Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kurma Pilihan

Kisah Pedagang Pasar Kaget Ramadhan

23 Maret 2023   10:25 Diperbarui: 23 Maret 2023   10:42 1607 5
Bulan Ramadan bulan yang dinantikan oleh semua umat muslim. Nuansa ibadah membuat terasa syahdu. Ibadah berlipat ganda pahala maupun masa panen untuk mengais rezeki. Tak terkecuali oleh keluarga Pak Saleh sekeluarga.

Adalah pasar kaget, kenapa disebut 'pasar kaget' karena memang dibukanya secara kagetan oleh pemegang kuasa di tunjuk suatu tempat berupa tanah lapang. Nantinya para pedagang silahkan membuka lapak meja jualan berjejer boleh bertenda sedikit atau terbuka. Makanan biasanya ditutupi dengan plastik putih bening saja.

Setiap pukul 15.00, menjelang sore kesibukan para pedagang di mulai dari yang berjualan berbagai lauk pauk, penganan, takjil, es buah maupun es lainnya dengan aneka warna-warni. Sangat menggiurkan, membuat lapar mata kata orang. Lebih tepatnya keinginan akan membesar tak sesuai dengan kebutuhan.

Hari ini memasuki puasa yang ketujuh. Pak Saleh dan keluarga sudah sibuk menyiapkan segala barang dagangannya. Dibantu oleh kedua putrinya yang remaja. Bu Atma--- istri Pak Saleh menjual berbagai lauk-pauk dan mulai masak selesai salat dzuhur. Ada gulai pucuk ubi yang dicampur jengkol, ikan panggang, sambal gorengan campur-campur berupa telur puyuh dengan ikan teri dan tempe, urap sayur dan perkedel kentang.

Sedangkan Pak Saleh akan menjual es campur yang diberi potongan agar-agar, cincau, dan cendol yang dibagi gula merah. Telah tersedia dalam satu termos.

Tiba-tiba cuaca cerah berubah menjadi mendung menghiasi langit. Membuat Pak Saleh berulang kali menatap ke atas. Guratan kecemasan terlihat di wajahnya. Baru saja ia beserta keluarga sampai di lapak jualannya setelah tadi becak mengantar dua kali bolak-balik dari rumahnya.

"Mak, takutnya hujan ni, mak. Jadi gimana?" Putri sulung Pak Saleh bertanya. Tangannya mengibas di atas bentangan lauk-pauk dengan kayu kecil berujung juntaian tali rapia.

"Berdoa saja, Nak, moga ndak ujan," ucap  Bu Atma dengan wajah sedih.

"Modal kita akan terbenam nantinya jika hari ini jualan kita tak laku," sambung Pak Saleh, tertunduk.

Terbayang masakan serta es jualannya yang akan tidak ada pembelinya jika hujan lebat mendera.

"Mak, kalau kita panasin lagi lauk-pauk ni, bisa jual lagi tuk besok ndak, Mak," tanya Andin---anak bungsu mereka yang tahun ini akan selesai sekolah di SLTP.

"Bisa-bisa saja, tapi akan berpengaruh ke rasanya, nggak enak gitu, kalau kita jual juga, pelanggan kita akan tau dan lari. Belum lagi rasanya berdosa jika menjual barang yang udah tak layak kali, Nak," terang ibunya panjang lebar.

"Betul itu, mau cem manalah. Rezeki segitu," Pak Saleh menimpali.

Semua wajah para pedagang  terlihat suram. Rintik-rintik mengundang, membuat mereka yang baru setengah jam buka lapak, mulai berangsur mengemas barang dagangannya.

Pak Saleh menyusun kembali lauk-pauk ke dalam kontainer plastik persegi mereka. Belum ada laku atau pecah telur kata orang. Ia memutuskan untuk tutup sebentar. Berteduh dan jika memungkinkan hujan reda akan membuka jualan kembali.

Langit sedang tidak bersahabat. Tuhan memberi ujian berat kepada mereka. Tetes-tetes hujan jatuh makin lebat diiringi kilat dan dentuman keras. Ketentuan yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Segalanya tak dapat ditolak. Harus menerima dengan ikhlas.

Hujan mulai reda disaat lima belas menit lagi akan tiba waktu berbuka. Maka tidak akan sempat lagi untuk berjualan dengan kondisi lokasi basah. Orang lalu lalang pun tidak ada.

Setelah berdiskusi bersama istri dan anak-anaknya  mereka sepakat akan menyedekahkannya saja pada para tetangga. Untuk modal berikutnya Pak Saleh akan mencoba untuk mencari pinjaman.

Sesampai di rumah, dengan cepat mereka berempat membagikan dagangannya kepada para tetangga dan mesjid. Disambut dengan kegembiraan oleh para tetangga. Ada juga yang merasa iba, karena mereka tahu kondisi Pak Saleh. Beberapa orang malah memberi uang untuk mereka.

Uang yang diberi seikhlasnya oleh para tetangga yang berjumlah sedikit diterima dengan rasa syukur. Disaat malam mereka pergi salat Terawih ke mesjid terdekat.

Ketika mereka berjalan pulang menuju rumah.

"Pak Saleh, Pak Saleh!" Seorang pria berkain sarung yang hampir sebaya dengannya memanggil sambil mengejar.

Serentak Pak Saleh sekeluarga berhenti berjalan dan menoleh ke belakang.

"Eh, Pak Surya. Ada apa ya?"

"Begini, Pak Saleh, saya dari kemarin mau jumpa, Pak Saleh, tapi nggak sempat juga," ucapnya sambil menarik napas yang ngos-ngosan.

"Saya mau menyerahkan ini, titipan dari Bewok, dua hari yang lalu dia transfer untuk saya sekalian untuk Pak Saleh juga. Katanya waktu lajang dulu pernah hutang sama Pak Saleh. Dia nggak bisa mudik tahun ini," sambungnya lagi

Pak Saleh mengernyitkan alis. Mencoba mengingat kejadian yang lama telah berlalu tersebut. Bahkan rasanya ia telah lupa si Bewok adiknya Pak Surya ini pernah meminjam duit padanya untuk modalnya buka usaha di rantauan.

Senyum mengembang ditampilkan Pak Saleh dan keluarga.

"Alhamdulillah, rezeki dari Allah. Masya Allah, Pak Surya saya aja sampai lupa. Karena ini udah berpuluhan tahun." Pak Saleh berucap sambil menepuk jidatnya.

"Usaha bengkel Bewok, udah mulai rame, utangnya kan tiga ratus ribu digenapkannya aja katanya jadi lima ratus ribu. Itung-itung udah kelamaan katanya," Pak Surya merogoh saku serta mengeluarkan uang merah lima lembar.

"Alhamdulillah, bilang sama Bewok, terima kasih ya, moga makin banyak rezekinya, sehat selalu semuanya,"

"Aamiin." Serentak yang lainnya menyahut.

Pak Surya memegang lengan Pak Saleh dan tangan kanan menyalami serta pamit. Karena mereka melalui jalan yang berbeda arah.

Tiada henti Pak Saleh dan keluarga berucap pujian terhadap Allah Swt. Akan ada modal usaha jualan untuk besok dari arah yang tak mereka sangka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun