Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Antara Trikotomi Versi Geertz dan Tiga Golongan yang Mendapat Lindungan Allah SWT

18 September 2020   15:09 Diperbarui: 18 September 2020   16:27 312 4
Khotbah Jumat di masjid Al-Azhar Kutoanyar hari ini menjelaskan tentang golongan orang-orang yang mendapatkan lindungan dari Allah SWT.

Lantas pertanyaan mendasarnya, siapakah gerangan golongan yang dikatakan mendapat lindungan dari Allah SWT tersebut? Apakah tiga golongan yang dimaksudkan tersebut bersesuaian dengan trikotomi yang disebutkan oleh Clifford Geertz?

Seperti halnya yang termaktubkan dalam buku The Religion of Java, di mana tatanan kelakuan beragama dalam kebudayaan masyarakat Jawa dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu kelompok Abangan, Santri dan Priyayi.

Kelompok Abagangan didefinisikan sebagai orang-orang yang menyakini keberadaan Tuhan sekaligus memegang teguh keyakinan dan tradisi kejawen yang diwariskan oleh nenek moyang masyarakat Jawa.

Namun, di satu sisi yang lain dalam perkembangannya, kelompok Abang ini pada era ekspansi agama-agama samawi banyak orang yang mencari 'aman' dengan memeluk agama formal (red; Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, Islam) yang diakui negara.

Alhasil ada dua wajah dalam setiap seremonial spiritualitas mereka. Tersebutkanlah keadaan itu dengan istilah sinkretisme. Geertz menyebutkan hal itu sebagaimana dapat dilihat dari tradisi-tradisi sakral dalam setiap fase kehidupan masyarakat Jawa. Mulai dari jabang bayi sampai meninggal dunia selalu ada upacara slametan yang meliputinya.

M. Soehadha dalam bukunya yang berjudul 'Orang Jawa Memaknai Agama' mendeskripsikan kelompok ini sebagai orang-orang yang mencari kesempurnaan sejati dalam beragama. Sehingga melalui alasan itu pula tidak heran apabila ditemukan ada pemeluk agama Islam namun ia juga mengikuti kelompok penghayatan, kebatinan ataupun kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Terkait cara mengekspresikan pemeluk agama jenis ini sedikit-banyak telah saya singgung dan dituangkan pada skripsi jenjang strata satu 2017 yang lalu.

Kedua, kalangan santri. Kelompok ini dilekatkan pada para pedagang Gujarat India yang melakukan transaksi jual-beli sekaligus ekspansi agama Islam di pesisir Selatan daerah pulau Jawa. Mereka (Gujarat) singgah, menikah dan kemudian menetap di tanah Jawa hingga akhirnya mengajarkan agama Islam pada masyarakat Jawa secara luas.

Bahkan menurut Nur Syam dalam karyanya 'Islam Pesisir', disebutkan dalam perakteknya jaringan dakwah Islam (islamisasi) tersebut berhasil memunculkan ulama-ulama besar di tanah Jawa, termasuk di dalamnya dua ulama besar pendiri manhaj Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Khususnya kalangan Islam yang sangat permisif terhadap religio-kultural dan tradisi lokal yang ada di tanah Jawa.

Pendek kata, kalangan santri di sini adalah mewakili mereka yang mempelajari pendidikan agama Islam di satu pondok pesantren kepada seorang kiyai ataupun ustadz.

Apabila ditelusuri secara etimologi, M. Habib Mustopo (2001) dalam buku 'Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan', istilah santri sendiri diambil dari bahasa Sansekerta, yakni sastri yang bermakna "melek huruf" atau "bisa membaca".

Hal ini senada dengan pandangan C.  C. Berg yang menyebutkan istilah santri berakar dari kata shastri dalam bahasa India yang berarti orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu.

Sementara kelompok Priyayi adalah kalangan bangsawan yang memeluk agama Hindu dan memiliki kekuasaan politik, kemapanan ekonomi serta kaya akan jaringan relasi.

Hasil penelitian di Mojokunto-Kediri ini dikatakan dapat merepresentasikan kelompok religius masyarakat Jawa secara keseluruhan, meskipun pada periode selanjutnya tesis ini dibantah habis-habisan oleh hasil penelitian jaringan peneliti Indonesianis seperti Beatty, Mulder, Mark Woodward, Muhaimin sampai dengan Nur Syam pada abad selanjutnya.

Hasil penelitian jaringan peneliti Indonesianis tersebut menyatakan bahwa teori trikotomi masyarakat Jawa yang diyakini oleh Geertz itu lebih tepatnya mendeskripsikan kelompok masyarakat dari segi kuantitas meterial ekonomi bukan religi.

Berlainan dengan trikotomi masyarakat Jawa yang digadang-gadang oleh Geertz di atas. Dalam Islam dikatakan terdapat tiga golongan yang mendapat lindungan dari Allah SWT.

Pertama, yakni orang-orang yang senantiasa melanggengkan salam tatkala memasuki rumah. Barang siapa yang memasuki rumah diawali dengan pengucapan salam, do'a dan disertai dengan melangkahkan kaki kanan niscaya rumahnya dipenuhi oleh malaikat.

Keberkahan dan Rahmat Allah SWT akan senantiasa dilimpahkan kepada orang-orang yang beriman dan mengingat dzat Allah SWT  dalam setiap keadaan.

Dikirimkannya malaikat ke dalam rumah orang-orang yang melanggengkan dzikrullah tersebut tidak lain untuk melindunginya dari segala bentuk keculasan, maksiat dan kejahatan-kejahatan yang mengintainya. Termasuk di dalamnya menghindarkannya dari bisikan dan godaan Setan yang terkutuk.

Kedua, orang-orang yang berjalan menuju masjid. Orang-orang yang memiliki tekad dan niat yang tulus berusaha memakmurkan masjid akan senantiasa dilindungi oleh Allah SWT dari kejahatan, halau rintangan dan kesusahpayahnya dalam hidup.

Setiap langkah kaki yang menapaki jalan menuju masjid dihitung berlipat-lipat pahala dan keberkahan hidup yang dijanjikan oleh Allah SWT. Dalam konteks ini ketenangan batin dan kelancaran dalam mengerjakan segala sesuatu kebaikan menjadi salah satu tanda diberkahinya hidup kita.

Sementara yang terakhir yakni orang-orang yang berjihad di jalan Allah akan senantiasa dilindungi oleh Allah SWT. Makna jihad di jalan Allah di sini sudah barang tentu memiliki banyak bentuk perwujudannya, tergantung konteks yang sesuai dengan keadaan subjeknya.

Misalnya saja, bagi seorang pelajar, jihad di jalan Allah tersebut bisa dimaknai dengan menunaikan kewajibannya untuk menuntut ilmu di manapun ia belajar dengan bersungguh-sungguh.

Membagi waktu yang seimbang (porposional) antara kebutuhan pokok utama, bergaul dengan sesama teman hingga kapan waktu yang tepat untuk bermain. Menjalankan tugas, kewajiban dan kebutuhan antara raga dan jiwa tidak pernah lepas dari kontrol yang ketat dan penuh kehati-hatian.

Adapun jihadnya seorang pembelajar bahasa kehidupan ialah berusaha menegakkan keadilan, amar makruf nahi mungkar dan menyadari hakikat hidup sebagai seorang hamba untuk senantiasa menebar kasih sayang serta mengagungkan kebesaran Tuhannya.

Termasuk di dalamnya, membudayakan literasi positif menjadi gaya hidup sehat. Lebih tepatnya tatkala kita membaca, menulis dan mendengarkan sebenarnya sedang mendayagunakan anugerah akal pikiran, mengolah perasaan, kedua tangan, sepuluh jemari, indera penglihatan dan pendengaran dapat dikategorikan sebagai jihad dalam menegakkan kalimatul haq.

Upaya menyampaikan informasi dan ilmu pengetahuan yang telah dititipkan Tuhan kepada sebagian makhluknya. Bagaimanapun tidak menutup kemungkinan, bisa jadi melalui rangkaian kalimat yang kita tenun seseorang mampu tersadarkan, termotivasi dan merubah haluan hidup setiap pembacanya.

Percaya atau tidak, setiap masing-masing orang memiliki peran penting dan keterlibatan dalam memberi pengaruh guna melancarkan dinamika kehidupan untuk menjadi lebih baik. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun