja yang mendengarnya akan luluh, karena beberapa kali aku membuktikannya. Namun, kegelisahanku kembali mencuat saat pergantian pelajaran. Aku tahu beberapa di antara pejantan itu dari jurusan Matematika dan Bahasa Inggris. Kembali mereka saling unjuk gigi di depan Septi, memamerkan pengetahuan dari bidang masing-masing di depan kelas. Septi tampak antusias, dengan ulas senyum dari deret bangku paling belakang, memperhatikan setiap orang yang sedang mengajar. Aku hanya duduk terdiam di deret bangku belakang yang lain, berharap jam pelajaran usai sesegera mungkin.

Ada kalanya, saat akhir pekan, kelompok kami rehat. Beberapa tinggal di rumah, beberapa pergi ke kebun memetik apa saja yang bisa dilahap, dan sisanya memilih pergi ke pantai, mengingat desa tersebut berjarak hanya sekitar tiga kilometer dari bibir pantai. Suatu ketika saat sore hari, aku mencoba untuk berkelana menjauh dari pemukiman, menikmati ketenangan yang mungkin bisa kudapatkan. Aku pergi ke pantai terdekat.

Sampai di tempat, aku melihat salah seorang lelaki dari kelompokku sedang bertransaksi untuk dua buah kelapa muda. Dia berlalu dan mengarah ke dua kursi kayu yang menghadap lautan dimana seorang perempuan duduk di baliknya. Aku mengamati dari belakang, tidak jauh dari penjual kelapa muda. Perempuan itu berpaling, wajahnya menghalau sinar matahari yang berangsur redup. Cukup di situ aku mengetahui itu Septi. Hatiku runtuh. Lagi dan lagi, di seluruh penjuru mata angin. Tidak pernah aku melihatnya seorang diri, atau setidaknya dengan teman-teman perempuannya. Aku mundur beberapa langkah dan kembali ke jalan pulang.

Tidak perlu diragukan lagi, gadis desa itu, yang kini entah dimana keberadaannya, akan memilih salah satu dari mereka, setidak nya bukan aku. Sebelumnya, beberapa dari pejantan itu telah memamerkan mobil bmw, motor gede dengan berbagai merk yang membuat nyaliku menciut, dan bualan-bualan setinggi langit yang terus dikumandangan padanya. Sedangkan aku, aku hanya bermodal niat, dan aku tahu persis konsekuensinya.

Sebenarnya, tak ada yang memaksaku menjabarkan semua itu pada Pak Sardi, terkecuali persaingan yang terlalu sadis. Tidak mungkin aku melimpahkan isi otakku atau curahan hati ini kepada seorang di antara mereka. Tak seorang pun bisa dipercaya! Seakan-akan perebutan itu telah menjadi dasar penilaian akhir. Tidak. Aku hanya merasa rendah dengan segala keadaanku. Kendati demikian, sebelum bibir mungil itu memuntahkan sumpah serapah, lebih baik aku ditelan ganasnya badai penyesalanku sendiri. Pak Sardi kemudian tertawa-tawa, setelah hampir air mataku pecah, karena garis nasibku tak kunjung berubah. Aku pun berpesan, cerita ini cukup berhenti di telinga Pak Sardi saja, dan dia mengiyakan. Katanya, aku tidak perlu berlarut-larut dalam penyesalan, terlebih keadaan yang kita terima. Syukuri saja, dan kemudian menuangkan segelas kopi dari teko ke dalam gelas yang lain, lalu menyodorkannya padaku.

Aku menunjuk ke arah lapangan yang berjarak sekitar delapan meter dari warung, mengalihkan pembicaraan, meyakinkan kembali daratan berumput itu masih digunakan warga. Entah mengapa gundukan-gundukan kasar itu menciptakan tanda tanya di kepalaku, merusak pemandangan.

"Baru beberapa hari, Nak. Sesuai permintaan Bapak sebelum pergi", ujar si Ibu, ternyata pertanyaanku kembali membuatnya terseduh-seduh.

Pak Sardi berpesan agar Suryo si anak bungsu menikah dan melanjutkan pekerjaan di sawah, mengingat Pak Sardi yang mulai sakit-sakitan hingga sawah tidak terawat seperti sedia kala. Sementara saudara yang lain sudah tersebar kemana-mana.

"Acara sederhana saja, Nak. Orang kecil seperti kami dapat biaya dari mana?" Kembali si ibu menjelaskan sebab rerumputan yang kandas itu. Aku mengangguk kecil.

Teras rumah terlalu sempit, tidak muat. Jadi kami bikin acara di situ", lanjutnya.

Aku termenung, mengalihkan pandangan ke arah langit yang mulai kelabu.

Warga sekitar tampak berlarian kesana kemari, tergesa menyelamatkan padi yang tersebar di teras rumah, dan beberapa mengangkat pakaian yang kembali basah. Aku terperanjat, sesaat setelah sepeda motor melesat secepat kilat membawa sepasang manusia ke halaman rumah ibu. Sekonyong-konyong pasangan itu melepas pelukan eratnya, mendaratkan kaki di bawah atap rumah.

Di tengah air hujan yang semakin tebal, dengan cermat aku mengamati. Sepertinya Suryo yang baru saja tiba, dengan istri barunya. Mataku semakin membelalak, kini berusaha menuntaskan sosok wanita itu. Ciri yang sama sekali aku kenali, meski tidak sepenuhnya yakin. Seketika aku bangkit, meraih jendela di depan meja ala kasir Ibu. Aku mengusap-usap mataku yang sama sekali tidak bermasalah. Tidak salah lagi, keyakinanku sudah di puncak teratas. Septi. Iya, itu Septi. Seketika perasaanku menjelma kelabu, seraya beringasnya semburan dari langit yang mengaburkan sorotanku. Cukuplah sampai di sini hatiku merancu. Kini kubiarkan rasa itu membubung di antara tangisan awan-awan. Rupanya si ibu benar-benar tak ingat bahwa kami berkunjung bersama kala itu, sebab tak ada sepotong pun cerita tentangnya. Sempat pula aku menyimpulkan, rupanya Pak Sardi benar-benar menjaga semua curahan hatiku. Aku pun kembali menyesali takdir ini, jika aku ditunjuk sebagai pembina KKN di desa itu, yang terhitung beberapa hari lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun