Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ketika Abraham Hanya Garang di Luar Sulawesi

14 Januari 2014   16:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50 159 0
Ketika Abraham Hanya Garang Di Luar Sulawesi

SIAPA yang tak kenal Abraham Samad? Dia adalah sosok putra ayam jantan dari timur yang kini berkiprah di level nasional sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mungkin hanya orang bodoh saja yang tidak tahu. Sejak 16 Desember 2011, nama Abraham mulai melejit dan menjadi bahan pembicaraan.

Tak hanya di negeri ini, melainkan di kancah internasional sekalipun terperdaya melihat watak putra Sulsel kelahiran 1966 yang memiliki ketegasan dan keberanian membongkar mafia penguras uang negara.

Hasilnya, tak sedikit kepala daerah, pejabat BUMN, menteri termasuk pejabat tinggi lembaga negara ikut terjaring serta terseret masuk dalam balik jeruji besi milik lembaga super body akibat perbuatan korupsi.

Namun perjuangan Abraham menakhodai KPK selama hampir 3 tahun terakhir dalam pemberantasan korupsi dianggap belum maksimal, bahkan ada yang menilai diskriminatif atau tebang pilih. Mengapa hingga kini belum ada satu pun kasus di Sulselbar yang serius dijamah, justru sibuk dengan kasus di pusat dan daerah lainnya. Entah apakah ini realita atau fakta? Hanya Tuhan dan KPK sendiri yang tahu.

Padahal, kita masih ingat saat baru dilantik, dirinya akan membersihkan kampung halamannya. Namun, janji itu seolah tinggal janji, apalagi masa jabatannya tinggal dua tahun lagi.

Dia terkesan takut dan tak memiliki daya serta upaya mengusut kasus-kasus korupsi di kampung halamannya sendiri. Padahal di Sulsel “perampok” uang negara, baik melalui APBD maupun APBN cukup besar dan menyita banyak perhatian aktivis lembaga anti korupsi.

Apakah karena kerugian negara yang ditimbulkan di Sulsel sangat sedikit sehingga menjadi alasan pembenaran Abraham Cs tidak mengobrak-abrik Sulsel?

Apa sih sebenarnya tugas dan fungsi KPK dibentuk? Jika fungsi KPK hanyalah pencegahan dan penindakan, kenapa Abraham Cs masih saja menutup mata melihat tingkah laku para pejabat di Sulselbar yang seringkali ikut mencicipi uang haram dari APBD dan APBN dengan berdalih uang tersebut adalah dana hibah.

Sepertinya, KPK hanya berbodi beras (super body) tapi isinya keropos.

Sikap Abraham yang seolah-olah tidak punya nyali menyelesaikan beberapa sengketa korupsi di tanah daeng, memantik reaksi keras beberapa penggiat anti korupsi di Makassar yang selama ini merupakan kawan seperjuangan Abraham sebelum terpilih sebagai Ketua KPK.

Kritikan bahkan sindiran dari kawan-kawan seperjuangan Abraham di Makassar mengalir deras hingga ke dunia maya. Namun ada juga dari mereka mengapresiasi ketegasan dan keberanian Abraham menangkap para koruptor kelas “kakap” di negeri ini.

Tetapi tak jarang juga, mereka mempertanyakan Abraham yang dinilainya hanya berani di luar “kandang”. Tetapi mati suri di rumah sendiri (Sulsel).

Berikut penilaian para sahabat Abraham, baik yang berprofesi sebagai dosen, pengacara bahkan NGO yang menuding pimpinan lembaga “super body” ini loyo di Makassar.

Sebut saja Ketua LP Sibuk Djusman AR dalam akun facebooknya yang diposting 20 Desember lalu, ia mempertanyakan perkembangan kasus korupsi PDAM Kota Makassar yang sudah diambil alih KPK lantaran Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel dianggap tidak becus menyelesaikan perkara yang diduga banyak melibatkan pejabat teras Pemkot Makassar.

Berdasarkan temuan dan hasil perhitungan BPK RI, total kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara itu mencapai Rp520 miliar lebih.

Pertanyaan ini rupanya mendapat respon dari sejumlah pengamat dan pengiat anti korupsi. Seperti, Prof Dr Marwan Mas yang merupakan guru besar fakultas hukum Universitas 45 Makassar.

Sindiran mengenai perkara PDAM, kemudian dijawab Marwan. Dalam tulisannya ia menyebut Ketua KPK perlu diselidiki, KPK buai kita dengan kasus besar di Jakarta dan daerah lain, tetapi loyo di Makassar.

Bahkan dengan nada ekstrim Marwan Mas mengatakan “dari satu sisi KPK berani dan tegas, tapi dalam hal-hal khusus tetap ada yang ditutupi, tidak ada sosok yang betul-betul bisa dipercaya.”

Kritikan pengamat hukum tersebut kemudian ditimpali oleh Hapsa Marala bekas wartawan. Dia menyebut, “satu per satu tauwa dulu prof…” Marwan dengan sigap balik menjawab, “satu persatu ok.. kita dukung, tetapi sampai akhirnya yang satu itu disamarkan dengan ungkap kasus lain sampai dilupakan… krn ada yg ditutupi…. hehehehe.”

Djusman menambahkan, bahwa “aneh rasanya jika hanya kampung seberang yang engkau obok-obok, sementara di kampungmu mati suri. Apa sudah masuk angin dikampung sendiri. Nasional-nasional tapi bukan berarti melupakan kampung sendiri apalagi anda cukup tahu kasus-kasus yang dimaksud.”

Marwan membenarkan pernyataan Djusman yang merupakan sahabat dekat Abraham. Dalam akun facebook Djus AR, Marwan mengatakan, “kasus-kasus itu seringkali dikoar-koarkan dulu. Saat masih bersama di kampung kita. Jadi benar dugaan banyak orang, kasus PDAM yang sebetulnya sudah disentuh (penyelidikan) akan dijawab enteng “kekurangan penyidik”.”

“Begitu pula kasus CCC dan BPN. Ternyata kekuasaan di pusat bisa membuai untuk melupakan kampung sendiri yang sebetulnya banyak juga orang-orang korupnya yang dulu sama2 kita kritisi. Mungkin terlalu kecil “gaungnya” atau tidak menasional kasus korupsi Makassar diungkap.”

“Jangan cari aman di kampung sendiri dong? Kecuali tujuanmu hax cari popularitas nasional….jgn pernah mengatakan dia konsisten dan pemberani jika dikampungx loyo…kata Djusman. Kawan sendiri jika mengecewakan patut di kritik.”

Sindiran dan kritikan tersebut dengan enteng dijawab bekas sekretaris pribadi Abraham Samad, Wiwin Suwandi. “Bapak dan Ibu yg terhormat, sy yakin otokritik dlm komentar ini mrupakan dialektika demokrasi untuk mwjudkan pnegakan hukum yg efektif. Mskipun dmikian otokritik trsebut tdk srta merta mnjdi ‘tudingan’ yg tndensius, aplagi frontal ‘menyerang’ seorang.”

Inilah beberapa otokritik dan sindirian terhadap ketua KPK yang dianggap tidak memiliki power sedikit pun mengusut tuntas kasus korupsi yang terjadi di Sulsel. Sebenarnya bukan hanya kasus korupsi PDAM sendiri yang dipertanyakan. Banyak perkara korupsi di Sulsel yang mesti diusut KPK.

Karena dua lembaga hukum di Sulsel, baik Kepolisian dan Kejaksaan sepertinya sudah dinilai tidak lagi dipercaya melakukan pemberantasan korupsi. Malah berkas kasus korupsi yang diduga banyak melibatkan pejabat justru terkesan “bolak-balik”.

Berdasarkan data Anti Corruption Committee (ACC) Sulsel 2013, ACC Sulawesi melakukan pemantauan dan menemukan berbagai kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di sejumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan (Sulsel).

Penanganan kasus-kasus tersebut masih tidak bergeser dari kasus yang terjadi di tahun sebelumnya. Dengan kata lain, kasus yang ditangani oleh penegak hukum dalam hal ini Polda Sulselbar dan Kejaksaan Tinggi Sulsel tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Seperti kasus dugaan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) tahun 2008, kasus dugaan korupsi pembebasan lahan CCC, kasus dugaan korupsi proyek Gernas Kakao, kasus dugaan korupsi pengadaan barang cetakan KPU Sulsel dalam Pilgub Sulsel 2012, dugaan korupsi Rp 100 miliar oleh PTPN XIV, dan kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Potong Hewan (RPH) Makassar senilai Rp1,3 miliar.

Berdasarkan catatan sejumlah lembaga anti korupsi termasuk ACC Sulawesi, 2013, terdapat 25 kasus korupsi yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Sulsel dan belum tuntas, diantara sejumlah kasus tersebut terbagi dalam beberapa sektor korupsi yakni, korupsi bersumber dari APBD sebanyak 15 kasus, dan APBN 14 kasus.

Dari sejumlah kasus tersebut dalam catatan ACC, hanya sekitar 30% kasus yang sementara dalam proses hukum, baik dalam penyelidikan, penyidikan ataupun masuk dalam tahap penuntutan.

Diantara sejumlah dugaan kasus korupsi tersebut pada umumnya ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Sulsel. Meskipun belum tuntas namun Kejati Sulsel relative lebih memperlihatkan langkah penanganannya meskipun kemudian masih tetap disupervisi oleh KPK.

Supervisi ini adalah indikator masih lemahnya penanganan kasus korupsi di Kejati. Kendatipun demikian, Kejati masih relative lebih transparan dalam hal memberikan informasi kasus korupsi yang ditangani, ketimbang Polda Sulselbar yang terksan tertutup.

Dalam konteks SDA, penegak hukum juga belum memperlihatkan “taji†nya memberantas korupsi di sektor ini, padahal sejumlah perusahaan tambang berskala Internasional melakukan eksploitasi di Sulsel.

Jika dihubungkan dengan temuan KPK yang menyatakan sektor tambang adalah korupsi terbesar maka seharusnya penegak hukum dapat memulai menyisir korupsi di sektor ini.

Tahun 2014, Kejaksaan maupun Polda seyogyanya memfokuskan kasus korupsi di sektor SDA. Selain tambang kasus pengkaplingan laut di Pantai Losari juga belum jelas.

Korupsi di sektor APBD merupakan bagian dari korupsi birokrasi (bureaucratic corruption). Korupsi birokrasi adalah salah satu varian dalam pengertian dan praktik korupsi secara luas.

Korupsi birokrasi, jika mengacu pada terminologi Meier and Holbrook (1992:138), terjadi ketika pengambilan keputusan di tingkat birokrasi tidak melibatkan kepentingan umum (publicinterest), sebaliknya kepentingan politik oleh pihak yang berkepentingan.

Selain karena kultur birokrasi yang sarat dengan KKN, lemahnya pengawasan instansi terkait, lemahnya sanksi yang dijatuhkan, turut berperan dalam praktik korupsi ini.

Tahun 2014 mendatang, sebaiknya jangan hanya kejaksaan dan kepolisian saja yang ikut memonitoring perkembangan kasus korupsi di Sulsel. Melainkan lembaga seperti KPK, apalagi ketuanya merupakan putra Sulsel, sebaiknya turun tangan langsung. Jangan hanya garang di Jawa dan sekitarnya. Sulsel juga harus diperhatikan.

Tapi masihkah Abraham Samad dua tahun kedepan mati suri atau menjadi macan yang sudah tumbuh giginya untuk bisa menggigit para pelaku korupsi di kampung halaman sendiri? Salam anti korupsi. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun