Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sia-Sia Setia

16 Februari 2024   09:58 Diperbarui: 16 Februari 2024   10:27 101 4
"Om, kalo gede nanti aku pengen deh punya suami kayak Om Abi," ucap bocah manis berkepang dua, tiba-tiba.

"Haha.. kenapa gitu Bella?" Aku tertawa. Jelas saja bocah itu sedang nglantur.

"Soalnya Om Abi baik, ganteng pula! Kalo Om nikah sama aku mau ngga?"

Hahaha. Tawaku makin keras. Bocah zaman sekarang emang beda. Dulu surat kaleng banyak dipakai anak muda karena malu-malu ketahuan mengungkapkan. Sedangkan sekarang, seorang bocah 12 tahun dengan polosnya 'melamar' bujangan lapuk sepertiku. Memang dunia sudah berputar terlalu lama..

"Bella, anak rajin anak pinter anak cantik, kamu belajar yang bener ya, bermimpi yang tinggi, nanti bakal banyak bertemu laki-laki yang baik hati dan gantengnya melebihi Om," matanya menyiratkan kecewa, ucapanku seperti pumutus rantai harapannya.

Huh. Yang benar saja! Kenapa aku jadi terlalu serius menanggapi kehaluan seorang anak kecil di siang bolong!

Bella mengangguk pelan, lalu masuk ke dalam rumahnya. Yaa.. sebenarnya saat ini aku sedang berkunjung ke rumah ketua jurusan. Profesi sebagai dosen muda mengajakku untuk sering bertemu dengan ibunya Bella. Sejak kunjungan pertama ke rumah ini, aku tahu bahwa beliau seorang single parent yang ditinggal mati suami saat anaknya, Arabella, masih dalam kandungan. Jujur saja, sebagai lelaki aku kagum dengan Bu Kajur. Kondisi tersebut tak menghalangi dirinya untuk tetap menggapai karier, padahal juga harus menjalankan peran ganda sekaligus.

Dan sepertinya, kesetiaan pada mendiang ayah Bella terlampau tinggi. Betapa bersyukur lelaki itu, tak ada yang mampu menggeser posisinya meski telah beda dunia sekian lama.

"Abimanyu, maaf ya nunggu lama. Saya tadi harus rapat online dulu dengan ketua jurusan Statistika se-Jogja," seperti biasa, Bu Rengganis selalu ramah dan tampil cantik walau sudah kepala empat. Barangkali bukan aku saja yang senang berlama-lama menatap wajah manis beliau.

***

Deru motor terdengar di halaman rumah Bu Rengganis. Tak lama kemudian seorang gadis remaja lewat. Ia melihatku sekilas, lalu salim ke mamanya. Wajahnya tertekuk seperti menahan gejolak emosi. Kemudian ia masuk begitu saja.

"Ngga tau tuh Arabella, kayaknya lagi patah hati. Dari kemarin kuncian kamar terus. Giliran keluar, wajahnya udah cemberut dan sedikit bicara. Yah.. namanya juga anak muda," ucap Bu Rengganis ketika seperti biasa kami bicara empat mata di teras rumah.

Sudah 5 tahun berlalu, tapi kami masih sering membahas kerjasama pekerjaan di rumah Bu Rengganis. Bagiku beliau bukan cuma atasan di kampus, tapi juga senior dan pembimbingku di dunia kerja. Tanpa dukungannya sejak awal, tak mungkin aku dipercaya menjadi ketua jurusan pada usia 32 tahun ini.

Dan Bu Rengganis, sekali lagi memang pantas kukagumi. Pengamalan tri dharma perguruan tinggi dan dedikasinya pada kampus mendukung langkahnya menaiki satu per satu anak tangga menuju puncak. Ia terpilih menjadi Wakil Dekan II sejak setahun lalu.

"Bella sudah besar ya, Bu.." ucapku menimpali. Tidak, tidak. Maksudku yaaa.. benar Bella sudah jauh lebih besar, dibanding pertama kali kami bertemu kan dia masih seorang bocah SD.

"Tetap aja anak kecil bagi saya. Dia kemarin bilang, mau ambil kedokteran di Jepang. Ya saya ngga setuju lah. Masa punya anak semata wayang, malah mau ditinggal pergi. Saya ngga bisa hidup jauh dari Arabella, cuma dia yang saya punya," sanggah Bu Rengganis. Ada benarnya. Tapi entah kenapa aku jadi merasa bersalah.

Apa mungkin, Bella seperti itu karena ucapanku tempo hari..

Sore itu di hari Minggu, aku sedang bersantai di taman kota setelah jogging sendirian. Tiba-tiba Bella datang, sepertinya tak sengaja juga ia ke taman sebab pakaiannya terlampau rapi. Dan seperti biasa, ia terus 'melamar'ku.

"Om Abi, aku bentar lagi lulus sekolah. Apa udah boleh jadi istri Om Abi?" Kupandangi Bella sebentar. Wajahnya mewarisi kecantikan Bu Rengganis, bagai pinang dibelah dua, mengundang siapapun betah memandang lama-lama. Binar matanya masih sama, jernih dan penuh harap; membuatku tak tega untuk terus memangkas harapan gadis polos tersebut.

"Bella, usia kita beda terlalu jauh, 15 tahun. Kamu masih muda, kesempatanmu masih terbuka luas. Bisa melanjutkan kuliah ke kampus yang kamu inginkan, berteman dengan siapa saja, bebas melakukan yang kamu suka, dan tentu kamu bisa bertemu dengan lelaki yang jauh lebih pantas lebih baik lebih ganteng lebih muda dari saya. Kamu sudah saya anggap sebagai keponakan sendiri," ucapku panjang lebar sambil tersenyum.

Kukira perjalanan usia akan mengubah pandangannya untuk tak terus mengejarku. Tapi sepertinya Bella tak pernah bercanda. Dan entah kenapa, sore itu aku tak tega melihat matanya yang berkaca-kaca.

Bella tak berkata satu kata pun. Senyum manisnya pudar. Ia hanya mengangguk datar, lalu beranjak pergi.

Dan kini, setelah mendengar dia akan kuliah ke luar negeri, aku makin merasa bersalah. Tapi yaa... mungkin harus seperti itu agar harapannya berlabuh ke hati yang tepat.

***

"Abimanyu, tolong gantikan seluruh jam saya hari ini! Saya harus pergi ke rumah sakit. Darurat!" Bu Rengganis mendatangi ruanganku buru-buru.

"Siapa yang sakit, Bu?" Tak biasanya beliau izin mengajar.

"Anak saya. Barusan rumah sakit menelpon kalo Arabella masuk ruangan ICU."

Deg. Dada ini seperti terhantam ribuan batu.

"Anak itu.. selalu saja.. sok kuat sok mandiri.. seolah saya ini ga ada.. merahasiakan semuanya dari saya.." Bu Rengganis mulai sesegukan.

"Saya ngga punya waktu lagi. Tolong tadi ya Abimanyu, saya percaya ke kamu seperti biasa," lalu Bu Rengganis pergi.

Aku masih shock. Bella.. terakhir kudengar, ia sudah menyelesaikan pendidikan dokter di Malaysia. Kecerdasan yang diturunkan sang mama menjadikannya lulusan termuda dan tercepat. Tapi hanya sebatas itu kabar yang sampai. Aku tak tahu sejak kapan dia menginjakkan kaki di tanah Jogja, apalagi sekarang, tiba-tiba masuk rumah sakit.

Pekerjaan hari ini kuselesaikan dengan cepat agar bisa segera mengunjungi Bu Rengganis. Membayangkan beliau menunggu sendirian rasanya kasihan.

Lalu lalang Rumah Sakit Harapan Bunda tak terlalu ramai di sore hari. Berbeda dengan riuh di kepala. Dadaku bergemuruh kencang. Perasaanku tak enak. Rasanya seperti beberapa tahun lalu, ketika ditinggalkan mendiang istri yang baru 1 hari kunikahi.

Sampai di depan kamar, dokter dan perawat hilir mudik. Suara tangisan Bu Rengganis menggema memenuhi ruangan. Tanpa perlu masuk, aku tahu keadaan yang telah terjadi.

Tiba-tiba telingaku tak mampu mendengar hiruk-pikuk manusia. Lorong rumah sakit menjelma sepi. Hanya ada suara dan bayang-bayang Arabella yang berputar layaknya kaset lama. Rona malu dan bahagia terlihat jelas ketika aku pertama kali berkunjung ke rumahnya, memintaku membawakan kue keju tiap ke sana, memaksaku bercerita sambil menunggu mamanya, lalu pelan-pelan ia beranjak menjadi gadis remaja yang manis, hingga akhirnya pergi mengejar mimpi yang entah sejalan atau tidak.

Pintu ruangan dibuka. Bu Rengganis melihatku dengan tatapan sedih. Bulir-bulir kecil masih menggenang menghiasi mata indahnya.

"Bella sakit lupus sejak 5 tahun yang lalu. Orangtua macam apa saya yang tak mengetahui itu sampai akhir hayatnya. Hiks hiks hiks" Aku hanya bisa diam, tak mungkin menarik Bu Rengganis ke dalam pelukan.

Diam, diam-diam kutertawakan sikap pengecut ini. Seandainya aku lebih mengutamakan perasaan daripada pandangan orang lain, berani mengambil risiko di pertemuan terakhir kami, mungkin Bella akan menikmati sisa-sisa hidupnya dengan bahagia. Ditemani orang yang dicinta, bukan menderita kesakitan sendirian. Tapi penyesalan selalu datang sebagai tamu terakhir. Datang dari jiwa yang lara dan merana.

Perlahan bulir air mata turun. Aku dan Bu Rengganis sama-sama menangis dalam sunyi, menangisi orang yang sama dengan penyesalan yang berbeda. Ucapan Arabella padaku sejak awal tak pernah main-main. Ia menunjukkan kesetiaan dan menjaga cintanya dengan tetap sendiri sampai akhir hayat.

Maafkan lelaki pengecut ini, Arabella..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun