Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menakar Relevansi Hari Ibu dalam Kehidupan Kita

21 Desember 2009   23:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:50 311 0

Pagi tadi, ketika banyak orang masih terlelap tidur, Ni’mah sudah bangun. Di kenakannya pakaian dan topi kumalnya. Berbekalsebuah karung plastik lusuhia seperti biasa mulai berkeliling perumahan, mengais dan memungut sampah plastik di sekitar perumahan di perbatasan Jakarta Timur dan Depok. Ni’mah, adalah salah satu dari sekian perempuan yang harus bekerja sebagai pemulung, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Ni’mah tidak sendirian. Jutaan perempuan Indonesia bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak jarang di antara mereka yang menjadi tulang punggung keluarga, tumpuan pendapatan dan pengharapan.

Di kota, pinggiran kota, di desa desa, bahkan di daerah terpencil Indonesia. Ni’mah dan teman teman, rasanya tidaktahu dan tidak peduli, bahwa hari ini adalah Hari Ibu. Ia tidak pernah hadir dalam upacara dan seremoni yang diselenggarakan organisasi perempuan di kantor kantor pemerintah atau perusahaan terkemuka. Ia dan teman temannya tidak ikut lomba berpakaian kebaya serta mendengarkan ceramah tentang hak hak perempuan Indonesia. Tetapi, apakah dengan demikian Ni’mah dan teman temannya bukanlah Ibu, sebagaimana yang dilukis ungkapkan dalam setiap peringatan hari Ibu ?

Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada selama tiga hari mulai 22 Desember 1928 di Yogyakarta.Gedung tempat pertemuannya kini masih ada, terletak di Jalan Adisucipto Yogyakarta dan dikenal denganMandalabhakti Wanitatama. Kongres ketika itu dihadiri 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa  dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia  (Kowani). Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak awal 1900an, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti antaralain Christina Martatiahahu, R A Kartini dan Walanda Maramis, serta Dewi Sartika Penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu di Indonesia baru diputuskan dalam Kongres Kowani keIII tahun 1938. Pada tahun 1950 Peringatan Hari Ibu di Indonesia memperoleh momentumnya, dengan diangkatnya untuk pertama kali seorang perempuan menjadi Menteri, yaitu Maria Ulfah.

Di berbagai negara, Hari Ibu diperingati tidak pada bulan Desember pun tidak dengan upacara seperti di negara kita. Informasi yang saya kutip dari kamus online Wikipedia menyebutkan, Di Amerika Serikat, dan lebih dari 75 negara lain, seperti Jerman,Australia, Belanda, dan lain lain,  Hari Ibu atau Mother’s Day dirayakan pada hari Minggu di pekan ke dua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Perempuan Internasional diperingati setiap bulan 8 Maret. Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Pada hari itu, khususnya di negara negara maju ( Eropa dan Amerika Serikat ), ada tradisi membebaskan seorang Ibu dari pekerjaan rutinnya.Bahkan, di kantor kantor dan tempat pekerjaan ada semacam tradisi pekerja perempuan mengolok olok teman kerja prianya, termasuk menggunting dasinya. Ini pernah saya saksikan saat pada akhir 80an saya bekerja di Jerman Barat ( Suara Jerman Deutsche Welle yang ketika itu masih berkantor di Cologne ).

Lantas, apa sesungguhnya relevansi Hari Ibu dalam kehidupan kita sekarang ini ?

Di rujuk dari kesejarahannya, maka peringatan Hari Ibu adalah saat untuk mengingatkan dan menggerakkan serta memposisikan kaum perempuan Indonesia dalam kehidupan masyarakat bangsanya, tanpa melupakan jati dirinya sebagai seorang ibu dalam keluarga. Sebuah kondisi ideal yang tidak mementingkan yang satu dari yang lain, atau melemahkan fungsi yang satu dari yang lainnya.

Untuk itu marilah kita berkaca pada kehidupan keluarga, serta memotret kondisi sosial dan bangsa kita.

Dalam hal kasih sayang misalnya, masihkah kita menangkap resonansi dari lagu lama berikut ini :

Kasih Ibu kepada beta,

Tak terhingga sepanjang masa,

Hanya memberi tak harap kembali,

Bagai Sang Surya menyinari dunia.

Kabul Budiono

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun