Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kurma

Pulanglah, Nak!

1 Juni 2019   16:29 Diperbarui: 1 Juni 2019   16:37 49 4
Di sebuah pedukuhan kecil, Dukuh Mergoyoso namanya, yang terletak di kaki Gunung Anjasmoro hiduplah seorang janda miskin. Oleh masyarakat pedukuhan janda miskin tadi biasa dipanggil dengan sapaan Mbok Rondo Krompyang.  
 
Entah mengapa disapa demikian dan bagaimana asal muasalnya sehingga perempuan yang sudah beruban itu dipanggil dengan sapaan yang terdengar tak ubahnya lelucon saja.
 
Mbok Rondo Krompyang memiliki dua orang anak yang keduanya laki-laki. Putra pertamanya bernama Markeso sedangkan anak keduanya bernama Dopir. Selain berputra dua, sang janda yang walaupun miskin namun berparas menarik itu sehari-harinya juga ditemani oleh hewan piaraannya yang punya nama Gamprong.  
 
Asal tahu saja, hewan piaraan Mbok Krompyang ini bukanlah sembarang hewan. Kalau biasanya orang suka memelihara anjing atau kucing maka Mbok Krompyang ini termasuk yang punya hobi nylene'h bin aneh. Hla.. betapa tidak, yang dijadikan teman untuk mengisi kesehariannya malah seekor burung.  
 
Kalau umumnya orang suka memelihara burung merpati, perkutut atau bahkan kakak tua maka sang janda bertubuh sedikit gempal itu lebih suka bermain-main dengan gagak. Yap..Gamprong adalah nama seekor burung gagak yang jadi piaraan Mbok Krompyang.  
 
Tahu kan burung gagak? Burung gagak ialah burung yang bersuara kwak..kwak.., berparuh lancip, berbulu hitam serta sering dikait-kaitkan dengan alam gaib atau dunia mistis bahkan menjadi pertanda akan datangnya malaikat maut (pencabut nyawa).  
 
Sosok Mbok Krompyang terlihat begitu unik, tak seperti perempuan-perempuan desa lainnya yang terlihat lebih lugu dan luwes. Sejak tadi si Gamprong mulai usil, terlihat bertengger di pundak Mbok Krompyang yang kekar itu sambil sesekali bertingkah, lompat sana lompat sini namun tetap bertengger kembali di pundak perempuan yang dulunya pernah menjadi kembang desa itu.
 
Belakangan ini hati Mbok Krompyang begitu gelisah bercampur aduk tak keruan. Keningnya mengernyit-ngernyit, pikirannya kosong, matanya sayu tampak menerawang jauh. Sambil berdiri menatap jendela rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, sang janda berambut panjang, hitam dan terurai itu mengarahkan pandangannya pada gambar dua sosok pemuda yang terselip dalam bingkai pigora antik itu.
 
Diraihnya pigura antik yang menempel pada dinding bambu yang mulai keropos. Diusapnya gambar wajah dua pemuda yang tampak kumal karena tebalnya debu yang menempel. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia bahkan sempat meneteskan air mata. Air mata kerinduan antara ibu dengan anak yang menjadi jantung hati belahan jiwanya.  
 
Sudah lima kali Ramadan ini kedua putranya tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Markeso dan Dopir, dua pemuda asal Dukuh Mergoyoso itu bak ditelan bumi tak tentu rimbanya. Kabar terakhir yang diterima ibundanya, kedua pemuda itu sengaja mengadu nasib di ibu kota kadipaten dengan harapan untuk mengubah nasib.  
 
Bagi warga Dukuh Mergoyoso pada umumnya, akhir Ramadan dan Idul Fitri merupakan momen yang tepat untuk berkumpul kembali bersama orang tua dan anggota keluarga tercinta. Namun apa daya, keinginan itu tak terpenuhi, Mbok Rondo Krompyang sangat sedih bila teringat hal itu. Semenjak ditinggal suaminya, Ki Sontolowo untuk menghadap Sang Khalik lima belas tahun silam, duka mendalam dialami Mbok Krompyang. Untungnya tak lama setelah itu kondisi kejiwaannya mulai stabil.  
 
Belakangan ujian itu berlanjut lagi. Kemalangan demi kemalangan sebagai batu ujian bertubi-tubi  menimpa Mbok Krompyang. Kedua putranya sejak lima tahun lalu tak pernah menemuinya lagi. Hatinya sedih dalam kesendiriannya. Hatinya menjerit, tersayat-sayat bagai tertusuk sembilu.  
 
Berulang kali hatinya mencoba berkata "pulanglah nak, ibu sangat merindukan kalian".  

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun