Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Tiga Budaya Baik yang Wajib Dilestarikan di Sekolah

13 Maret 2023   23:46 Diperbarui: 13 Maret 2023   23:48 240 2
"Orang yang sinis adalah orang yang tahu harga dari apa pun dan nilai dari ketidakadaan", Oscar Wilde.

Senin (13/03/2023) kedua dalam suasana Penilaian Tengah Semester (PTS) genap apel pagi kembali dihelat. Semenjak PTS genap dihelat memang sudah dua kali sekolah tidak melaksanakan upacara bendera.

Tidak dilaksanakannya upacara bendera Senin tersebut bukan berarti menghilangkan budaya upacara bendera di lembaga; bukan berarti lembaga tidak menghormati perjuangan para pahlawan; bukan pula menandakan lunturnya nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme sumber daya manusia lembaga melainkan karena pertimbangan jadwal yang tidak efektif.

Tidak efektif seperti apa? Akan sangat tidak efektif jika kemudian melaksanakan upacara bendera dalam keadaan yang terburu-buru, kurang persiapan; tidak khidmat dan harus merombak jadwal perhelatan PTS. Tentu saja hal yang demikian itu sangatlah tidak elok.

Atas dasar itulah dalam upaya menjaga esensi dari perhelatan upacara bendera yang sudah kali absen, maka sekolah menggantinya dengan apel. Mengapa opsionalnya apel? Karena dalam apel pagi salah satu inti upacara bendera--amanat; motivasi belajar--disampaikan.

Kebetulan pembina apel pagi yang mewakili dewan asatidz lembaga Senin ini adalah ustadzah Elly Puji Lestari, M. Pd. Beliau adalah wali kelas 5. Adapun amanat yang disampaikan beliau pada sesi ini, yakni mengusung topik Tiga Budaya Baik yang Wajib Dilestarikan di Sekolah.

Apa saja ketiga budaya baik tersebut? Apakah itu budaya verbal? Tindakan? Ataukah budaya yang sifatnya spiritual? Tiga budaya baik yang wajib dilestarikan di sekolah tersebut yakni budaya minta tolong, terima kasih dan minta maaf.

Minta Maaf

Interaksi sosial di lingkungan sekolah dapat dipastikan tidak pernah luput dari upaya dan proses keakraban yang kian hari mendarah daging hingga menjadi budaya. Salah satu di antara sekian banyak budaya yang berlaku di lingkungan sekolah adalah minta maaf.

Minta maaf secara harfiah berarti bersifat verbalis. Satu perkara yang akan gugur manakala diucapkan oleh kedua bibir kita. Merangkai kata penyesalan yang mencerminkan ketulusan hati, mewakili ketertundukkan ego, dan kesadaran diri dipandang lebih baik daripada mengumbar dua kutub egoistis yang terus menganga di antara dua orang yang berkonflik.

Dalam proses dan prakteknya, minta maaf pun tentu memiliki adab tersendiri. Misalnya saja tatkala seseorang meminta maaf hendaknya menggunakan bahasa yang penuh sopan santun, menampilkan rasa empati dan menunjukkan i'tikad yang baik.

Tidak hanya ucapan, meminta maaf tentu juga melibatkan ekspresi wajah yang meyakinkan dan gestur tubuh yang jelas, tegas dan sehat. Meminta maaf sembari membuang wajah; meminta maaf namun ogah berjabat tangan; meminta maaf sembari mengacungkan jari tengah dan tingkah nyeleneh lainnya tentu akan menyakiti hati orang yang bersangkutan, sehingga menimbulkan konflik baru.

Sungguh ketiga contoh yang terakhir tersebut merupakan adab yang tidak baik dalam meminta maaf. Jika demikian upaya meminta maaf yang dilakukan pun saya kira hanya berakhir pada taraf yang sia-sia belaka. Maka merugilah yang menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia.  Begitupun juga sia-sia belaka manakala kita meminta maaf namun dengan cara membentak orang yang bersangkutan.

Terima kasih

Budaya yang terkadang luput dari perhatian kita selama proses berinteraksi dengan sesama manusia: teman, orang tua, tetangga, dewan asatidz dan khalayak masyarakat salah satu lainnya adalah berterima kasih. Bentuk terima kasih bervariatif, bisa secara verbal maupun tindakan.

Bentuk terima kasih secara verbal misalnya tatkala kita diberi suatu makanan oleh tetangga ataupun teman maka alangkah baiknya mengucapkan kata terima kasih, matur nuwun (baca: bahasa Jawa), hatur nuhun (baca: bahasa Sunda), syukron (baca: bahasa Arab), thank you (baca: bahasa Inggris) serta bentuk kalimat ucapan terima kasih lainnya yang disesuaikan dengan bahasa Ibu.

Lain halnya dengan bentuk terima kasih dalam wujud tindakan. Sebagai analoginya, tatkala seorang tetangga membagikan jajanan cinderamata setelah datang dari luar kota maka alangkah baik kita juga kembali memberikan buah tangan (bingkisan) kepadanya.

Atau mungkin ada kasus lain. Misalnya saja ketika kita sedang tertimpa musibah lantas seorang tetangga dengan senang hati menolong kita. Selain kita mengucapkan terima kasih, di lain hari kemudian kita memiliki rezeki dan bermaksud berbalas budi dengan melakukan hal yang sama. Kita memberikan pertolongan tatkala tetangga sedang kekusahan.

Perwujudan bentuk terima kasih terus-menerus berkembang dan bercabang sesuai dengan kebutuhan, kehendak, situasi dan keadaan. Semua bentuk itu menjalar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat di lingkungan hidup sekitar di mana ia tinggal. Tak terkecuali di lingkungan lembaga pendidikan, sekolah.

Minta Tolong

Budaya baik yang tak kalah pentingnya dalam hiruk-pikuk interaksi sosial adalah minta tolong. Minta tolong umumnya digunakan tatkala seseorang sedang membutuhkan bantuan. Baik itu pertolongan secara langsung dan tidak langsung; secara verbal ataupun tindakan.

Dalam prakteknya, minta tolong dapat dilakukan dan terjadi kepada siapa pun yang dipandang layak--mampu, mengerti dan memahami--secara teknis untuk mewujudkannya. Baik itu meminta tolong kepada sesama teman, orang yang lebih dewasa ataupun orang yang usianya lebih muda daripada orang peminta tolong.

Kendati demikian bukan berarti pula setiap orang dapat minta tolong dengan semena-mena. Misalnya minta tolong untuk mengambilkan air minum, mengambilkan makan dan memakai baju padahal orang yang meminta tolong tersebut tidak sedang repot; dalam keadaan sehat bugar dan mampu melakukan hal yang demikian dengan sendirinya namun ia malah meminta tolong kepada orang lain. Tentu saja, secara kontekstual, kasus itu adalah penempatan minta tolong yang keliru. Bahkan salah kaprah saya kira.

Bertolak pada pertimbangan hukum kausalitas yang berlaku di lingkungan masyarakat maka upaya minta tolong sendiri selaiknya dilakukan dengan memperhatikan rambu-rambu yang berlaku dalam dimensi interaksi sosial. Norma, kode etik dan budaya yang berlaku di lingkungan sekitar. Tak terkecuali budaya yang mendarah daging di lingkungan sekolah.

Contohnya, secara verbal, ketika kita meminta tolong kepada sesama teman tentu harus dengan adab yang baik. Menggunakan bahasa yang sopan, lemah lembut, lugas: mudah dipahami-dimengerti dan jelas, sekaligus disertai gestur tubuh yang meyakinkan.

Tatkala pensil kita terjatuh persis di bawah bangku yang sedang diduduki oleh salah seorang teman dan tangan kita tak mampu menjangkaunya, maka kita dapat minta tolong kepada teman itu seraya berucap, "Tolong ambilkan pensil yang ada di bawah bangkumu ya. Soalnya tanganku tidak bisa menggapainya". Kita bisa mengucapkan kalimat itu sembari merapatkan kedua tangan di dada.

Tentu akan berbeda cerita ketika kita minta tolong namun sembari cengengesan, marah-marah atau berteriak-teriak tidak jelas. Orang yang dimintai tolong tentu saja akan memberikan respons yang tidak dapat ditebak. Bahkan bisa saja menolak, mengabaikan permohonan kita.

Yang harus dicatat dalam upaya minta tolong adalah bedakan cara meminta tolong kepada orang yang lebih muda daripada kita, sesama teman (teman sebaya) dan kepada orang yang lebih dewasa. Rangkaian kata yang diramu sesuai dengan kadar usia juga akan berdampak positif-negatif terhadap upaya meminta tolong. Penggunaan bahasa ibu: daerah atau bahasa nasional juga akan mempengaruhi hasilnya.

Ketiga budaya baik tersebut sudah selaiknya dilestarikan dalam kontinuitas kehidupan kita. Kejelian dalam bertutur kata dan bertindak pada dasarnya mencerminkan watak dan kepribadian kita. Tidak ada penghormatan yang lebih baik kepada sesama makhluk sosial selain bertutur kata dan bertindak yang menyenangkan dan membahagiakan orang lain. Dan itu bukanlah sesuatu hal yang sia-sia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun