Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Saat yang Tepat Amerika Serikat Hengkang dari Timur Tengah?

25 Maret 2022   10:10 Diperbarui: 27 Maret 2022   13:42 428 6
Ketika perang Rusia-Ukraina memasuki pekan keempat, tampaknya bermunculan beberapa konsekuensi yang tak diinginkan dari konflik yang dapat secara signifikan berdampak pada geopolitik Timur Tengah.

Ukraina dan Rusia merupakan pemasok utama gandum untuk beberapa negara Timur Tengah, misalnya saja Mesir. Guncangan pasokan gandum dapat menyebabkan kerusuhan di Kairo, bahkan ibu kota beberapa negara lainnya.

Harga minyak dunia telah meroket, baik Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) telah menolak permintaan Amerika Serikat untuk meningkatkan produksi mereka guna menekan harga.

Lebih dari itu, kesepakatan nuklir Iran atau JCPOA yang paling ditunggu-tunggu, bahkan berada di tahap akhir, kemungkinan tertunda atau mungkin dibatalkan karena serangkaian tuntutan baru yang ditetapkan Rusia.

Dalam konteks seperti ini, sebuah pertanyaan yang mungkin paling dinanti-nanti oleh masyarakat Timur Tengah, apakah sekarang adalah waktu yang tepat bagi Amerika Serikat untuk melepaskan diri dari kawasan ini?

Geopolitik Regional

Konflik di Yaman hingga saat ini masih berdampak buruk bagi Arab Saudi dan UEA. Lebanon setiap saat dapat memicu kekacauan, di mana satu-satunya kekuatan militer yang mampu mengambil alih kendali negara adalah Hizbullah. Di Suriah, pemerintah Assad perlahan-lahan mengkonsolidasikan kendalinya atas Suriah dan Irak.

Jika satu saja dari skenario di atas menjadi kenyataan, rasa-rasanya kecemasan negara-negara Arab yang menormalisasi dengan Israel bisa menjadi jauh lebih beralasan.

Jika pembicaraan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir dengan Iran berhasil, Israel dan beberapa negara Arab tidak akan terlalu lega; di sisi lain, ketegangan dan eskalasi sangat mungkin terjadi jika pembicaraan di Wina gagal.

Perkembangan yang mengejutkan, bagaimanapun, adalah bahwa beberapa aktor regional tampaknya sudah mengantisipasi jika Amerika Serikat hengkang.

Nantinya, situasi ini akan merangsang dialog regional; ketika kesadaran muncul bahwa keamanan regional paling baik dicapai oleh negara-negara di kawasan yang berbicara satu sama lain alih-alih mencari perlindungan di balik kekuatan besar yang terkadang tidak dapat diandalkan.

Arab Saudi dan Iran

Selama beberapa bulan terakhir, Arab Saudi telah terlibat dalam pembicaraan dengan Iran mengenai hubungan bilateral kedua negara dan menentukan bagaimana jalan keluar demi menyelamatkan muka mereka dari Yaman.

Krisis di Yaman ini memang membuat masa depan Arab Saudi was-was. Di lain sisi, UEA bergerak lebih cerdik. Elit penguasa Abu Dhabi secara efektif bermain di banyak meja perundingan, dan secara bersamaan menjangkau Turki, Iran, dan Suriah.

Setelah lama berselisih dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan masalah gerakan Islamis  dan Ikhwanul Muslimin, Putra Mahkota Mohammed bin Zayed (MBZ)  mengunjungi Ankara untuk pertama kalinya dalam satu dekade dan presiden Turki dengan cepat membalas kunjungan tersebut.

Bagaimana China?


Agustus 2010 lalu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyatakan akhir dari misi militernya di Irak. Obama kemudian enggan berkomitmen dengan NATO terlait intervensi di Libya dalam menggulingkan Muammar Gaddafi. Pada 2013, Obama menolak untuk melengserkan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Tentu saja, Obama tidak dapat menghindari ISIS. Namun pada akhirnya, Amerika Serikat lebih tertarik untuk berporos ke Asia daripada memperbaiki Timur Tengah.

Pada 2019, Presiden Donald Trump mencoba menarik pasukan Amerika Serikat keluar dari Suriah tetapi gagal. Dia bertemu dengan oposisi dari pembentukan kebijakan luar negeri dan keamanan Washington.

Presiden Joe Biden akhirnya menyelesaikan penarikan dari Afghanistan yang disetujui oleh Trump, dan dia melakukan ini atas nama apa yang sekarang diklaim sebagai tantangan keamanan utama Amerika Serikat di abad ke-21: China.

Washington memang sangat prihatin dengan kebangkitan Beijing yang mengesankan. Namun dalam konteks ini, penarikan AS dari Timur Tengah tidak masuk akal. China menjadi importir utama minyak dari Teluk Persia 10 tahun lalu, dan wilayah tersebut memasok hampir setengah dari kebutuhan minyak China.

Yang terbaru, datang dari pertemuan dua hari OKI, Organisasi Kerjasama Islam, yang diselenggarakan di Islamabad, Pakistan, Menteri Luar Negeri China Wang Yi hadir untuk pertama kalinya sebagai perwakilan diplomat top China. Di sana, Wang Yi menegaskan bahwa China selalu dekat dengan dunia Islam. China juga selalu berada di sisi Palestina hingga solusi perdamaian tercapai.

Dalam lingkungan strategis yang rasional, China harus lebih berkomitmen untuk Timur Tengah daripada Amerika Serikat. Ya setidaknya selama tiga dekade, belum ada banyak bukti pemikiran strategis yang sehat dari Washington.

Ada ketakutan yang membayangi di antara sekutu Amerika di wilayah itu bahwa kekalahan Amerika Serikat di Asia Tengah mungkin akan diikuti oleh penarikannya dari Timur Tengah.

Kekhawatiran atas penarikan Amerika Serikat adalah kekosongan kekuasaan, dan kemungkinan Iran, Rusia, dan China akan dapat mengisinya.

Ini mungkin sebagian menjelaskan mengapa beberapa negara Arab bergegas menandatangani apa yang disebut Kesepakatan Abraham, yang menormalkan hubungan diplomatik dengan Israel.

Dengan kata lain, kesepakatan tersebut menguraikan pola yang mungkin: AS mengalihdayakan peran ke beberapa negara Teluk dalam membiayai Israel, sementara yang lainnya akan secara progresif menggantikan AS dalam melindungi Israel.

Memang terlalu cepat menyimpulkan. Namun demikian, cepat atau lambat, aktor regional nantinya akan dapat menemukan bahwa persaingan antar mereka dapat digantikan oleh tantangan dan ancaman baru seperti perubahan iklim, peningkatan jumlah pengangguran, transisi energi yang sangat mahal, dan arus migrasi yang membawa bencana.

Seharusnya negara-negara Timur Tengah menyadari hal ini, ya semoga saja tidak terlambat bahwa satu-satunya cara untuk menghadapi masa depan mereka adalah melalui kerja sama regional tanpa ada pihak ketiga yang menganggu.

Sumber: Al Jazeera, Middle East Eye, dan berbagai sumber lainnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun