Kemudian setelah saya banyak mengalami dan melihat hal seperti ini, dan tentu saja sudah tidak menjadi hal yang tabu dimasyarakat, terbersit sebuah pertanyaan, mengapa kami selalu merasa jadi yang terbaik dan terabsolute? Agama A berpendapat mereka yang terbaik dan yang paling benar, begitu juga Agama B, tetapi tentu saja harus dibatasi dengan nilai dan norma yang hadir dimasyarakat. Selama satu kelompok (agama) tidak merugikan secara materil kepada kelompok (agama) lain, itu tidak sepatutnya menjadi masalah. Makin banyak kasus penodaan / penistaan agama yang marak menjadi sorotan di Indonesia, contohnya kasus Sukmawati, Ge Pamungkas, Joshua Suherman, dan Basuki Tjahya Purnama (Ahok). Nama nama tadi adalah beberapa tokoh yang pernah menjadi sorotan karena dianggap menistakan / penodaan agama. Mereka (oknum yang melaporkan) merasa agama dan kepercayaan nya telah dinodai, tetapi disisi lain, mereka juga yang mencap bahwa agama lain adalah sesat dan diberi sebutan 'kafir'. Jikalau peraturan ini harus tetap ada, seharusnya lebih banyak orang yang ternodai karena dianggap 'kafir' dan juga 'domba yang tersesat'. Belum lagi marak kasus baru mulai muncul kepermukaan, yaitu penodaan agama berkedok sains. Sehingga memenjarakan penelitian penelitian para ilmuan yang justru sebenarnya tidak ada dasar pemikiran untuk menistakan agama atau golongan tertentu. Peraturan peraturan inilah yang seharusnya ditiadakan. Karena terlalu karet dan bersifat subjektif.
"Kerajaan tuhan tidak akan pernah runtuh, bahkan disaat semua orang memakinya."
-Pidi Baiq-