Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Saya Ingin Perbaikan #IWantitNow

24 Desember 2014   18:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:33 89 0

Komentar seorang kawan blogger di tulisan saya yang berjudul Senjata Tajam di Tangan Bocah Unyu membuat saya terhenyak. Ia berkata begini: ... atau mereka jadi korban media yang selama ini terlalu memojokkan makasar. soalnya sebagai orang luar, kalo dengar kata makasar, yang pertama melintas di benakku itu tawuran. Siapa salah..?

Di tulisan itu saya menceritakan tentang seorang anak SMP yang tertangkap tangan oleh satpam sebuah sekolah dasar. Bocah itu membawa senjata tajam masuk ke dalam sekolah. Niatnya hendak mencari seseorang dan senjata tajam itu untuk melakukan sesuatu kepada anak yang dicarinya.

Kawan yang berkomentar itu memang karakternya blak-blakan. Sebenarnya ia tak bermaksud memojokkan saya yang berasal dari Makassar tetapi karena ini komentar ketiga yang senada darinya, saya jadi gerah dan menjawabnya panjang lebar (padahal sebenarnya saya tak perlu sampai sebegitu sewot).

Begitu pun cerita suami saya tentang seorang kawannya yang sudah dua kali menegurnya dengan cara tidak enak ketika ada berita kerusuhan di Makassar, juga membuat saya terhenyak. Temannya itu berkomentar seolah-olah suami saya sama dengan para pelaku kekerasan itu: tidak punya hati nurani. Karena komentarnya dikaitkan pada peristiwa-peristiwa itu dan terkesan mengomeli suami saya. Sebegitu parahnyakah kesan mereka tentang kota dan daerah asal saya?

Selain itu, ada banyak cerita yang membuat saya makin percaya bahwa pada sebagian masyarakat Indonesia, ada stigma negatif tentang kota saya, daerah saya (Sulawesi Selatan), bahkan daerah Indonesia Timur.

Misalnya cerita suami ketika merantau ke luar pulau dan seorang kawannya tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa, “Makassar itu kan asal katanya ‘kasar’ makanya orangnya kasar-kasar.”

Juga pengalaman beberapa orang mengenai betapa sulitnya sarjana asal Makassar mencari pekerjaan di wilayah Indonesia Bagian Barat, termasuk Kalimantan “hanya” karena kesan bahwa mahasiswa Makassar tukang tawuran. Di beberapa perusahaan, asal daerah Makassar sudah merupakan alasan bagi mereka untuk menolak pelamar yang bersangkutan.

Lalu ada cerita kawan saya mengenai ibunya yang satu pesawat dari Pulau Jawa, dengan seorang pemuda yang ditempatkan kerja di Makassar – dan pemuda itu terlihat tegang sekali karena membayangkan yang tidak-tidak tentang Makassar – seolah membayangkan Makassar itu rimba raya yang penduduknya masih primitif. Pemuda itu baru berangsur-angsur rileks setelah diajak ngobrol oleh ibu teman saya dan dia mengakui ketakutannya terhadap kota bernama Makassar.

Dan saya makin yakin ketika menghadiri sebuah acara, di mana di situ ada Arie Kriting – stand up comedian yang membawakan materi tentang betapa stigma buruk masih melekat untuk orang-orang Indonesia Timur (reportasenya bisa dibaca di sini).

Mengapa menulis? Karena saya sangat menikmati kegiatan menulis. Saya memperoleh banyak manfaat dan bisa membagikan kembali manfaat-manfaat yang saya olah melalui tulisan. Dengan menulis, banyak hal yang secepatnya akan tergerus masa bisa menjadi abadi karena berada di ruang publik, selamanya.

Dengan menulis, saya bisa berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, membentuk keluarga yang lebih baik, dan bisa ikut membagi manfaat dari kegiatan-kegiatan pengelolaan lingkungan dan kegiatan-kegiatan sosial untuk lingkungan dan masyarakat sekitar yang lebih baik.

Tentang sari pati buku yang saya baca dan tentang perenungan saya, suka saya tuliskan di blog. Misalnya saja saya pernah menuliskan tentang Gerakan Desa Membangun (Gerdema) setelah membaca buku Revolusi dari Desa. Saya juga pernah menuliskan resensi buku yang ditulis oleh rektor Universitas Hasanuddin saat ini di tulisan ini.

Saat menghadiri kegiatan lingkungan dan sosial, saya juga menuliskannya. Empat tulisan saya tentang Bank Sampah Pelita Harapan yang terletak kira-kira lima ratus meter dari rumah saya dan penggagasnya – Pak Patta Giling mendapat simpati dan rasa kagum dari banyak pembaca. Beberapa orang menyatakan hendak mempelajari tentang bank sampah dari tulisan saya.

Saya pun aktif menyebarkan link tulisan saya ke media sosial, termasuk ke grup-grup yang saya ikuti. Di media sosial, saya menuliskan kata-kata pengantar yang menarik orang untuk membacanya. Misalnya saat menyebar dua tulisan tentang entrepreneurship ini: Cinta Buku Memantapkan Langkah Entrepreneurshipnya dan Belajar dari Para Wirausahawan Muda yang Luar Biasa. Alhamdulillah, banyak yang membacanya setelah disebarluaskan di media sosial.

Selain itu saya menuliskan tentang event lokal (contohnya Semarak Kompas Gramedia Fair Makassar) dan kejadian mengenaskan yang terjadi di dekat rumah saya (bisa di baca di tulisan berjudul Kebakaran di Rappocini). Mengenai tulisan event, banyak orang yang semulanya tak tahu, jadi tahu mengenai event tersebut dan berniat mengunjunginya. Sementara tulisan tentang kejadian naas, telah menggerakkan beberapa orang – bahkan dari luar Sulawesi untuk berdonasi.

Sayangnya, saya belum memiliki gadget yang memadai untuk melakukan reportase secara real time. Biasanya saya menulis untuk blog setelah pulang ke rumah. Hanya sesekali saya update status di media sosial mengenai kegiatan yang sedang saya ikuti padahal bisa lebih mantap lagi seandainya selalu bisa melakukannya.

Kadang-kadang saya memanfaatkan fasilitas wifi dengan gadget jadul saya. Namun saya kapok. Gara-gara di suatu ketika, saya mengira sedang menggunakan wifi di tempat acara tapi ternyata yang terkuras adalah pulsa HP saya. Padahal saya baru isi pulsa dan sebelum mengaktifkan, nama wifinya saya pastikan merupakan nama wifi di tempat itu. Oh my.

Makassar, 24 Desember 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun