Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Berterima Kasihlah pada Para Pelaku Childfree

17 Mei 2021   09:43 Diperbarui: 17 Mei 2021   09:52 1666 3
Masih ingatkah Anda pada utas Twitter dari pasangan yang memutuskan untuk tidak punya anak? Pasangan yang viral tersebut memutuskan untuk tidak punya anak karena biaya yang besar untuk membesarkan anak-anak sampai usia dewasa: mencapai 3 milyar rupiah untuk tiap orangnya, setara dengan 147 juta rupiah per tahun.

Penasaran dengan besaran rupiah yang disebutkan di utas tersebut, saya mencari berapa sebenarnya biaya untuk membesarkan seorang anak. Per definisi dari WHO, anak adalah kelompok umur mulai dari bayi baru lahir sampai berulangtahun ke-19.

Ternyata, menurut Badan Statistik Nederland dan the National Institute for Budgetary Information (Nibud) tahun 2019, biaya membesarkan satu orang anak sampai usia 18 tahun adalah 120.000 atau setara dengan 2,1 milyar rupiah. Mungkin ada benarnya juga bahwa biaya yang diperlukan sampai mereka lulus kuliah mencapai 3 milyar rupiah dengan asumsi biaya kuliah mencapai hampir 1 milyar.

Lumayan juga ya? Lumayan bikin ngelu.

Tentu saja hal ini menjadi polemik, secara bangsa kita termasuk yang sangat suka bertanya, "kapan mau punya anak?" Atau "kapan mau nambah anak?" Apalagi alasan untuk tidak mempunyai anak yang disebutkan adalah biaya.

Tentang keributan yang terjadi, saya sangat dapat memahami. Budaya dan agama kita memang mendukung untuk memiliki (banyak) anak. Agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam) dan Hindu terang-terangan mendukung punya anak banyak. Itu sudah mencakup sebagian besar agama yang dianut di Indonesia. "Matematika Tuhan berbeda dengan matematika manusia."

Di kitab suci saya sendiri, perintah untuk memiliki keturunan berbunyi, "beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dengan keturunanmu dan taklukkanlah itu," Ayat Kejadian 1:18 inilah yang digunakan oleh seorang bapak tua sebagai pembenaran saat ngeyel karena anaknya ada 10 dan masih mau nambah lagi, waktu saya jadi bertugas di pelosok timur negeri ini. Bingung kan?

Falsafah lokal pun mendukung masyarakat Indonesia untuk beranak-pinak. Anda familiar kan dengan frasa, "banyak anak banyak rezeki"?

Pesan ini (bahwa banyak anak banyak rezeki) dituturkan dari generasi ke generasi. Orangtua saya termasuk di dalamnya. Dulu mereka pernah berpesan agar tiap anaknya memiliki minimal empat orang anak agar cucunya banyak. Padahal anak mereka hanya dua, sesuai dengan anjuran pemerintah.

Sebenarnya ide bahwa banyak anak banyak rezeki yang muncul di era bertani ini, sudah tidak relevan lagi. Dahulu lahan masih luas dan sedikit tenaga yang dapat mengolahnya. Pada kondisi seperti itu, banyak anak memang akan menghasilkan banyak rezeki karena banyak tenaga yang dapat mengolah lahan pertanian (yang sebelumnya terbengkalai).

Namun sekarang, saat lahan pertanian semakin sedikit, banyak anak memang berarti banyak tenaga untuk mengolah pertanian (jika orang tua mereka petani), namun lahan yang diolah hanya segitu-gitu saja. Yang pasti adalah mulut yang harus diberi makan bertambah banyak.

Pada kasus lain, jika kedua orang tua tersebut adalah pekerja seperti saya dan suami. Banyak anak tidak berkorelasi dengan peningkatan pendapatan karena penghasilan keluarga tersebut ya cuma segitu saja. Korelasinya justru dengan jumlah pengeluaran. Makin banyak anak makin banyak pengeluaran.

Benarlah bahwa saat ini punya anak hanya berfungsi sebagai klangenan kedua orang tuanya: untuk disayang-sayang.

Jadi bagaimana? Apakah saya mendukung mereka yang memutuskan untuk childfree?

Hm ... Saya memposisikan diri di tengah-tengah, tidak mendukung dan tidak pula mengutuk. Saya sendiri bukan pelaku childfree. Meskipun demikian, saya merasa tidak sepantasnya kita marah dan mencaci maki (atau membuli) mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki anak.

Ada banyak sekali alasan pasangan untuk tidak memiliki anak, bukan hanya dari segi ekonomi. Beberapa akan saya sebutkan nanti.

Satu hal yang perlu diingat, diskriminasi pada pelaku childfree memang berat, terutama jika ia berjenis kelamin perempuan. Perempuan yang memutuskan untuk tidak punya anak biasanya dianggap gila sampai "melawan takdir" oleh keluarga dan masyarakat.

Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Corrine Maier, seorang penulis berkebangsaan Perancis sampai menulis buku berjudul No Kids: 40 Reasons For Not Having Children, untuk memaparkan alasannya yang tidak memiliki anak. Nah kan, terbukti bahwa selain karena ekonomi, ada banyak sekali alasan orang untuk tidak punya anak.

Dari sekian banyak alasan dalam buku tersebut, ada beberapa yang baik dan seharusnya tidak mengganggu kita yang memutuskan untuk memiliki anak. Salah satunya adalah ketidaksiapan emosional.

Tidak semua orang siap untuk menjadi orang tua. Banyak orang tua yang dulunya mengalami toxic parenting melakukan hal yang sama setelah menjadi orang tua: melampiaskan kekesalan pada orang tua mereka yang ada di bawah sadar pada anak-anaknya yang belum bisa melawan. Beberapa orang yang sadar akan hal ini memutuskan untuk keluar dari lingkaran setan ini dengan tidak memiliki anak. Masakan kita menambahi beban mereka dengan mengatakan, "punya anak dulu, nanti kan insting parentingnya keluar sendiri." Punya anak kok pakai coba-coba.

Alasan lain yang tidak kalah bagus dan bahkan bermanfaat untuk orang lain adalah mengurangi masalah yang ditimbulkan oleh manusia pada planet bumi akibat overpopulasi. Jika alasan sebelumnya hanya melindungi para (calon) anak dari kekerasan dalam rumah tangga, maka alasan ini lebih universal.

Di tahun 2020, jumlah penduduk dunia sudah mencapai angka 7,7 milyar. Itu manusia semua lho. Dengan kecepatan berkembangbiak manusia saat ini, diperkirakan pada tahun 2050 jumlah manusia mencapai 9,7 milyar. Tentu saja itu bukan jumlah yang kecil.

Overpopulasi menimbulkan masalah seperti perubahan iklim, pemanasan global, berkurangnya biodiversitas, kelaparan dan lain-lain. Bahkan menurut climateclock, saat ini kita hanya punya waktu sekitar 7 tahun dari titik kritis dalam sistem iklim. Ini adalah ambang batas yang, jika terlampaui, dapat menyebabkan perubahan besar dalam kondisi planet ini.

Memutuskan untuk tidak memiliki anak akan memberikan dampak yang lebih besar pada pengurangan pemanasan global dibandingkan  cara-cara konvensional seperti menggunakan kendaraan umum, menghemat energi, mengurangi makan daging (atau menjadi vegetarian), dan mendaur ulang. Pada titik ini saya merasa bahwa jika ada orang atau pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, seharusnya kita berterima kasih pada mereka, sebab mereka berusaha menciptakan dunia yang lebih baik untuk anak-anak kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun