Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Bahagia Lintang

1 Juli 2020   05:58 Diperbarui: 1 Juli 2020   05:57 203 5
Hari berlalu seakan berpacu dengan waktu, bulan terus berganti, namun belum ada perubahan pada diri Lintang, senyumnya masih jarang, bahkan aktifitas pun dilalui dalam diam.Sitha dan Gischa prihatin dengan perubahan Lintang, khawatir kesedihan akan berpengaruh pada kesehatan Lintang. Meski ia selalu berkata baik-baik saja, tapi kedua sahabatnya tahu benar bahwa Lintang sedang tak baik-baik saja.

Sore itu Lintang duduk di teras menikmati hujan yang turun dengan damai menjelang senja. Sesekali Lintang memejamkan mata, menghirup dalam-dalam aroma petrikor hingga memenuhi rongga dadanya. Lintang membayangkan ia berlari masuk dalam derai hujan agar bisa menangis tanpa seorang pun tahu air mata kesedihan  dan kehilangan yang tersembunyi di antara buliran air hujan.

"Hai... " Sitha menyentuh lembut bahunya. Lintang menoleh terkejut,  ada Gischa yang juga menghampiri dan mengambil tempat duduk di sebelahnya.

Lintang memandang kedua sahabatnya, bertanya-tanya dalam hati, intuisinya mengatakan ada sesuatu  jika keduanya datang bersamaan.

"Lintang, kita tahu benar hatimu masih terluka, tapi sampai kapan kamu mau seperti ini terus? Kamu juga sudah terlalu lama menjanda, dan beberapa kali sempat ingin menikah walau gagal, kenapa nggak mencoba lagi untuk move on?" Sitha membuka pembicaraan.

"Move on dan membuka hati kembali, dibarengi dengan move up, berikhtiar dan lebih mendekatkan diri pada Allah, agar hatimu lapang dan ikhlas pada takdir-Nya." Gischa menimpali

"Menjanda berlama-lama juga nggak baik,"

Lintang menghela nafas panjang, pandangannnya menerawang.

"Entahlah aku belum bisa."

"Belum bisa karena kamu tidak berusaha membuka hati untuk orang lain," tandas Sitha.

"Begini saja, Mumpung ada laki-laki yang bersungguh-sungguh ingin menikah sama kamu, gimana kalau kamu pertimbangkan?" tanya Sitha

Lintang mengalihkan pandangannya ke arah hujan. Tentu saja, wanita mana yang tidak ingin menikah?  Menikah adalah ibadah terpanjang dalam hidup, menyempurnakan separuh agama. Pernikahan adalah ladang pahala terbesar bagi seorang wanita.

Namun beberapa kali gagal dalam membina hubungan membuat Lintang ragu, usianya tak lagi muda, masihkah ada yang mau menikah dengannya sekaligus  juga menerima segala kekurangannya dan termasuk kedua anaknya.

"Memangnya masih ada yang mau menikahi janda yang sudah tua  sepertiku?" tanya Lintang ragu.

"Hus! Jangan ngomong gitu, dong! Kamu cantik dan memiliki banyak kelebihan, kamu hanya kehilangan rasa percaya diri.

"Bukan begitu, aku capek dengan semua drama yang pernah aku alami, karena itu aku harus lebih berhati-hati, aku tak mau terluka untuk yang kesekian kali. Sebelum aku membuka hatiku lagi, aku juga ingin tahu alasan apa yang membuat laki-laki ingin menikahiku," Lintang menatap Sitha dalam.

"Bagaimana jika dia yang ingin menikahimu adalah orang yang sangat mencintaimu."

"Siapa?" tanya Lintang sanksi.

"Berarti kamu mau mempertimbangkan jika ada orang yang sungguh-sungguh berniat menikahimu?" Sitha memastikan

"Entahlah.. aku masih ragu."

"Begini aja, setidaknya berilah dia kesempatan untuk bertemu, kamu kan tidak harus menerimanya jika tidak suka." Sitha meyakinkan.

"Pertimbangkanlah, jangan lupa minta petunjuk Allah."

Sitha memeluk Lintang, menggenggam tangannya lembut.

"Kita berdua sangat menyayangimu, kita berdua ingin kamu bahagia, tolong pertimbangan karena kalau dia bukan orang baik, kita juga nggak akan  menyampaikan padamu," ujar Sitha.

Gischa mendekat, memeluk Lintang dari belakang, dan merebahkan kepala Lintang dalam pelukannya.

" Kamu ingat ketika aku memintamu menikah dengan mas Anan?" Gischa merasakan Lintang mengangguk dalam pelukannya.

"Semata karena aku tahu kamu perempuan yang baik, kamu berhak bahagia setelah banyak perjalanan luka yang kamu lewati."

"Dan kali ini, kita berdua benar-benar berharap kamu mau mempertimbangkan, kita berdua berharap setelah ini tak ada lagi air mata di wajah kamu."

Butuh beberapa menit untuk mengalahkan ego, hingga akhirnya Lintang mengangguk.

"Beri aku waktu untuk berpikir, ya," pinta Lintang.

"Alhamdulillah," serempak Sitha dan Gischa merasa lega

"Istikharah, dan minta petunjuk Allah. Yakini semua yang terbaik dari-Nya." Gischa dan Sitha pamit, hujan mulai reda meninggalkan genangan.

Senjapun mulai beranjak ke peraduan dilengserkan gulita malam. Lintang menatap photo Remund, hatinya getir. Kedua temannya benar, tak ada guna meratapi yang sudah pergi, cukup mengenang lewat dedoa karena hidup harus berlanjut.

*

Lintang mengumpat dalam hati, di tengah kemacetan kenapa harus mengalami ban bocor.. Lintang menepikan mobilnya, turun dan memeriksa kondisi bannya. Benar-benar habis anginnya.

Lintang mengedarkan pandangan ke segala penjuru, mencari kemungkinan ada tukang tambal ban, tapi tak ada tanda-tanda. Lintang menyugar, panas yang begitu terik membuat keringat bercucuran membasahi jilbab lebarnya.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan mobilnya, seorang laki-laki turun dan menghampiri.

"Rudi," desis Lintang lirih. Seketika diliputi rasa cemas. Takut laki-laki itu kembali berniat kurang ajar.

"Lintang...," sapa Rudi

"Kok sekarang pakai Jilbab? Makin cantik aja."

Lintang tersenyum tipis, sejak peristiwa yang hampir merenggut kehormatannya malam itu, Lintang lebih bersikap waspada terhadap Rudi. Rasa tidak suka mendominasi pikirannya.

"Mobilnya kenapa?" tanya Rudi.

"Ini.. Bannya kempes," jawab Lintang datar

"Ohhh.. Sini mana, mas bantuin ganti ban," tawar Rudi. Lintang tak punya pilihan, ia juga tak mungkin mengganti bannya sendiri. Dengan terpaksa Linrang menyerahkan kunci mobilnya dan membiarkan laki-laki itu mengganti bannya.

Lintang duduk menjauh beberapa depa dari Rudi. Laki-laki itu mengganti ban dengan cekatan, tangan kekarnya nampak sudah terlatih.

Lintang bergidik mrmbayangkan bagaimana tangan kekar itu pernah mencoba menjamahnya, untung Lintang berhasil melarikan diri. Entah kekuatan apa yang membawanya kabur waktu itu..

Tiba-tiba Lintang teringat pada sosok misterius yang dulu selalu membantunya, sosok yang pernah hadir sebagai malaikat penolong saat dirinya hampir jadi bulan-bulanan Rudi, sosok makhluk astral yang sekilas mirip dengan Remund...

Ahhh.., tapi makhluk astral itu tak pernah muncul lagi, entah.., tiba-tiba Lintang merindukan sosok tampan si makhluk astral.

"Sudah selesai, Sayang." Rudi membuyarkan lamunan Lintang.

"Ehhh.. Iya," ujar Lintang tergagap.

"Nah, ketahuan lagi ngelamun, ya," goda Rudi genit.

"Terima kasih, Mas," ucap Lintang mengalihkan perhatian,

"Ngobrol dulu, yuk! Mas Kangen," ajak Rudi. Sebenarnya Lintang ingin segera berlalu dari hadapan laki-laki itu, tapi rasanya nggak sopan jika berlalu begitu saja.

Rudi memesan dua botol minuman dan menyerah kan pada Lintang. Lalu mengambil tempat duduk di sebelahnya. Lintang bergeser waspada, bagaimanapun ia masih trauma.

"Mas minta maaf ya atas kejadian waktu itu." Rudi membuka percakapan. Lintang hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Mas sudah khilaf, dan Mas benci diri sendiri karena sudah sembrono, hingga menyakiti perasaan kamu."

"Mau kan memaafkan Mas?"

Sekali lagi Lintang hanya mengangguk, memainkan sedotan dalam botol minumannya.

"Kamu makin cantik berhijab, bikin Mas makin jatuh cinta," ujar Rudi lagi.

Isshhh... Lintang mulai jengah, rasanya ia ingin menampar laki-laki di sebelahnya, baru saja minta maaf tapi sudah ngawur lagi ngomongnya.

"Lintang.." Rudi menyentuh tangan Lintang lembut. Lintang segera menarik tangannya.

"Maaf,"

Lintang mendengus, 'Allah.. Apa lagi ini..' batin Lintang. Entah, selembut apapun yang dilakukan Rudi, intuisi Lintang selalu mengisyaratkan sesuatu yang buruk tentang laki-laki itu, meski Lintang berusaha menepisnya.

"Mas sangat mencintai kamu, maukah kamu menjadi istri Mas?" lembut laki-laki itu mengutarakan maksudnya, seolah takut menyakiti perasaan Lintang lagi.

Lintang terpana, tak menyangka Rudi akan mengucapkan itu, tiba-tiba pikiran Lintang melayang pada pembicaraannya dengan Gischa dan Sitha. 'Apakah Rudi yang mereka maksud? Ah.., tidak..., tidak mungkin Rudi, bukankah Sitha juga tidak menyukai Rudi sejak kejadian malam itu? Lalu.., apakah ini cuma kebetulan Rudi mengungkapkan niatnya? Tapi kenapa waktunya bersamaan?' Lintang bersenandika.

"Bagaimana Lintang?" Rudi kembali bertanya setelah beberapa saat menunggu reaksi Lintang.

"Kok diam? Apakah itu artinya bersedia?"

Lintang tergagap, salah tingkah, bagaimana harus menjawab...  Bagaimanapun baik niat Rudi, hati Lintang tak pernah bisa menerimanya, meski Lintang tahu itu salah? Suudzon adalah dosa, tapi hatinya tak bisa berbohong.. Dan urusan hati tak bisa dipaksa.

"Maaf, saya belum bisa, Mas..," Lintang menunduk tak bernyali menatap Rudi.

"Kenapa?"

"Padahal Mas sangat mencintai kamu, dan Mas janji akan bikin kamu bahagia."

"Maaf, saya memang belum bisa," elak Lintang hati-hati, takut kalimatnya melukai laki-laki itu.

"Tapi tolong pertimbangkan, Mas serius ingin menikah denganmu, sekaligus sebagai bentuk penyesalan atas khilaf waktu itu." pinta Rudi.

"Eh..., iya..." Lintang tergagap menjawab, sejujurnya ia ingin sekali lari dari tempat ini, menyudahi pembicaraan yang penuh omong kosong ini.

Rudi menarik napas panjang, nampaknya ia paham tak bisa memaksa, ia hanya bisa berharap Lintang mau membuka hatinya sedikit saja untuknya.

"Hmm..., maaf saya harus pamit, ada urusan yang harus saya selesaikan," Lintang mencari alasan untuk bisa pergi dari hadapan Rudi.

"Baik, tapi tolong pertimbangkan yang tadi, ya.." sekali lagi Rudi meminta. Lintang hanya mengangguk, tersenyum tipis dan melangkah menuju mobilnya.

Lintang bergegas memacu mobilnya, dari kaca spion Lintang sempat melirik Rudi yang melambaikan tangan.

Lintang ingin segera menemui Sitha, meminta penjelasan apa maksud semua ini. Tapi benarkah Sitha terlibat dalam kejadian barusan? Jangan-jangan Sitha malah tidak tahu apa-apa, lalu kenapa tiba-tiba Rudi muncul dan mengungkapkan keinginan untuk menikahinya? Apakah laki-laki yang dimaksud Sitha adalah Rudi? Jika bukan lalu siapa? Dan skenario apa sebenarnya yang disiapkan kedua sahabatnya? Lintang menyugar kasar, ingin tahu jawabannya segera.

Menuju perjalanan ke rumah, Lintang mampir ke rumah Sitha, ia yakin Gischa juga ada di sana saat siang seperti ini. Dugaan Lintang tepat, kedua sahabatnya itu segera keluar menyambutnya begitu Lintang selesai memarkir mobilnya.

"Assalamualaikum," salam Lintang, berusaha  tersenyum, ia ingin sahabatnya mengira hatinya mulai riang. Gischa dan Sitha saling berpandangan, bahagia melihat senyum  di sudut bibir Lintang kembali melengkung sempurna.

"Wa'alaikumussalam," jawab Sitha dan Gischa serempak.

"Dari mana nih siang-siang panas gini?" tanya Sitha, sambil menyerahkan segelas jus jeruk.

"Tadi habis dari Bank," jawab Lintang.

"Tahu aja kalau aku harus," Lintang meneguk minumannya lahap.

"Ihhh..., haus atau rakus," goda Gischa.

"Dua-duanya," Lintang tersenyum kecut.

"Ada yang ingin aku sampaikan pada kalian."
Sitha dan Gischa saling mengedipkan mata, harap cemas sekaligus penasaran menerpa.

"Hmmm baiklah, aku setuju bertemu  dengan laki-laki itu."

Sontak Gischa dan Sitha bersyukur, bahagia mendengarnya.

"Beneran yang kamu katakan?" tanya Sitha meyakinkan.

"Insyaa Allah," jawab Lintang

"Apakah kau tidak ingin tahu siapa namanya?" tanya Gischa tak bisa menahan rasa penasaran.

"Aku ingin bertemu dan bertanya langsung padanya nanti." Lintang tersenyum, menggeleng, dan memilih diam, menunggu saat yang tepat untuk mengetahui semuanya.

"Insyaa Allah, dia akan menjadi suami yang baik untukmu, percayalah!" Sitha menggenggam tangan Lintang erat, meyakinkan esok akan hadir bahagia yang menghapus semua sedih di hati Lintang.

*

Sabtu malam Sitha menganjak Lintang berlibur ke sebuah Villa di kawasan puncak,  katanya kejutan. Bahkan Sitha sejak sore begitu hebohnya menyiapkan satu stel gamis berwarna kuning gading dengan jilbab senada. Merias wajah Lintang secantik mungkin.

Hati Lintang berdegup kencang, kejutan apa yang disiapkan Sitha. 'Katanya akan bertemu seseorang. Siapa? Rudi? Oh.., tidak.., jangan semoga bukan dia.' Lintang terus berperang dengan pikirannya sendiri.

Mobil yang mereka tumpangi memasuki
sebuah villa dengan panorama indah membentang di sekelilingnya.

Lintang merasakan darahnya mengalir berdesir-desir, hatinya mendadak riuh, jantungnya melonjak-lonjak berdegup  kencang riuh gemuruh bak genderang perang. Lintang tahu tempat ini tempat yang mahal, pun istimewa, ia mengenal tempat ini, tak sadar ia menggeleng, menepis kenangan. Ini tidak mungkin.

Seorang pramusajj menyambut mereka, memberi salam dan
sapa dengan keramahan luar biasa. Mereka diantar langsung menuju halaman belakang Villa dengan kolam renang bernaungkan langit malam. Di hadapannya tepat  terhampar pegunungan dengan kelap kelip lampu sepanjang lereng, melingkar seperti kalung dengan untaian berlian nan indah.

Berbagai menu makanan berdatangan, terhidang di atas meja. Makanan ini mengingatkan pada seseorang,  hati Lintang berdesir, sekali lagi, tidak mungkin.

"Apakah ada tambahan menu yang akan dipesan?" tanya pramusaji tersenyum.

"Hmmm sepertinya tidak, Ini sudah lebih dari cukup." Sitha menjawab  

Tiba-tiba mata Lintang tertuju pada sosok yang baru datang, Lintang mengernyit kening. Perasaannya semakin tak keruan, ada apa ini sebenarnya? Anggie, Chelsea dan Bobby juga didatangkan, Gischa dan Anan, semua dikumpulkan dalam sebuah jamuan makan
malam besar, dengan formasi lengkap.

Lintang mengerjapkan mata berulang kali ketika matanya menatap sosok seorang laki-laki yang berdiri di dekat kolam renang.

"Rudi," desisnya lirih

'Mau apa dia di sana? Apakah kejutan itu Rudi?  Ah.., semoga bukan. Tapi jika bukan Rudi lalu siapa? Bagaimana jika benar-benar Rudi? Ah.. semoga jangan..' Lintang berdebat dengan hatinya, rasanya saat itu ia ingin berlari meninggalkan tempat, tak sanggup membayangkan jika kejutan yang dimaksud benar-benar Rudi.

Lintang hendak berdiri, ketika sekonyong-konyong indra penciumannya mendeteksi harum maskulin yang begitu ia kenal. Harum yang mengingatkan pada masa lalu dari arah belakang tempat duduknya. Lintang mengejang, meremas tisu dalam genggaman tangannya yang bergetar, kedua matanya terpejam. Tanpa sadar Lintang
menghirup dalam-dalam hingga memenuhi paru-paru. Harum itu.. Lintang ingin sekali menoleh ke belakang, tapi ia takut tidak siap menerima kejutan lainnya.

"Assalamualaikum, selamat malam semuanya." Suara bariton itu menggema, membuat Lintang benar-benar bergetar, inikah kejutan yang dinanti? Ah pasti bukan..

Laki-laki itu memberi salam, menyapa satu demi satu, dan menjabat tangan mas Anan, mas Bram, juga Rudi, lalu berhenti tepat di sebelah Lintang

"Apa kabar honey."

Panggilan itu tak berubah, membuat Lintang mendadak pucat pasi, menunduk semakin dalam. Jangankan membalas sapaannya menoleh pun ia tak sanggup.

Lintang seperti membeku, mendadak napasnya sesak, menyembunyikan  gemuruh hatinya agar tak terdengar keluar.

"Aku baik" Suara Lintang terdengar seperti tercekik, gugup.

Laki-laki itu tersenyum, tak lama kemudian nampak dua pemuda gagah bergabung dengan mereka, Lintang mengenal keduanya dengan baik, bahkan pernah akrab pada waktu itu. Roy dan Rey, tersenyum melambai padanya.

"Kenalkan ini kedua anakku, Roy dan Rey, mereka berdua kembar." kata laki-laki itu.

'Kenapa cuma Roy dan Rey? Lalu di mana istrinya?' Lintang membatin, tapi seandainya istrinya hadir juga justru Lintang sangat tidak ingin bertemu. Sebersit cemburu menyusup tiba-tiba.

Lalu, semua yang hadir saling bersalaman, dan bergantian menyebutkan nama. Lalu mereka mengelilingi meja makan dan mulai menyantap hidangan yang disediakan.

Lintang beberapa kali mencuri pandang ke arah laki-laki itu, tapi setiap kali laki-laki itu balas mencuri pandang, Lintang cepat menunduk dengan pipi bersemu merah.

Setelah makan, laki-laki itu meminta pramusaji membereskan meja dan memesan menu penutup.

"Sekarang saatnya kejutan." Mas Bram berdiri mengambil alih acara.

"Sebenarnya atas tujuan mengadakan jamuan makan malam yang mewah ini? Kejutan apa yang hendak kau tunjukkan?" tanya Mas Bram tersenyum-senyuman pada laki-laki itu.

Lintang menoleh pada Sitha, mencari jawaban, tapi perempuan malah membuang muka, seolah menggoda Lintang. Tak luput, dada Lintang terus bergemuruh.

Laki-laki itu berdiri, menuju ke tempat Lintang duduk dan  menatapnya lekat, pandangan mereka bertemu untuk beberapa saat, Lintang  menunduk merasakan hangat menjalar di wajahnya yang pucat. Takut rasa yang telah lama dimatikan paksa itu bangkit kembali.

Lalu lelaki itu
menghampiri Lintang,  dan berlutut tepat di depan Lintang. Seperti ada yang memberi aba-, aba, cahaya lampu tiba-tiba padam, digantikan dengan ratusan lilin yang dinyalakan secara bersamaan. Gesekan  biola dan piano berpadu mengalun merdu, membuat suasana mendadak syahdu.

Lintang memejamkan mata, hanya ia dan laki-laki itu yang tahu, paduan piano dan biola  kesukaannya, darahnya terus berdesir. Lintang serasa hampir pingsan tak sanggup menahan gejolak yang menghentak-hentak tak mau berhenti. Laki-laki itu merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah kotak beledu merah. Membukanya hati-hati, nampak sebentuk cincin bertahta berlian bening berkilat-kilat terkena cahaya lilin.

"Lintang, maukah kamu menikah denganku? Menjalani sisa usia bersamaku, menua bersamaku?"

Hening beberapa saat. Lintang menutup mulut dengan kedua telapak tangannya, bibirnya bergetar tak mampu berkata apa-apa. Sementara kedua matanya berkaca-kaca, siap meluncurkan buliran bening dari palungnya.

Lintang terdiam, jantungnya semakin berdebar kencang. Segera ditepisnya semua rasanya yang hadir tanpa permisi. Bagaimana mungkin menikah dengan laki-laki yang Lintang tahu ia sudah beristri meski ia pernah teramat sangat mencintainya?

"Bagaimana, Lintang? Maukah kamu menjadi istri seorang Sultan Muhammad Al Fatih?"

Lintang mendesah resah, "Bukankah Abang sudah berisitri? Dan aku sudah mengatakan tak mau mengusik rumah tangga Abang lagi?"

"Kami sudah berakhir" sahut Sultan cepat.

"Maksudnya?"

"Kami, aku dan Aini sudah bercerai."

"Tidak mungkin, pernikahan kalian nyaris sempurna."

"Kenyataannya itulah yang terjadi. Aku dan Aini tak pernah menemukan kecocokan meski aku sudah berusaha menjadi suami yang baik buatnya. Sejak peristiwa malam itu, aku sadar, aku tak mungkin mengejarmu lagi, aku berusaha mencintai Aini dengan tulus."

Sultan menghentikan kalimatnya, lalu menunduk.

"Tapi Aini berselingkuh dengan temanku sendiri."

"Lintang, aku sudah tahu semua tentangmu, tentang kecelakaan yang menimpamu dan semua yang terjadi pada dirimu. Aku ingin menemanimu melewati masa-masa sulitmu dan membuka lembaran hidup yang baru bersamamu."

"Dari mana Abang tahu semuanya?"

"Beruntunglah kamu punya sahabat seperti mereka," Sultan menunjuk pada Sitha dan Gischa. Lintang menghela napas, ternyata inilah rahasia yang selama ini menjadi kejutan untuknya.

"Jangan kau tanya kenapa aku masih tetap mencintaimu, karena rasa itu tak pernah sedikitpun beranjak dari hatiku. Dan sampai saat ini aku tidak menemukan kata-kata yang bisa mewakilinya."

Lintang membeku, bukannya tak mau, karena sesungguhnya  benih-benih cinta yang dulu dimatikan secara paksa mulai menggeliat, mendesak keluar dari rongga dada. Namun, Lintang takut untuk bermimpi  terlalu berlebihan. Cerita lama perjalanan cintanya dengan Sultan masih meninggalkan bekas luka.

"Tunggu." Lintang menoleh pada Sitha.

"Bagaimana kalian bisa mengatur semua ini dan merahasiakan padaku?"

"Lintang, jika memang sudah jodoh, pasti akan selalu ada jalan untuk menautkan cinta. Tak peduli sebesar apa rintangannya." kilah Sitha.

"Tak penting bagaimana proses yang mempertemukan kalian, yang penting saat ini Sultan butuh jawabanmu."
 
Lintang menatap laki-laki yang masih berlutut di hadapannya, matanya tak sengaja bertemu dengan sepasang mata laki-laki itu, hatinya tak bisa bohong, mata itu masih sama seperti dulu, teduh membuat Lintang ingin berenang di dalamnya.

Lintang menghela napas, sekilas ia melihat dua pemuda gagah tengah memperhatikannya dengan tatap penuh harap. Lintang mengumpulkan keberanian dan niatnya. 'Mungkin inilah saatnya,'

"Bismillah," ucapnya lirih

"Aku bersedia." pelahan tangannya terjulur menerima kotak dengan beledu merah, lalu menyematkan cincin di jari manisnya.

"Terima kasih, Honey," ucap Sultan penuh syukur, wajahnya berbinar penuh rona bahagia.

"Alhamdulillah," teriak suka cita dan syukur sontak bergema, lalu, satu per satu, mereka memberi selamat pada Lintang dan Sultan. Kerlip bintang di langitpun turut bahagia, sebahagia Lintang yang berkelip dalam untaian syukur.

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun