Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Istana Pasir

28 Februari 2010   04:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:42 311 0
[caption id="attachment_83203" align="alignleft" width="298" caption="source: chicago.info"][/caption] Bagaimana pendampingan orang tua agar anak benar-benar mampu mengembangkan keterampilan baca tulis? Saya sepenuhnya meyakini bahwa peran pokok pendidikan anak terletak di pundak orang tua. Sekolah hanya sekedar membantu saja. Pada edisi sebelumnya Tunjukkan, Jangan Ajari dan Belajar Baca: Holistik Vs Analitik (1), saya berbagi dengan strategi menulis jurnal harian. Berikut ini contoh dari salah satu jurnal yang saya tulis bersama anak saya. Saya menulis tangan di atas whiteboard: satu kalimat selesai, saya undang Rio untuk membaca keras-keras. Setelah itu, saya menulis kalimat kedua. Rio saya undang lagi. Dia selesai baca. Berikutnya kalimat-kalimat lain bermunculan. Sampai selesai. Sesudah itu saya ketik tulisan tangan tersebut, dan saya simpan dokumen tersebut sampai sekarang. Berikut ini goresan tangan saya yang tertanggal 2 Agustus 2009. *** Debu beterbangan. Rio memegang sepotong kayu dan memukul-mukulkannya pada gundukan tanah berpasir yang kering. Bapak membantu Pak Agus, tukang batu yang bekerja untuk membuat ruang cuci dan ruang jemur. “Rio, jangan bikin debu beterbangan. Debu bisa membuat sakit mata dan batuk,” Bapak menjelaskan. Namun Rio memang tidak mudah mengikuti perintah Bapak. Dia berulang kali melakukan hal yang sama. Bahkan dia tampak makin gemar membuat debu. Kali ini dia meloncat ke sana-kemari. Tiap kali membuat lompatan, sandalnya pun menghamburkan ribuan butir debu. Rio terkekeh-kekeh menyaksikan debu itu.

“Ah, Rio memang tidak mendengarkan ya kalau dikasih tahu,” Bapak bergumam. Namun Bapak tidak marah. Anak memang tidak bisa sekedar diberi perintah dan patuh begitu saja. Anak selalu dipenuhi dengan hal-hal yang baru dan rasa ingin tahunya tidak pernah kering.

“Kalau Rio masih mau bermain, kenapa tidak sekalian membuat istana pasir saja?” Bapak menantang Rio.

“Istana” Apa itu?” tanya Rio. Bagi Rio, kata istana masih baru.

“Kita lihat saja nanti.”

Dengan empat ember air, tanah berpasir yang kering nan berdebu itu pun jadi lembek dan mudah dibentuk. Bapak dan Rio asyik bermain. Rio berhasil membuat satu gunung berapi.

“Ini Gunung Merapi,” suaranya meledak, “dan ini tempat keluar apinya.”

“Maksudmu, crater tempat keluar lava,” Bapak menyahut. (waktu nulis ini, aku lupa istilah kawah!)

Rio juga selesai membuat jalan. Bapak juga tidak mau kalah. Bapak menyelesaikan satu colloseum – tempat pertunjukkan model Romawi. Tidak hanya itu saja, Bapak juga menyelesaikan satu piramid. Bagi orang-orang Mesir kuno, bangunan piramid digunakan sebagai makam para raja. Setelah lebih dari setengah jam bermain tanah berpasir, Bapak dan Rio duduk sebentar, mengagumi hasil karya mereka. Tidak lama kemudian, Bapak dan Rio cuci tangan dan kaki. Bapak segera mengambil pena dan mengabadikan pengalaman membuat istana pasir dalam tulisan jurnal ini.

***

Tidak ada yang lebih hebat selain kesediaan dan keberanian menyisihkan waktu untuk berproses bersama anak. Dan ini harga yang bagi hampir semua orang tua terlalu mahal untuk dibayar - entah karena alasan apapun. Saya merasakan betapa saya juga dibentuk melalui idealisme menulis bersama anak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun