Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Pilihan

Ketika Sepotong Malam Jatuh di Pembaringan

25 Juni 2019   02:33 Diperbarui: 25 Juni 2019   02:34 122 14
Tidak ada yang lebih baik daripada menyaksikan sepotong malam jatuh di pembaringan. Tepat di pelupuk mata yang rindang oleh lamunan. Tentang dunia yang mengitarinya setiap hari. Lantas menancapkan banyak duri di hati.

Seorang lelaki. Tidak hidup di atas lidahnya yang berapi. Namun di atas telapak kaki yang habis terbakar nyeri demi sebuah perjalanan mencari di mana mesti meletakkan hati. Lalu memaku sebuah pigura di dinding kamar. Ketika telah menemukan apa yang sebelumnya hanya samar-samar. Sebagai gambar terbaik dari memoar yang tak pernah pudar.

Di pundak malam yang terbungkuk-bungkuk menyangga kerimbunan dengkur para penidur, seorang lelaki meraih sisa bintang yang masih tersangkut di bibir langit. Meletakkannya di meja kayu yang di atasnya berjajar buku-buku. Tentang rindu, rasa ragu, dan kesaksian gagu.

Seorang lelaki mematut masa lalunya di kaca yang berdebu. Membiarkannya menjadi bagian dari hikayat lama yang membatu. Sebagai rambu-rambu jika kelak ia tergelincir pada kebanyakan waktu senggang. Lalu tanpa sengaja melupakan jalan pulang.

Adakah yang lebih baik daripada melihat pendar cahaya rembulan menyusup di sela-sela dedaunan halaman rumah yang lampunya padam? Atau menjadi saksi pertama ketika matahari menyingsing pada ufuk lautan yang membiarkan gelombangnya diam?

Ada.

Yaitu ketika sepotong malam secara sukarela menjatuhi pembaringan setiap harinya untuk menemui drama-drama menyedihkan kehidupan manusia, menghiburnya, lalu bersama-sama mentertawakannya sebagai bagian dari fragmen bahagia yang belum dimasukkan dalam kamus bahasa dan kitab-kitab kosakata.

Jakarta, 25 Juni 2019

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun