Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Menafsir Para Penafsir Jokowi dan Tafsirnya di Kompasiana

29 Januari 2015   20:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:08 638 23


Jokowi dulu, kini, dan nanti tetaplah menjadi pusat dari segala debat atau polemik politik nasional, di dunia nyata ataupun di dunia maya. Polemik kisruh KPK versus Polri yang terjadi sekarang juga begitu. Benang merah yang mengikat semua polemik itu, jika ditarik, tak pelak berujung pada sosok Jokowi selaku Presiden RI.

Hal itu berlaku untuk semua artikel terkait kisruh KPK versus Polri yang tertayang di Kompasiana. Sudut pandang boleh beda, aspek telaah boleh beda, genre tulis boleh beda, gaya bahasa boleh beda, tapi “sasaran tembak” tetap sama: Presiden Jokowi.

Dalam pembacaan saya, semua artikel itu sesungguhnya adalah tafsir penulis tentang Jokowi. Sebuah tafsir, bagaimanapun, pastilah sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengalaman subyektif dan pengetahuan obyektif sang penafsir. Variasinya pastilah sangat luas antara satu dan lain penafsir sehingga secara sepintas, terbaca tafsir-tafsir Jokowi yang sungguh variatif.

Saya tak hendak menilai benar atau tidaknya tafsir-tafsir tersebut, tapi tertarik untuk menafsir bagaimana para penafsir itu telah menafsir Jokowi sejauh ini, seturut artikel-artikel yang saya baca di Kompasiana.

Scott: Public and Hidden Transcripts



Saya perlu berterima kasih pada Kompasianer Nararya yang telah menerapkan “teori substantif” J. Scott, yakni tipe ideal (a’la Weberian) “public transcript” (makna yang terbaca pada perkataan dan/atau tindakan langsung) dan “hidden transcript” (makna terselubung), untuk menafsir tindakan sosial (politik) Jokowi.

Tipe ideal itu tidak saja relevan untuk keperluan menafsir tindakan sosial Jokowi, tapi juga untuk keperluan kategorisasi penafsir berikut artikel-artikel mereka. Secara garis besar para penafsir itu ternyata bisa digolongkan ke dalam dua tipe tersebut: “public transcript oriented”(PTO) dan “hidden transcript oriented” (HTO).

Hasilnya, ketika diterapkan pada artikel-artikel itu sungguh menarik: penafsir PTO ternyata cenderung “kontra” pada tindakan Jokowi. Kesimpulannya: Jokowi tidak tegas, takut pada Ketua Partai, tidak pro-rakyat, tidak mendukung pemberantasan korupsi, dan lain-lain yang senada dengan itu.

Sedangkan penafsir HTO cenderung “pro” pada tindakan Jokowi. Kesimpulannya: Jokowi hanya bertindak hati-hati, menjaga wibawa semua pihak atau lembaga pemerintahan, tidak ingin membakar konflik lebih luas, tidak memihak, dan lain-lain yang sejenis.

Tentu ada saja penafsir yang sekaligus PTO dan HTO, misalnya Nararya. Tapi Nararya, kalau artikel-artikelnya dibaca cermat, cenderung tampil sebagai penafsir HTO.

Baik tafsir PTO maupun HTO semuanya sah-sah saja dan, bagi saya, dalam hakekatnya sebagai informasi semuanya punya nilai yang sama. Bagi saya, semua artikel tafsir itu adalah wujud perayaan kemerdekaan berpikir yang difasilitasi oleh Kompasiana, dan itu harus disyukuri. Semua Kompasianer bebas menulis tafsir, tanpa perlu harus takut salah.  Lagi pula, Admin Pepih Nugraha sudah memberi jaminan “imunitas”, “Salah benarnya analisa, urusan belakangan.” (Ini jaminan yang saya tak bisa setujui terkait alasan aksiologis: untuk maksud apa menulis?).

Tapi, saya ingin tekankan di sini, baik penafsir PTO maupun HTO perlu untuk memperhatikan aspek motif sosial dalam sebuah tindakan sosial, yang hanya bisa dijelaskan subyek yang bertindak itu secara subyektif. Maka terkait semua tindakan Jokowi yang teramati di ruang publik (“public transcript’), harus dicari penjelasannya pada motif sosial subyektif yang hanya diketahui Jokowi seorang, setidaknya untuk saat ini. Dengan demikian, sambil tetap berbesar hati, harus saya katakan bahwa para penafsir Jokowi sangat mungkin harus menafsir ulang nanti, begitu Jokowi melakukan “tindakan final” (keputusan politik final) terkait kisruh KPK versus Polri ini.

Tidak hanya penafsir PTO, tapi juga penafsir HTO sangat mungkin harus melakukan tafsir-ulang nantinya. Mengapa? Karena, kalau membaca karya-karya Scott, apa yang disebut sebagai “hidden transcript” itu sebenarnya adalah bentuk-bentuk perlawanan (resistensi) sosial terhadap kekuasaan yang lebih tinggi/besar yang bersifat represif.

Jika konsep itu dikenakan pada Jokowi, maka timbul dua pertanyaan yang harus dijawab dulu secara tegas. Pertama, kekuasaan manakah yang lebih tinggi dan bersifat represif terhadap kekuasaan presiden (Jokowi)? (Apakah, misalnya, kekuasaan partai pengusung?).

Kedua, manakah dari berbagai tindakan sosial Jokowi yang dapat dikategorikan sebagai “hidden transcript”? Dalam analisis Scott tentang petani di Semenanjung Malaysia misalnya, sangat jelas bahwa tindakan “mencuri” gabah di sawah (yang mereka sebut sebagai “zakat yang diambil sendiri”) adalah bentuk empirik “hidden transcript”, bentuk perlawanan terhadap kesewenangan pemilik tanah.

Geertz: Thick Description



Intinya, “hidden transcript” Jokowi memerlukan studi yang lebih mendalam dari sekadar interpretasi yang sifatnya hipotetik atau asumtif. Memang ada penafsir yang mencoba merujuk pada filosofi atau nilai budaya Jawa untuk memahami tindakan Jokowi, tapi itu tidak cukup. Hanya jika sebuah “thick description” ala Clifford Geertz dilakukan terhadap tindakan sosial Jokowi, maka barulah bisa terbuka dengan cukup logis makna-makna “public and hidden transcripts” dari tindakan Jokowi itu.

Dengan "thick description" yang dimaksudkan adalah "menyatakan sesuatu yang tak teramati dari sesuatu yang teramati". Misalnya, mengambil contoh dari karya Geertz sendiri: melalui sabung ayam di Bali orang Bali sedang menyatakan ambisi-ambisinya, kekerasannya, kesadisannya, konflik-konfliknya, dan persaingan-persaingannya.

Dan saat memasuki “thick description” semacam itu, maka konteks politik nasional kini harus diperhitungkan sebagai ajangnya. Di sini, saya kira, para penafsir itu lalai menjelaskan konteks politik kita kini. Saya memahami konteks struktural politik nasional kita kini adalah struktur politik klientelisme yang cenderung involutif.  Di dalamnyalah  Jokowi bermain dan tafsir atas tindakan politisnya  jelas akan sangat rumit.

Tapi, agar tidak memusingkan, saya tidak hendak masuk dulu pada penjelasan  konteks struktural “politik klientelisme” itu. Sebab sampai pada titik ini saja, saya sendiri sudah cukup pusing dengan apa yang telah saya sampaikan di atas. Nanti kalau pusingnya sudah reda, saya akan kembali lagi.(*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun