Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Tradisi Mitoni/Tingkeban untuk Keselamatan Jabang Bayi dalam Masyarakat Jawa

27 Maret 2020   23:15 Diperbarui: 27 Maret 2020   23:19 10755 11
Tingkeban atau mitoni adalah tradisi ritual memohon keselamatan oleh masyarakat jawa saat  kandungan seorang perempuan mencapai usia 7 bulan.

Maka disebut mitoni diadopsi dari kata pitu (tujuh)   dengan sebuah acara ritual untuk memohon keselamatan.

Tingkeban dilaksanakan hanya untuk anak pertama,  sedangkan untuk anak kedua dan seterusnya biasanya tak ada acara tingkeban.

Dalam ritual ini seorang ibu hamil dimandikan dengan air kembang setaman menggunakan wadah air berupa gentong dari tanah dan siwur (gayung dari batok kelapa dengan gagang bambu) disertai doa kepada Tuhan Yang Maha Esa,  untuk keselamatan jabang bayi yang akan dilahirkan.

 Menarik kata seorang sesepuh di kampung kami bahwa tanah jawa ini memang berdarah Hindu.  Sehingga agama apapun saat masuk ke tanah jawa pasti berasimilasi dengan agama Hindu.  

Sehingga dalam pengamalan tradisi terjadi persilangan secara unik antara ajaran agama Hindu dengan berbagai agama yang  ada di Indonesia.

Tradisi mitoni berasal dari agama Hindu.  Konon tradisi telonan, mitoni atau tingkeban ini dikenal dengan nama garba wedana Yang berarti perut yang  sedang mengandung.  Sebuah ritual untuk memohon keselamatan bagi jabang bayi Yang masih berada dalam rahim.

Konon tingkeban adalah ritual peneguhan atau penyambutan letak atman atau ruh kehidupan si jabang bayi. Melakukan suguhan terhadap kakang kawah adi ariari,  sedulur papat lima pancer yang  berupa darah,  air,  barah,  dan ariari

Mitoni untuk melakukan ritual sambutan, yaitu penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) atau ruh kehidupan si bayi.

 Tingkeban adalah upaya memanggil kekuatan alam yang  tak kasat mata tapi memiliki hubungan langsung dengan kehidupan si bayi. Serta memanggil empat saudara yang  keluar bersama saat bayi dilahirkan.

Dalam tradisi masyarakat jawa, bayi,  kakang kawah dan adi ariari diupacarakan bersama,  diberi suguhan berupa ritual pensucian,  dengan memandikan ibu jabang bayi.

Serta setelah lahir nanti,  ariari akan ditanam  di depan rumah.  Di sebelah kiri pintu masuk bila bayi perempuan dan di sebelah kanan pintu masuk rumah bila bayi laki-laki.

Setelah bayi lahir,  ariari dicuci bersih lalu dimasukkan ke dalam guci dengan dialasi kain mori putih. Dan saat mengubur ariari disertakan beberapa potongan kain milik kakek atau ayah,  potongan rambut kepala kedua orang tua,  kertas,  potlot,  silet,  jarum dan benang jahit,  bunga mawar serta garam krosok.

Ariari ini ditimbun dengan baik,  dan diberi kurungan serta bila malam hari diberi lampu penerangan.  Dan lampu  dan penutup ariari bisa diambil saat bayi sudah berusia selapan atau 35 hari.

Di kampung istri saya,  tradisi semacam ini masih sangat kental dalam masyarakat. Sehingga saat istri saya hamil pertama juga dilakukan acara semacam ini.

Acara ritual dilakukan pada bulan ke tujuh sebelum bulan purnama penuh dengan tanggal Yang mengandung angka 7.

Waktu itu saya disuruh memilih tanggal 17 atau tanggal 17 di bulan jawa,  saya memilih tanggal 7.

Sebuah panggung untuk mandi disiapkan.  Istri saya dipakaikan kemben,  semacam kain jarik yang  menutup sampai dada,  dan dikenakan kalung berupa ronce kembang melati.  

Setelah itu didudukkan di panggung  yang  sudah dipersiapkan dengan penutup berupa gebyok ( daun kelapa yang  sudah tua Yang dianyam). Lalu saudara-saudara perempuan dengan jumlah ganjil menyiram tubuh istri saya menggunakan siwur yang  telah disiapkan. Dan saat disiram. Ibu hamil memegang dua kelapa gading  yang  telah diukir dengan gambar Arjuna dan Arimbi.
Dua tokoh pewayangan sebagai simbol agar jabang bayi saat lahir laki-laki berparas ganteng seperti Arjuna,  dan bila perempuan cantik seperti dewi arimbi.

Setelah acara mandi selesai lalu dilanjutkan memakai kain jarik 7 macam  secara bergantian yang  sudah ditata sedemikian rupa.

Lalu dukun bayi bertanya pada yang  hadir,  

"Pantes mboten? "

Lalu  semua yang  hadir menjawab dengan berbarengan,  

"mboteeen..! "

hal itu dilakukan sampai kain yang  terakhir dan yang  hadir menjawab dengan kata,  

"Pantees....! "

Setelah itu istri saya dipersilahkan untuk memotong tumpeng yang berjumlah 7 macam,  dan membagikannya kepada semua orang yang  hadir.

Dalam acara tingkeban di kampung,  selain disediakan tumpeng 7 juga disediakan kelengkapan seperti ingkung ayam, bubur abang putih,  serta rujak tumbuk yang berisi tujuh buah dengan rasa asam,  manis,  hambar,  pahit,  getir,  lalu ditumbuk jadi satu dicampur dengan sedikit garam,  cabe rawit,  gula jawa,  dan air asam.

Setelah semua ritual selesai,  semua undangan boleh menikmati sajian yang  disediakan termasuk pisang raja dan jajan pasar sebagai kelengkapan.

Dan setelah itu anak-anak kecil yang  hadir diberi uang  koin sebagai hadiah.

Orang-orang Islam mendekonstruksi upacara mitoni dengan berbagai amalan.  Seperti dengan ceramah,  pembacaan surat  ar-Rahman,  surat Luqman dan sebagainya.  Dan menggelar kenduri dengan mengundang tetangga kiri kanan.

Pada intinya seluruh ritual tingkeban adalah berisi doa dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar semua tahapan yang  dilalui oleh ibu hamil bisa terlewati dengan lancar tanpa halangan.

Dalam tradisi jawa disimbolkan dengan berbagai ritual dengan makna yang  sangat dalam.  Sedangkan dalam Islam lebih praktis karena tak memerlukan ritual yang  rumit.

Tapi apapun bentuknya,  ritual tingkeban tetap mengandung budaya adiluhung warisan nenek moyang  yang  masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Indonesia di tanah jawa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun