Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Sesajen dan Kuburan di Bulan Sya'ban

26 Mei 2015   14:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:34 507 0
Sya’ban adalah bulan ke-8 dalam perhitungan sistem qomariyah (lunar/bulan). Peradaban nusantara memiliki penamaan yang berbeda-beda terhadap bulan ini. Masyarakat Melayu pesisir menamainya bulan nasi, karena pada bulan ini masyarakat Melayu mentradisikan kenduri dengan menu utama nasi. Berbeda dengan bulan sebelumnya, rajab. Masyarakat Melayu pesisir menamai bulan rajab dengan bulan apam, karena mereka memiliki tradisi kenduri di bulan rajab dengan menu utama kue mue. Apam adalah salah satu jenis kue mue yang cukup digemari dan menjadi hidangan yang diutamakan.

Sedangkan masyarakat Jawa menyebut bulan ke-8 hijrah ini dengan nama ruwah. Istilah ruwah juga berkaitan dengan kenduri. Karena pada bulan ini, masyarakat Jawa mentradisikan kenduri untuk mengenang para leluhur mereka yang telah meninggal. Pada masyarakat lain di daerah lain di seluruh nusantara, tanpa terkecuali, melaksanakan tradisi kenduri di bulan sya'ban ini. Tujuan dari pelaksanaan kenduri juga sama, untuk mengenang arwah para leluhur yang sudah berpulang ke rahmatullah, atau sudah meninggal dunia.

Tradisi kenduri di bulan sya'ban ini telah menjadi ciri khas islam nusantara. Kenduri juga menjadi simbol perpaduan dua peradaban, yakni peradaban islam dan peradaban nusantara. Perpaduan itu melalui proses persentuhan dua peradaban yang berbeda dengan cara dialogis yang kreatif. Tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama menyatu dan padu dengan tatanan simbol budaya peradaban nusantara. Pada gilirannya, pertautan dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan simbol budaya telah menghadirkan corak Islam dalam kesatuan spiritual dengan corak budaya yang beragam (unity and diversity).

Selain kenduri, perpaduan peradaban islam dan nusantara juga disimbolisasikan dengan ritual budaya ziarah kubur. Kedua simbol budaya ini -kenduri dan ziarah kubur, adalah satu paket budaya yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya berorientasi kepada kesamaan tujuan dan fungsi, yakni penghormatan dan penghargaan kepada arwah para leluhur. Untuk istilah ziarah kubur, masyarakat nusantara memiliki istilah yang berbeda beda. Masyarakat Jawa menyebutnya nyekar. Sedangkan Melayu pesisir menyebutnya dengan ziarah.

===========

Perpaduan yang dialogis antara ajaran islam dan budaya nusantara dilakukan dengan sangat kreatif. Kedua peradaban tetap menjadi dirinya sendiri. Islam tidak menghilangkan simbol peradaban nusantara, dan masyarakat nusantara memberi tempat yang seutuhnya kepada ajaran islam. Penyesuaian terjadi di sana sini dengan sangat cerdas dan saling menghargai keberadaan masing-masing. Sehingga keduanya secara utuh dapat bersanding. Itulah islam nusantara. Islam dengan citarasa nusantara, atau nusantara dengan cita rasa islam.

Dialogis dua peradaban yang sangat kreatif itu dapat kita lihat dan telusuri melalui pendekatan budaya masyarakat Jawa. Sebelum kehadiran agama islam, masyarakat jawa sudah memiliki perhitungan waktu mengikut "pranata mangsa", yang dikenal dengan Tahun Saka. Setelah persentuhan dengan islam, Tahun Saka oleh sultan Agung direkontruksi untuk menyesuaikan kalender islam, sistem peredaran bulan (tahun qomariyah). Penyesuaian itu harus dilakukan karena, perhitungan tahun yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab itu bagi islam terkait langsung dengan ketentuan waktu peribadatan, seperti untuk menentukan awal puasa ramadlan. Tanpa ada hambatan dan pertentangan sedikitpun, penyesuaian kalender saka kepada tahun hijrah berhasil dan tetap diikuti oleh masyarakat nusantara, khususnya Jawa.

Secara kasat mata, antara tahun saka dan tahun hijrah sama persis. Setidaknya mirip. Bagi masyarakat bukan Jawa, pasti akan menganggap perbedaan itu hanya dalam penamaan atau istilah. Tetapi tidak demikian halnya bagi masyarakat Jawa yang memiliki pranata mangsa dengan tahun saka. Karena, setiap nama dan tanda pada pranata mangsa tahun saka yang sudah disamakan dengan tahun hijrah itu, bagi masyarakat Jawa masih tetap dipahami sama seperti sebelum disatukan. Dan bagi masyarakat Jawa, nama dan tanda itu adalah simbol tertentu yang tetap saja memiliki makna khusus.

Umpamanya nama dan bilangan hari dalam seminggu. Menurut kalender Jawa yang mengacu ke sistem tahun saka, dalam seminggu ada lima hari pasaran (legi, pahing, pon, wage, kliwon). Penamaan itu memiliki makna yang sangat penting. Karena melalui kode dan nama hari, masyarakat Jawa dapat mengutak atik, atau menyiasati kemungkinan dan peluang bagi kehidupan manusia di masa depan.

Bahkan, dengan cara menghubungkaitkan kode dan hitungan hari pasaran dengan hari tertentu dalam seminggu, sebulan dan setahun, memungkinkan perjalanan hidup ke depan setiap individu, keluarga, atau masyarakat diprediksi dengan teliti. Dengan kata lain, masyarakat Jawa dapat meramal kondisi aktual di masa depan melalui kode hari dan waktu.

Memang tidak semua orang Jawa mempercayai itu. Lebih sedikit pula orang Jawa yang memiliki keahlian untuk memproyeksikan peristiwa yang belum terjadi. Tetapi kode hari dan waktu dengan nama tertentu tetap saja mewariskan tradisi dan adat budaya yang masih dIritualkan dan diamalkan. Dan prediksi masa depan yang diproduksi dari perhitungan waktu tertentu itu dimaksudkan untuk membentuk kepribadian manusia yang lebih waspada terhadap kemungkinan negatif, dan lebih progressif mengejar hal-hal yang positip.

=============

Begitu juga dengan nama "ruwah" untuk bulan sya’ban. Kata ruwah memilki ma’na tertentu yang substansial dalam balutan tradisi yang fenomenal. Secara bahasa, kata ruwah terambil dari kosa kata Arab arwah yang berbentuk plural (sing. ruh). Sedangkan secara konseptual, orang jawa memahami arwah sebagai “nyawa” dari orang yang sudah meninggal. Karena, ketika seseorang meninggal, nyawa terlepas dari tubuh. Tubuh yang tercipta dari tanah dikembalikan ke tanah dengan menguburkan. Sedangkan “nyawa” yang berasal dari Tuhan masih tetap hidup. Keberadaan ”nyawa” berada di daerah perbatasan (barzakh) antara alam dunia dan akhirat, menunggu datangnya hari kiamat.

Dan menurut orang Jawa, kehidupan “nyawa” di alam perbatasan, “sama” dengan kehidupan di dunia. Yang membedakan hanyalah ketiadaan tubuh. Mereka juga meyakini bahwa, “nyawa” di alam barzakh itu, masih tetap memantau kondisi karib kerabatnya di dunia. Pada waktu-waktu tertentu ia menjenguk tempat yang pernah ditinggali, dan juga mendatangi tempat tubuhnya dimakamkan (kuburan). Karena itulah, masyarakat Jawa akan tetap memelihara rumah yang ditinggal orang tua mereka. Begitu juga, pada setiap hari atau malam jum'at, keluarga akan senantiasa mengaji/membaca alQuran, khususnya surat yasiin, karena diyakini bahwa, arwah leluhur menjenguk rumah kediaman yang pernah ditinggali.

Konsep tentang “nyawa” seperti di atas telah ada di masyarakat, jauh sebelum kedatangan islam ke nusantara. Pada gilirannya, setelah mendapat sentuhan nilai-nilai islam, kebiasaan atau budaya Jawa telah pula menginspirasi lahirnya tradisi budaya nusantara yang unik, dan dikenal dengan istilah budaya islam nusantara. Dimana, kehadiran islam tidak merubah bentuk dan model budaya yang sudah ada, dan sudah diamalkan turun temurun oleh masyarakat. Dan masyarakat dapat dengan seutuhnya menerima ajaran islam, tanpa merubah budaya dan tradisi yang ada. Dengan kata lain, kehadiran islam di nusantara berperan untuk mengganti dan mengisi ulang nilai-nilai budaya yang sedia ada.

Kehidupan “nyawa” di alam barzakh -menurut pemahaman orang jawa-, tetap membutuhkan makanan. Bedanya, yang dimakan oleh arwah orang yang meninggal itu adalah saripati makanan. Dari pemahaman seperti itulah maka orang jawa memberi sesajen untuk para arwah atau “nyawa” orang yang meninggal.

Pemahaman itu oleh islam diberi sentuhan relegius: saripati makanan diganti dengan do’a, bacaan alQuran, zikir dan tahlil, yang memang dianjurkan oleh ajaran islam. Pahala bacaan itulah yang dikirimkan ke para arwah yang jasadnya sudah di kuburan. Sedangkan sesajen yang hanya sedikit dan diletakkan di tempat-tempat tertentu, diperbanyak jumlahnya dan diperluas tempatnya. Islam mengajarkan sedekah dan menganjurkan memberi makanan kepada karib kerabat, fakir miskin dan tetangga. Pahala sedekah itu juga dihadiahkan ke arwah leluhur seperti diajarkan islam, dan telah diteladankan nabi Muhammad saw. Dengan demikian, islam menjadikan tradisi sesajen yang individual dan terbatas, diperluas menjadi sistem sosial yang tidak dibatasi, yang dikenal dengan istilah kenduri.

Dengan melaksanakan kenduri, tersimpullah semua pemahaman masyarakat jawa akan “nyawa” atau arwah orang yang meninggal itu. Karena pada acara seremonial kenduri telah dilaksanakan pembacaan alQuran, zikir, do’a, sedekah, dan silaturrahim. Semua pahala (ganti saripati) dikirimkan kepada arwah. Begitu juga dengan pahala sedekah makanan yang dihidangkan, semua dihadiahkan untuk arwah para leluhur yang sudah meninggal.

Sebagai wujud penghormatan kepada arwah, masyarakat jawa melanjutkan dengan kegiatan nyekar, ziarah kubur. Inti dan maksud kegiatan sama, yaitu mengirim zikir dan do’a kepada “nyawa” yang ada di alam perbatasan. Untuk pelengkap do’a dan zikir yang terdetak di hati dan terlafazkan di mulut, para peziarah menyempurnakan dengan do’a dalam bentuk perbuatan, yaitu menyirami kubur leluhur dengan air mawar yang dingin dan menaburkan bunga rampai.

Itulah sebab orang jawa menyebut bulan sya’ban ini dengan sebutan ruwah. Ia bukan sekedar nama, tetapi juga kode atau pertanda yang memiliki makna khusus dan mendalam.

Budaya masyarakat jawa di atas hanyalah contoh pendekatan kultural terhadap substansi ajaran islam yang telah membentuk budaya islam nusantara yang fenomenal. Adapun budaya kenduri dan ziarah kubur di bulan ini tidak hanya milik masyarakat jawa. Melainkan menjadi milik seluruh masyarakat islam nusantara, walaupun model, pola dan penandaan seutuhnya bersumber dari budaya jawa. Yang penting dipahami adalah: setelah persentuhan dengan islam, nilai dan nuansa di dalamnya sudah sepenuhnya islam. Simbol budaya hanyalah sebatas penandaan nama dan waktu.

Dan, hari ini budaya ziarah kubur dan kenduri di bulan sya'ban sudah menjadi ciri khas islam nusantara. Masyarakat muslim yang ada di Malaysia, Singapura, Brunai dan sebagian Thailand dan Filipina juga melaksanakan tradisi yang sama. Begitu indahnya islam nusantara, kegiatan kenduri dan ziarah kubur di bulan ini sangat marak di sana sini.

Sebagai warga masyarakat nusantara, kita berkewajiban melestarikan budaya kenduri dan ziarah kubur yang sangat indah ini, dan menghidupkan semangat saling berbagi dan menghormati sesama tanpa memandang perbedaan yang ada. Bermula dari semangat yang diwariskan oleh tradisi inilah, kita menjadi muslim yang toleran, terbuka, dan santun dengan siapapun. Kita buktikan kepada dunia bahwa, islam itu rahmatan lil alamin, kasih kepada semua yang ada di dunia.

Bengkalis, 8 Sya'ban 1436

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun