Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pemerintah Otoriter tetapi Menyejahterakan?

23 Juli 2019   15:19 Diperbarui: 24 Juli 2019   05:56 440 1
Pemerintahan ke masa depan harus memilih diantara menjadi pemerintah yang demokratis atau otoriter. Sikap ini menjadi perdebatan berkepanjangan, termasuk di kalangan rakyat kebanyakan. Hanya saja, apakah kesejahteraan rakyat meningkat?

***

Kesejahteraan harus menjadi fokus pembicaraan ketika ingin memilih sikap dalam memerintah. Kata sejahtera bagi semua hanya terus menjadi bayangan selama bertahun-tahun negeri ini berdiri. Namun, demokrasi malah menjadi fokus pembicaraan.

 Saya tidak bermaksud untuk memberikan teori yang berbelit mengenai bagaimana membentuk suatu pemerintahan. Kapasitas saya yang terbatas hanya bisa melihat dari sisi yang sempit, tetapi sangat merasakan dampaknya.

Berbicara panjang lebar tentang membangun pemerintahan atau memerintah negara seluas Indonesia, saya lebih sering mendengar kata 'demokratis'. Padahal, tujuan adanya pemerintahan adalah untuk menyejahterakan rakyat. Bagaimana pun caranya.

Apakah demokrasi bisa mendatangkan kesejahteraan? Itu yang harus dijawab banyak elit di negeri ini.

Demokrasi hanya dijadikan alasan untuk bagi-bagi kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya diantara petinggi partai politik tetapi juga diantara para kapitalis pemilik modal. Demokrasi seakan tameng pembenaran untuk mengganggu  stabilitas sosial, ekonomi dan politik.

Saya menonton berita di TV, bagaimana Hong Kong kacau berminggu-minggu tanpa kesudahan. Demokrasi menjadi tuntutan, di tengah kesejahteraan yang sudah mereka miliki.

Lah, negeri ini? Tuntutan demokrasi tidak usah juga menjadi alasan untuk merusak stabilitas yang ada. Seakan tuntutan demokrasi adalah sesuatu yang luhur tetapi lupa bahwa tuntutan kesejahteraan jauh lebih penting.

Berpikir realistis-pragmatis lebih dipilih daripada berpikir sok idealis namun tidak membuktikan kebenaran pikirannya. Malu, demokratisasi pemerintahan hanya jadi sumber keributan bukan menjadi ajang pembuktian.

Negara monarki sangat terkenal otoriter tetapi kesejahteraan rakyat bisa "membungkam" kemauan sebagian rakyat untuk memberontak. Riak-riak kecil di masyarakat bisa terselesaikan.

Berbeda dengan negeri ini, semua orang ingin ikut bicara. Sekedar bicara!

Filosofi Mana yang Relevan?
Media massa begitu sering menyiarkan isu-isu demokrasi seakan sebagai sebuah filosofi yang luhur dan harus dipegang erat. Namun, media massa tidak pernah bisa menunjukan bagaimana kesejahteraan bisa datang.

Media punya kepentingan untuk berbicara demokrasi tetapi mereka tidak punya kepentingan dengan kesejahteraan. Karena, kalau negara sudah sejahtera apa yang mau jadi berita?

Bayangkan kalau kehidupan sudah sejahtera. Nyaris tanpa berita. Coba perhatikan negara dengan kesejahteraan tinggi seperti Finlandia atau Saudi Arabia, nyaris tanpa berita.

Di negeri kita? Setiap hari ada saja berita,  tentu saja berita kemalangan.

Media punya alasan untuk mendengungkan demokrasi. Lah, saya sebagai orang desa apa kepentingannya? Buat saya yang penting hidup sejahtera. Makanya jangan aneh orang desa masih banyak yang percaya gaya kepemimpinan Orde Baru, buktinya Golkar masih eksis di pemilu. Perolehan suaranya masih tinggi.

Bagi kami, demokratisasi pemerintahan bukan agenda utama. Hidup dengan layak adalah agenda utama dalam menjalani hidup di negeri ini.

Lalu, kenapa demokrasi bisa menjadi landasan filosofis negeri ini? Bukan 'filosofi kesejahteraan' atau 'filosofi kemajuan' yang dipegang?

Demokrasi bisa jadi hanya agenda segelintir orang yang haus akan kekuasaan. Berkoar-koar tentang demokrasi tetapi itu hanya di depan layar. Di belakang layar, mereka hanya tertawa melihat penderitaan rakyatnya.

Saya lebih menghargai pemerintah yang bisa 'berdiri di dua kaki'. Maksudnya, dia bisa memberikan kesejahteraan pada rakyat. Namun, di sisi lain dia tidak memberikan kelonggaran pada pihak yang mau menggoyahkan kekuasaannya.

Adakalanya rakyat tidak meminta menjadi penguasa. Tetapi penguasa justru membutuhkan dukungan rakyat. Dan, dukungan akan mengalir pada penguasa yang bisa memberikan kesejahteraan bukan penguasa yang ingin dibilang 'demokratis'.

***

Saya sendiri tidak terlalu dipusingkan dengan siapa yang berkuasa. Tapi, tentu saja siapa yang sanggup memberikan kesejahteraan. Toh, sosok yang kita idamkan tidak akan pernah bisa mencapai kesempurnaan.

Di negara demokrasi, suatu kebijakan pemerintah akan terus dihujani kritik. Padahal kritik pun tidak selalu tulus demi memperbaiki nasib bangsa. Banyak kritik hanya sekedar menjatuhkan.

Pemerintah yang otoriter bisa dianggap sebagai pemerintah yang antikritik. Apabila ada warganya yang banyak bicara maka bisa dengan cepat membungkamnya. Pers pun  tidak bebas berbicara dan membuka wacana. Namun, kepentingan negara begitu dikedepankan daripada kepentingan segelintir orang yang tidak suka pada penguasa.

Filosofi demokrasi sebagai topeng bagi-bagi kekuasaan memang tidak perlu ada. Lagipula, kenapa harus terlalu banyak orang ikut campur urusan negara. Ada hal-hal dimana tidak semua urusan harus ditangani begitu banyak orang.

***

Sekali lagi, kalau saya harus memilih apakah menjadi demokratis tetapi tidak sejahtera atau otokratis tetapi rakyat sejahtera, maka saya akan memilih yang kedua.

Tidak semua orang akan memiliki pandangan yang sama dengan saya. Hanya saja, saya sudah terlalu muak dengan topeng demokrasi tetapi hanya sekedar bagi-bagi kursi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun