Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Tak Bijak Kyai Buka Pesantren di Tengah Pandemi

12 Juni 2020   18:36 Diperbarui: 16 Juni 2020   12:46 257 2
Indonesia kini tengah berada pada proses transisi menyambut New Normal. Dengan adanya New Normal, semua sektor dibuka kembali dengan catatan mengikuti prosedur kenormalan baru yang sesuai protokol kesehatan. Tak terkecuali sektor Pendidikan yang akan membuka kembali kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Kehadiran kembali para siswa di sekolah, tentunya membuat para orang tua bertanya-tanya. Apakah anak mereka akan aman-aman saja bersekolah? Sementara pandemi corona masih mewabah. Menurut survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia, sebanyak 85,5 % orang tua khawatir jika sekolah dibuka kembali pada pertengahan Juli. Sebanyak 72,2 % orang tua lebih menyetujui pembelajaran jarak jauh dan 68,5 % orang tua menilai sistem pembelajaran jarak jauh dapat diikuti dengan baik oleh siswa.

Sumber : Republika [Infografis Orang Tua Khawatir Jika Sekolah Dibuka Kembali]

Kekhawatiran orang tua beralasan kuat. Sebab, meski pihak sekolah atau pemerintah menyiapkan sejumlah fasilitas pencegahan di persekolahan, namun kontrol terhadap siswa sulit untuk dilakukan. Bagaimana bisa orang tua memastikan anak-anaknya terhindar dari kerumunan di sekolah? Apalagi sifat dasar anak-anak yang sering bermain dan belajar bersama.

Apabila pada sistem persekolahan biasa orang tua sudah sangat khawatir, bagaimana dengan sistem boarding school di pondok pesantren?

Seperti salah satu orang tua yang anaknya bersekolah di Pondok Pesantren (Ponpes) Gontor. Ia mengaku komunikasi ponpes dengan orang tua/wali murid masih belum terlalu baik. Orang tua hanya dapat berkomunikasi via Whatsapp tanpa mendapatkan informasi yang jelas tekait kesiapan ponpes menyambut New Normal. Meski Ponpes telah menyiapkan beberapa protokoler kesehatan, ia berharap pihak ponpes benar-benar memperhatikan para santri. Sebab, para santri hidup beramai-ramai dalam satu kamar yang dapat mencapai 20-30 anak per kamarnya, itu belum termasuk protokol kamar mandi.

Sumber : Republika [New Normal di Pesantren, Orang Tua Khawatir Kesehatan Anak]

Kekhawatiran orang tua akan anak-anaknya menjadi perhatian serius Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Oleh karena itu, pada 10 Juni 2020, Ketua Gustu Covid-19 Doni Monardo menyatakan, sektor Pendidikan adalah yang paling akhir dibuka dalam fase New Normal. Risiko yang tinggi menjadi pertimbangan. Sebab saat ini 44 persen dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia berada dalam zona hijau dan kuning. Artinya sebanyak 56 persen justru berada di zona yang mengkhawatirkan.

Sumber : Kompas [Doni Monardo: Sektor Pendidikan Dibuka Paling Akhir Saat New Normal]

Beda Gustu Covid-19, beda pula Wapres Maruf Amin. Wapres yang juga Ketua Umum MUI itu, telah membuka pesantren di zona hijau dan kuning, jauh lebih awal dibandingkan rencana pembukaan sektor Pendidikan di New Normal. Kyai Maruf bahkan membuka kemungkinan pesantren yang berada di zona orange dan merah untuk turut dibuka kembali.

Dalam Rakornas dengan KPAI pada 11 Juni 2020, Wapres maruf menyatakan pesantren zona merah dan orange dapat dibuka apabila mendapatkan rekomendasi dari Gugus Tugas. Sebab ia menilai pesantren lebih aman dibandingkan Pendidikan tatap muka apabila ada persiapan yang baik. Seperti melakukan sterilisasi di pesantren sejak awal, menjaga santri tetap di pesantren, hingga melarang orang luar masuk.

Sumber : Sindonews [Tak Hanya Zona Hijau, Wapres Buka Peluang Pesantren di Zona Merah Dibuka]

Bukankah di sini ada pertentangan antara pernyataan Gustu Covid-19 Doni Monardo dengan Wapres Maruf Amin? Keputusan Maruf Amin mendesak pesantren dibuka terlebih dahulu sungguh aneh karena pesantren termasuk dalam Sektor Pendidikan.

Oleh karena Wapres Maruf mendesak pembukaan pesantren, maka pemerintah menyiapkan anggaran guna mendukung pembukaannya kembali. Menurutnya kesiapan infrastruktur dan prasarana pesantren masih minim. Pesantren misalnya tidak memiliki standar baku perbandingan jumlah santri dan luas kamar tidur. Kamar yang seharusnya hanya diisi 5 orang, pada kenyataannya dapat diisi 10 orang. Dengan kata lain, sangat sulit menerapkan physical distancing. Namun pesantren tetap harus dibuka kembali karena belajar di rumah menimbulkan persoalan, seperti kurangnya akses internet.

Upaya Wapres Maruf berhasil dengan adanya penggelontoran anggaran Rp 2,36 triliun untuk perbantuan ponpes. Menko PMK Muhajir Effendy menyatakan, anggaran tersebut telah disetujui oleh Kemenkeu dan dipakai sebagai penunjuang new normal di ponpes. Dana akan disalurkan ke 21 ribu ponpes serta 1,2 juta ustaz secara proporsional. Namun anggaran sebesar itu tak lepas dari kritikan.

Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah PBNU (RMI-PBNU) Abdul Ghofarrozin menyatakan dana Rp 2,36 triliun tidak akan cukup menunjang penerapan new normal 21 ribu ponpes. Berdasarkan rapat pembahasan dana bantuan untuk pesantren, kisaran yang akan didapat masing-masing ponpes adalah Rp 25 juta bantuan umum dan Rp 1,5 juta bantuan layanan internet. Pria yang akrab dipanggil Gus Rozin itu mempertanyakan nasib ponpes yang memiliki santri lebih dari dua puluh ribu. Ia juga mengkritik Kemenag yang tidak menyinggung kebutuhan seperti tes massal, ruang karantina, perbaikan sanitasi, dan kebutuhan internet bagi para santri.

Sumebr : Bisnis [Wapres: Pemerintah Siapkan Anggaran untuk Buka Kembali Pesantren]
Sumber : CNN Indonesia [NU Sebut Rp2,36 T untuk New Normal di Pesantren Terlalu Kecil]

Berdasarkan seluruh paparan di atas, bukankah ada baiknya pesantren sebagai bagian dari sektor Pendidikan ikut dibuka terakhir seperti sekolah umum? Apalagi pihak pesantren akan diberi kucuran dana Rp 2,3 triliun dari pemerintah untuk perbantuan menerapkan protokol kesehatan. Dengan adanya bantuan ini, pesantren diharapkan dapat menggunakan dana tersebut untuk berbenah menjelang pembukaannya kembali. Tak bijak kiranya ketika pesantren memanggil para santri untuk kembali ke pondok saat fasilitas yang sesuai dengan protokol kesehatan belum memadai.

Terkait kritikan PBNU tentang kurangnya dana bantuan untuk pesantren, harus diingat saat ini seluruh dunia tengah mengalami krisis karena pandemi corona. Banyak sektor lain yang harus menjadi perhatian pemerintah. Lagipula apabila argumennya karena kekhawatiran ketidaksanggupan ponpes dengan jumlah santri puluhan ribu orang menerapkan protokol new normal, bukankah artinya ponpes tersebut adalah ponpes yang sangat besar dan tidak memiliki permasalahan keuangan?

Contohnya dapat kita lihat saat Kyai pendiri Ponpes Amanatul Ummah Surabaya menolak bantuan pemerintah untuk membangun gedung asrama santri. Padahal Kyai itu memiliki 10.000 santri. Bahkan hingga saat ini, ponpes miliknya tak pernah berhenti membangun gedung untuk sarana pendidikan.

Sumber : Bangsa Online [Kiai Asep Tolak Bantuan Presiden Jokowi Bangun Asrama Santri, Kenapa?]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun