Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Islam Indonesia: Upaya Pencarian Karakter

12 April 2013   16:37 Diperbarui: 1 Juni 2020   00:38 1368 1
Oleh : Aly Taufiq Sejak awalmula masuk ke Indonesia hingga masa kolonial Belanda, Islam di Indonesia masih terkonsentrasi pada penyebaran agama, belum menampakkan perdebatan aliran dan sekte. Ajaran yang disebarkan juga masih sangat sederhana, menyangkut Tauhid dan Fiqih. Islam datang ke Indonesia melalui jalan damai, tak ada darah menetes. Para penyebar agama yang Hanif ini berhasil merasuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat dan melebur menjadi satu, tanpa menggusur dan mengeliminasi budaya lokal. Dalam proses penyebarannya di Indonesia, ajaran Islam bersinggungan dengan budaya masyarakat lokal. Lambat laun, ajaran Islam berakulturasi dengan budaya lokal, kemudian melahirkan corak Islam Indonesia yang khas dan unik. Ciri khas Islam pada saat itulah yang disinyalir sebagai Islam Indonesia, berbeda dengan Islam di negara manapun di dunia Akulturasi tersebut melahirkan sebuah karakter Islam yang begitu toleran, lembut dan peduli terhadap lokalitas budaya. Tradisi dan keyakinan masyarakat Indonesia tak serta merta ditentang dan dicela, namun sedikit demi sedikit diluruskan dan disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini nampak sekali dilihat dari strategi penyebaran agama Islam oleh Wali Songo, mereka bisa menanamkan nilai keislaman pada setiap budaya yang sudah ada. Namun pada melinium ke tiga ini, berbagai ideologi dan gerakan Islam Transnasional masuk ke Indonesia. Gerakan yang diimpor dari luar ini membawa ide purifikasi dan pemurnian Islam dari praktik-praktik –yang mereka anggab sebagai-- bid’ah. Akibatnya, muslim Indonesia mengalami kebingungan dan krisis identitas. Karakter Islam Indonesia yang belum terbentuk sempurna kini terpengaruh oleh ideologi impor. Islam Indonesia menjadi “abu-abu”. Untuk itu, mencari kembali Islam Indonesia menjadi hal yang sangat mendesak karena dua alasan. Pertama, mencari tradisi (turats) Islam Indonesia. Pencarian ini sangatlah perlu sebagai titik pijak menuju pengembangan intelektual Islam di Indonesia. Intelektual Islam di Indonesia ibaratkan sebuah bangunan yang tinggi, sedangkan tradisi Islam Indonesia adalah anak pondasi, ia digunakan sebagai tumpuan guna menopang bangunan. Satu generasi tidak akan mampu melakukan pembaharuan mulai dari nol, melainkan harus bersedia mengadopsi kekeyaan tradisi lama. Dengan demikian, tradisi Islam Indonesia harus dirumuskan dan dihargai, sekaligus dihadapi dengan kritis agar kita menjadi kreatif. Kedua, menemukan strategi perjuangan Islam yang tepat di Indonesia. Di kalangan Muslim Indonesia, terdapat perbedaan strategi dalam perjuangan Islam, sebagian kelompok berpendapat bahwa perjuangan Islam di Indonesia harus melalui formalisasi dan jalur resmi negara, sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa perjuangan Islam sebaiknya dilakukan melalui jalur kultural. Untuk mengetahui jalur mana yang lebih efektif, maka sangat perlu menggali kembali Islam Indonesia, sehingga strategi perjuangan Islam masa kini benar-benar sesuai dengan karakter ke Indonesiaan. Islam Indonesia Dalam Perspektif Historis Memahami corak Islam Indonesia, dapat ditelusuri dari awal mula masuknya Islam di Indonesia dan para tokoh berpengaruh yang turut menyebarkan Islam. Pada awal perkembangannya di Nusantara, Islam dinilai natural serta belum bersinggungan dengan berbagai kepentingan dan ideologi. Ia menyebar ke Indonesia dengan gaya naturalnya, tanpa ada upaya untuk membentuk Islam Indonesia seperti Islam di negara lain. Menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok, yaitu: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya. Hingga saat ini, pembahasan ketiga masalah pokok tersebut memang belum tuntas. Hal tersebut, menurut Azzumardi Azra, tidak hanya karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terkait tempat asal kedatangan Islam ke Indonesia, terdapat tiga teori yang berbeda. Pertama, asal muasal Islam di Nusantara adalah Anak Benua India. Teori yang dikembangkan oleh Pijnappel ini berargumen bahwa terdapat orang-orang Arab bermadzab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Kedua, teori yang mengatakan asal muasal Islam di Nusantara adalah dari Gujarat. Moquette, seorang sarjana Belanda, mendasarkan kesimpulan teori ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai yang sangat mirip dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat. Ketiga, teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari Arabia. Sedangkan menyangkut waktu kedatangan Islam ke Nusantara, terdapat tiga pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke 7. Sedangkan pendapat ke dua mengatakan Islam masuk ke Nusantara Abad ke 12, dan pendapat ke tiga mengatakan pada Abad ke 13.Meskipun terdapat berbagai macam perbedaan pendapat, namun tak ada perselisihan mengenai cara masuknya Islam ke Indonesia. Para ahli sejarah sepakat, Islam masuk dan menyebar ke seluruh penjuru Indonesia tanpa didahului penaklukan fisik dan pertumpahan darah. Penaklukan fisik di tanah Jawa pernah terjadi saat kerajaan Demak menaklukan Majapahit, namun hal itu justeru dilakukan paling akhir, saat Islam telah cukup merata menyebar. Satu hal lagi yang dapat dipastikan, bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Arab dan Parsi, yang diantara mereka ada yang menetap lama di pelabuhan dan menikahi wanita-wanita setempat, lambat laun dapat mengislamkan penduduk pribumi. Peranan sufi dalam penyebaran agama Islam juga sangat besar karena merekalah yang dapat mengajarkan Islam kepada masyarakat Indonesia dengan cara yang lebih mudah dan dengan pendekatan budaya yang juga mudah diterima. Di tanah Jawa, Wali Songo (wali sembilan) adalah salah satu pioner yang sangat mendepankan dialog sebagai bahasa utama dalam penyebaran agama Islam. Wali songo juga mengetengahkan dialektika antara Islam dan Jawa yang terbukti menjadi strategi jitu. Mayoritas masyarakat Jawa yang saat itu didominasi oleh kepercayaan Hindu dan Budha berangsur-angsur menjadi muslim, dan uniknya masyarakat Jawa tak pernah merasa terpaksa atau merasa kehilangan budaya yang dulunya mereka pegang erat-erat.   Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo, menggunakan berbagai media untuk berdakwah, yang paling masyhur adalah wayang dan gamelan. Meskipun nama tokoh yang digunakan menggunakan cerita sejarah kepahlawanan Budha-Hindu, Mahabarata dan Ramayana, namun terbukti Sunan Kalijaga mampu mengkolaborasikan dengan ajaran Islam sehingga menjadi nilai dakwah tersendiri. Peyebaran Islam dengan model komunikasi dialog semacam ini barangkali sangat berbeda dengan di wilayah lain yang umumnya didahului penaklukan fisik. Gambaran di atas menjadi cukup bukti bahwa penyebaran Islam di Indonesia diawali dengan internalisasi kultural. Ini bukan berarti bahwa Islam Indonesia lebih baik dibanding dengan Islam di negara lain, akan tetapi semata-mata hanya persoalan karakter masyarakat Indonesia yang kemudian mewarnai cara beragama bangsa Indonesia. Kesadaran tentang keragaman dan sikap anti kekerasan telah “mendarah daging” dalam diri masyarakat Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam Indonesia pada awalnya mempunyai karakter : pertama, terbuka dengan hal baru serta toleransi terhadap perbedaan. Kedua, mengedepankan bahasa dialog. Ketiga, disebarkan melalui internalisasi kultural. Keempat, penyebarannya tanpa didahului penaklukan fisik. Islam Indonesia : Infiltrasi Gerakan Islam Transnasional  Di tengah proses pencarian identitasnya yang belum usai, pada abad modern ini, Islam Indonesia didatangi gerakan Islam Transnasional. Mereka membawa ideologi baru yang sangat berbeda dengan karakter masyarakat Indonesia. Pada dekade 1970, umat Islam Indonesia kesulitan keuangan untuk membiayai studi mahasiswa belajar ke luar negeri, Wahabi menyediakan dana besar melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) untuk membiayai mahasiswa belajar ke beberapa Negara di Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Belakangan, alumni program beasiswa ini menjadi agen penyebaran Transnasional dari Timur Tengah ke Indonesia. Tidak hanya di situ, DDII kemudian juga mendirikan lembaga pendidikan di Indonesia yang kebanyakan alumninya memainkan peran sebagai agen Wahabi di Indonesia. Kemudian mendekati tumbangnya Orde Baru, Indonesia menyaksikan begitu banyak kelompok-kelompok Islam garis keras yang tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Beberapa kelompok tersebut di antaranya Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Laskar Jihad, jama’ah Islamiah, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Persiapan Penerapan Syari’ah Islam (KPPSI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hingga saat ini, gerakan-gerakan tersebut sudah menyebar ke seluruh tubuh bangsa, mereka masuk dari istana Negara hingga ke pegunungan. Gerakan mereka sangat sistematis, terancana dan dengan dukungan dana yang luar biasa. Gerakan ini, menurut Abdurrahman Wahid berusaha meminggirkan bentuk-bentuk pengalaman toleran yang telah lama menjadi karakter Islam Indonesia. Kelompok Islam transnasional ini tak jarang menganggap muslim lain yang berbeda dari mereka sebagai kurang islami. Sehingga mereka berupaya menguasai masjid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah dan ormas-ormas –seperti Nu dan muhammadiyah—untuk mengubahnya sesuai dengan ideologi mereka. Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa agenda kelompok-kelompok Islam tersebut adalah untuk meraih kekuasaan politik melalui formalisasi agama. Mereka mengklaim jika Islam menjadi dasar Negara dengan menggantikan pancasila, jika syari’ah dijadikan sebagai hukum positif, jika khilafah Islamiyah ditegakkan, maka semua problema yang dihadapi bangsa Indonesia akan selesai. Munculnya beragam gerakan Islam yang diimpor tersebut turut serta mengaburkan Identitas Islam Indonesia. Mereka telah membuat “kegaduhan” karakter Islam Indonesia yang mulai menemui titiktemu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun