Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Innocence of Muslim: Pembangunan Intoleransi Ala Amerika

14 September 2012   02:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:29 562 6
Kita semua mengerti bahwa negara Paman Sam adalah negara maju, sehingga sering sekali negara itu dijadikan rujukan dalam segala penilaian. Pemerintah Amerika adalah pemerintah yang paling radikal gerakannya ketika berhubungan dengan kepentingan politiknya.

Hak asasi dan demokrasi adalah dua pilar yang terus digaungkan oleh mereka, sehingga Amerika tidak pernah memejamkan matanya apabila di belahan dunia ini terjadi konflik, meskipun konflik yang sifatnya sebenarnya hanya bersifat lokal.

Amerika pula yang sering menggaungkan toleransi, hingga mereka harus gatal untuk mencampuri kurikulum pesantren, karena pesantren dicurigai sebagai wahana pembangunan radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Kesenjangan kebijakan Amerika memang antara bumi dan langit. Kita sering membaca komentar dan sanjungan dari orang-orang yang (pernah) tinggal di negeri itu bahwa toleransi di sana sungguh luar biasa. Sikap dewasa, harga menghargai dan tak suka ikut campur urusan orang adalah budaya hidup di sana. Setipa orang memiliki kebebasan untuk menjalankan apapun sepanjang masih dalam koridor aturan negara itu.

Mereka juga sering membuat perbandingan-perbandingan kultur dan budaya. Indonesia yang masih paternalistik seperti ini tentu jauh berbeda dengan kondisi riil di sana. Dengan pendek kata, hidup di Amerika memang laiknya hidup di sorga, karena siapapun akan dijamin untuk mewujutkan impiannya.

Standar Ganda itu

Perlakuan pemerintah Amerika terhadap warganya, yang menjunjung tinggi toleransi dan kebijakan politik luar negerinya yang radikal itu sering membuat kita bingung berpikir. Di lain pihak Amerika memang menjadi penggiat HAM, kebebasan dan demokrasi, namun dipihak lain Amerika sering bersikap kontra produktif, menciptakan kejahatan HAM dan radikalisme global.

Hal itu sudah menjadi pengetahuan kita bersama. Kisah porak porandanya Irak, Libya  beberapa tahun lalu menjadi salah satu bukti inkonsistensi Amerika itu. Belum lagi hancurnya Afganistan dan beberapa negara di Timur Tengah yang berkonflik, kemudian dengan berbagai dalih Amerika masuk dengan mengibarkan bendera HAM dan Demokrasi.

Dari dalam negeri misalnya, peran Amerika dalam pemberantasan terorisme amat kental. Pemerintah dalam hal ini, nampaknya begitu patuh dan taat akan kebijakan-kebijakan Amerika. Belum lagi beberapa ketidakadilan ekonomi yang diimplementasikan di negeri ini yang sering merugikan Indonesia. Freefort adalah salah satu penjajahan ekonomi itu.

Dalam konteks kontroversial film Innocence of Muslim lebih kentara lagi. Pemutaran film yang berbuntut demonstrasi besar-besaran di beberapa negeri yang penduduknya beragama Islam, harusnya disikapi sebagai penggiat HAM dan demokrasi oleh Amerika.

Demonstrasi di beberapa titik di dunia sebetulnya hanyalah reaksi dari sebuah aksi. Dalam masalah ini, Amerika justru bersikap bodoh dan tidak merasa keliru. Penistaan kepercayaan/ keyakinan, kitab suci, dan simbul-simbulnya menurut, keuskupan gereja Katolik Vatikan amat tak pantas dilakukan.  Menurutnya aksi kekerasan itu hanya sebuah konsekuensi dari provokasi yang dihembuskan oleh pembuat film tersebut.

Menanggapi tindakan bodoh itu, mantan menteri luar negeri Israel, Michael Melchior, juga menyesal dan menyebutkan bahwa film itu sebagai produksi murahan dan lebih tepat disebut sampah daripada sebuah karya.

Sikap Obama

Barack Obama yang saat ini masih menjadi presiden tidak menunjukkan kenegarawanan dan pembela HAM dan demokrasi seperti yang selama ini digembar-gemborkannya. Obama justru malah mengomentari soal kerusuhan di Libya, dimana Dubes AS di Benghazi, Libya, John Christpher Stevens dibunuh. Ia tidak memberikan pernyataan atas lolosnya film yang provokatif itu, apalagi meminta maaf kepada dunia.

Obama nampaknya bukan pimpinan yang baik dan tidak jauh dari presiden sebelumnya yang juga pintar membuat bencana. Dia malah bersumpah akan menyeret pelakunya ke pengadilan dan berkeyakinan bahwa kerusuhan itu tidak muncul karena film itu. Menurutnya pembunyuhan itu memang sudah direncanakan dan mencurigai dilakukan oleh kelompok Anshar al-Syariah dan afiliasinya di Afrika Utara.

Mendesain Teroris Baru di atas Islam

Pernyataan Obama tentang kelompok yang menyerang hingga mengakibatkan terbunuhnya Dubesnya, bukan tidak mungkin akan menciptakan kelompok teroris baru yang diciptakan oleh Amerika. Hal ini cepat atau lambat akan membuat kebijakan Amerika semakin radikal menyikapi terbunuhnya Stevens tersebut.

Dan umat muslim harus bersiap-siap lagi menghadapi teror baru ala Amerika. Organisasi-organisasi Islam yang menggunakan term "anshar" bisa jadi akan dikait-kaitkan pada aksi itu.

Beberapa informasi yang saat ini beredar, dan sedang dibangun oleh beberapa kalangan, stigma intoleransi sering diarahkan kepada beberapa tindakan umat mulsim di tanah air ini. Beberapa bentuk pujian tentang kepiawaian Amerika dalam mengelola HAM dan demokrasi sering pula mewarnai media kita. Sehingga sering pula terjadi pengkotak-kotakan tentang klasifikasi muslim di beberapa negara. Selain itu itu wujut ketidakjujuran yang terus berkembang.

Pengkotak-kotakan muslim berdasarkan pola pemahaman sering pula dikuatkan oleh beberapa intelektual muslim sendiri, sehingga hal itu terus menguatkan bahwa memang ada muslim-muslim yang sering di plot oleh orang yang Islamphobia. Islam eksklusif, Islam Inklusif, Islam Moderat, Islam radikal, Islam Fundamentalis, Islam toleran dan Islam intoleran.

Kondisi itu sebetulnya justru malah mempertajam kesenjangan perlakuan terhadap beberapa umat muslim, yang sebaiknya mereka di-silaturahim-kan untuk menciptakan toleransi internal kaum muslim sendiri. Ini tugas kita semua.

Agar lebih komprehensif, baca pula ulasan Pak Prayitno Ramlan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun