Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

1 Muharam, Mengenang Pejuang Islam Pertama di Jawa

6 November 2013   20:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:30 421 6

Tanggal5 November 2013 kemarin merupakan hari libur nasional bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1435 Hijriyah yang merupakan tahun baru Islam. Menurut penanggalan Jawa pada tanggal itu bertepatan dengan tanggal 1 Suro yang diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa penganut Aliran Kejawen sebagai waktu yang tepat untuk memandikan berbagai jenis benda pusaka (ritual jamasan).

Saya tidak hendak membahas lebih dalam tentang pro dan kontra tanggal 1 Suro yang bertepatan dengan tahun baru Islam 1 Muharam 1435 Hijriyah itu. Paling tidak, hari libur 1 Muharam 1435 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal5 November 2013 itu menjadi momen yang tepat untuk merefresh kembali ingatan kami akan kegigihan seorang pejuang yang pertama kali mengenalkan Agama Islam di Pulau Jawa. Nah siapa dia sosok yang gigih mengenalkan Islam pertama kali di Pulau Jawa itu?

Untuk itu saya sekeluarga melakukan perjalanan religi ke Kota Gresik. Agak pagi kami mengawali perjalanan menuju Kota Gresik hari itu. Dari kediaman kami Kota Gresik berjarak kira-kira 40 kilometeran. Meski berada di wilayah administratif yang sama namun kediaman kami berada di pinggiran Kota Gresik yang justru lebih dekat dengan Kota Surabaya maupun Sidoarjo.

Udara pagi yang sejuk menambah rasa nyaman kami saat berkendara. Sehingga jarak yang lumayan jauh itu tidak menyebabkan rasa capek meski kendaraan saya pacu dengan kecepatan sedang. Begitu sampai di Kecamatan Cerme hati anak semata wayang kami menjadi berbunga-bunga. Betapa tidak,di tengah-tengah usaha pertambakan warga, kami menyaksikan sekelompok burung bangau terbang bebas kesana-kemari mencari ikan-ikan di tambak. Seolah tak menghiraukan hilir mudiknya manusia yang lalu lalang melintasi kawasan itu.

Panorama ini jarang sekali kami saksikan terutama bagi anak kami. Sementara itu di Gresik sudah menunggu seorang keponakan bersama suaminya. Setelah berunding, akhirnya kami putuskan suami keponakan itu yang menjadi guide perjalanan wisata religi kami. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Makam Maulana Malik Ibrahim. Yang bisa juga dipanggil “Sunan Gresik”. Makam beliau terletak di Jalan Malik Ibrahim Desa Gapura Sukolilo (Wetan), Gresik. Dari alun-alun Kota Gresik cukup dekat. Hanya beberapa ratus meter saja.

Mereka menggunakan bus pariwisata atau mobil mini bus (elf) untuk bisa sampai ke pusara sang wali. Tidak mengherankan bila di halaman parkir penuh berjajar rapi mobil, elf dan bus pariwisata. Untuk bus pariwisata disediakan tempat parkir khusus sehingga anggota rombongan masuk melalui pintu gerbang (gapura) di jalan lainnya.

Bagi para peziarah yang menggunakan kendaraan motor roda dua juga tersedia tempat parkir yang berada persis di depan pintu masuk (gapura) Jalan Malik Ibrahim. Tidak dipungut biaya, hanya infak seihlasnya.

Kompleks makam Maulana Malik Ibrahim juga menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang makanan asongan yang berada di sekelilingnya. Mereka itu adalah pedagang pentol bakso, rujak manis, teh botol dan lainnya. Untuk penjual suvenir dan makanan khas Kota Gresik disediakan tempat khusus di sepanjang jalan kecil menuju gerbang depan (parkiran bus pariwisata).

Berbagai barang keperluan umat Islam seperti jilbab, busana muslim, sarung, kopyah, tasbih, mukenah, kitab-kitab Islam, kue-kue ringan, bahkan alat musik kesenian Islam seperti rebana juga tersedia di stan-stan ini.

Untuk makanan khas Gresik seperti pudak, minuman legen dan buah siwalan tidak dijajakan di kompleks makam ini. “Tempatnya khusus di depan Wisma Petrokimia, Jalan Veteran-Gresik” begitu kata keponakan kami. Ada satu makanan khas Gresik, sejenis kue. Jajan “intip” namanya. Kue ini terbuat dari nasi yang diolah sedemikian rupa, dibentuk menyerupai piring berukuran besar (nampan) terus diatasnya dilumeri Gula Jawa. Lalu dibungkus dengan plastik agar bebas dari kotoran dan tetap krispi (renyah). Traveler boleh mencobanya, rasanya wow!.

Dalam kompleks makam Maulana Malik Ibrahim terdapat bangunan joglo atau pendopo utama. Sementara di sampingnya juga ada beberapa pendopo berukuran lebih kecil. Kebetulan saat kami bertandang ke sana bersamaan dengan proses perbaikan gedung yang dilakukan oleh pengelolah situs makam. Sehingga bangunan kompleks makam yang cantik dan seutuhnya belum terlihat jelas. Bangunan joglo utama menjadi tempat berkumpulnya para peziarah. Kayu-kayu berukuran besar dan di bagian bawahnya telah berukir menjadi penopangnya.

Para peziarah dengan dipimpin ketua rombongannya masing-masing memanjatkan doa secara khusyuk hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka membacakan tahlil dan hanya bermunajat kepada Sang Khalik, Pencipta alam seisinya ini.

Bersebelahan dengan makam Maulana Malik Ibrahim terdapat makam istri dan anak beliau yaitu Sayyidah Siti Fatimah dan Maulana Maghfur. Pusara makam ketiganya berada agak ke dalam dengan menuruni anak tangga terlebih dulu.

Di sekeliling pusara dipasang pagar stainless dengan ornamen yang menarik. Sayangnya saat berkunjung ke sana, kami tidak bisa melihat atau mengabadikan lebih jelas pahatan atau relief angka tahun di batu nisan sang pejuang Islam ini dengan “inskripsi” seperti yang telah ditulis oleh para sejarahwan atau arkeolog. Karena terkendala oleh jumlah peziarah yang membludak. Sehingga “sungkan” mau nylonong ke pusara utama di saat banyak orang sedang berdo’a secara khusyuk.

Di sudut lain kompleks makam ini, traveler bisa juga melihat makam pejuang Islam lainnya. Seperti pusara (petilasan) Syeh Maulana Ishak yang merupakan ayahanda Sunan Giri. Dan di sebelahnya juga terdapat makam Syeh Maulana Makhrubi.

Keluar dari kompleks makam menuju stan-stan suvenir dan makanan, sudah antri menunggu para pencarirezeki lainnya. Mereka adalah para perempuan tua yang sabar menanti uluran infak dari para peziarah makam ini.

Dari beberapa penelusuran yang saya lakukan (maaf bukan studi pustaka melainkan studi internet) didapatkan keterangan bahwa Maulana Malik Ibrahim diduga berasal dari Samarkan, Asia Tengah. Ada pendapat lain yang mengatakan kalau beliau dari Persia atau bahkan dari Afrika Utara.

Tahun kelahirannya masih menjadi tanda tanya. Ada ahli yang mengatakan pada awal abad ke-14. Beliau meninggal pada tahun 1419 Masehi atau 882 Hijriyah. Maulana Malik Ibrahim termasuk wali (aulia) yang “tertua” diantara anggota Wali Sembilan lainnya.

Beliau menyebarkan Islam secara santun dengan budi pekerti yang luhur. Tidak secara frontal, menentang ataupun menghujat pemeluk agama lama yang dianggapnya tak sepaham dengan diri beliau. Tidak mengherankan bila penduduk sekitarnya yang kala itu belum memeluk Islam akhirnya tertarik dan secara ihlas masuk Agama Islam.

Secara santun beliau memperkenalkan nilai-nilai Islam kepada pemeluk agama lama. Bahkan penguasa Majapahit kala itu merasa kagum melihat ahlak dan budi pekerti beliau. Sampai-sampai sang raja menghadiahkan sebuah kawasan di Gresik-Jawa Timur untuk pengembangan Islam dan tempat pusara di akhir hidupnya. Yang sekarang bernama Desa Gapura Sukolilo itu.

Dengan mengunjungi kompleks makam Maulana Malik Ibrahim, paling tidak menjadi pengingat kita bahwa atas jasa beliau kita bisa memeluk Islam dan mengenal lebih jauh nilai-nilai agama yang kita anut ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun