Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Artidjo Alkostar, Sang Bintang Keadilan yang Pergi Menjelang Hari Kehakiman Nasional, Sebuah Pertandakah?

4 Maret 2021   23:03 Diperbarui: 4 Maret 2021   23:24 279 8
Kabar duka yang hadir dari dunia hukum Indonesia pada 28 Februari 2021 seakan menghentakkan seluruh masyarakat anti korupsi. Sang bintang keadilan, Artidjo Alkostar telah pergi untuk selama-lamanya.

Kematian Artidjo hanya selang sehari sebelum Hari Kehakiman Nasional yang jatuh pada tanggal 1 Maret 2021. Mungkin hanya kebetulan tapi bisa juga menjadi sebuah pertanda bagi penegakan anti korupsi.

Jika melihat ulang sejarahnya, Hari Kehakiman Nasional ditetapkan setelah PP nomer 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim muncul pada bulan Maret 2012. Sejak itulah 1 Maret diperingati sebagai Hari Kehakiman Nasional.

Sampai era Orde Baru boleh dibilang kekuasaan kehakiman Indonesia dibelenggu sedemikian rupa. Belum ada aturan tertulis mengenai hak-hak seorang hakim. Hanya ada tercantum mengenai tanggung jawab seorang hakim.

Setelah era reformasi bisa dikatakan menjadi tonggak awal munculnya aturan-aturan terkait profesi hakim. Puncaknya yaitu di bulan Maret 2012 dengan adanya PP Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang baru ditetapkan pada tanggal 29 Oktober 2012.

Gaung Hari Kehakiman Nasional ini seperti tenggelam oleh berita kematian mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Saat ini beliau masih merupakan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan korupsi untuk periode 2019-2023.

Sebagai mantan Hakim Agung yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI, beliau banyak mendapat sorotan. Berbagai keputusan yang diambil sering kali berbeda pendapat dengan hakim lain di banyak kasus besar yang ditanganinys. Sehingga issue dissenting opinion mengemuka di zaman beliau.

Artidjo yang lahir di Situbondo pada tanggal 22 Mei 1948 mengambil gelar Sarjana Hukumnya di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Sementara gelar Master Hukumnya diselesaikan di North Western University di Chicago.

Tidak banyak yang tahu bahwa asal nama Artidjo berasal dari Artijja yang berarti tukang protes. Sedangkan Alkostar berasal dari Alkautsar yang salah dilafalkan oleh ayahnya saat akan dituliskan oleh petugas Catatan Sipil.

Kesederhanaan beliau ditunjukkan dalam tingkah laku sehari-harinya. Mulai dari mengontrak rumah sederhana dengan biaya sendiri di daerah Kramat Kwitang, Jakarta Pusat saat belum mendapat jatah rumah dinas. Hingga tak sungkan untuk naik ojek dan bajaj demi menuju kantor Mahkamah Agung sewaktu belum mendapat kendaraan dinas.

Artidjo Alkostar bak bintang keadilan yang menerangi kegelapan dunia peradilan di Indonesia. Dissenting opinion yang sering dilontarkannya sedikit banyak menggugah mata publik di tengah keraguan akan independensi hakim saat berhadapan dengan kasus-kasus korupsi.

Selama berkarier sebagai hakim, Artidjo tidak pernah sekalipun mengambil cuti. Beliau sudah menangani 19.708 berkas dan menyelesaikan 1.095 perkara setiap tahunnya.

Artidjo yang pernah menjadi pengacara Human Right Watch divisi Asia di New York dari tahun 1989 sampai 1991 ini pernah menangani deretan kasus besar korupsi yang berhasil diputus olehnya, sebagian melibatkan tokoh-tokoh penting.

Diantaranya adalah Lutfi Hasan Ishaaq yang merupakan mantan presiden PKS, Akil Mochtar seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Anas Urbaningrum seorang mantan Ketua Partai Demokrat, Annas Maamun mantan Gubernur Riau dan Irjen (Pol) Djoko Susilo mantan Kakorlantas Polri.

Selain itu ada nama Angelina Sondakh mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ratu Atut Chosiyah mantan Gubernur Banten, Tubagus Chaeri Wardana adik mantan Gubernur Banten, Tommy Hindratno eks pegawai pajak dan pengacara kondang OC Kaligis.

Artidjo telah memutus untuk memperberat kasus korupsi yang melibatkan Angelina Sondakh dari yang semula 4 tahun menjadi tiga kali lipatnya yaitu 12 tahun. Keputusan revolusioner yang membuat gentar para koruptor yang berniat untuk mengajukan banding.

Ketegasannya saat melakukan perbedaan pendapat dengan hakim lainnya sering sekali ia lakukan. Seperti saat Artidjo menjadi satu-satunya hakim yang melakukan dissenting opinion pada perkara korupsi Bank Bali yang melibatkan Joko Tjandra. Dan opini penolakannya masuk di dalam berkas putusan.

Bagaikan bintang di lautan keadilan, ia berusaha menjadikan putusan-putusannya acuan dan pedoman arah agar para hakim dapat melihat kebenaran dengan lebih jernih dan jelas.

Sayangnya semenjak beliau pensiun dari tahun 2018 hingga sekarang ini tidak terdengar gebrakan dari para hakim lain penerusnya. Penegakan korupsi seperti jalan ditempat.

Sebuah tanda tanya besar muncul saat Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, Artidjo meninggal dunia pada 28 Februari lalu yang disebabkan oleh penyakit jantung dan paru-paru menjelang momen sakral bagi dunia peradilan yaitu Hari Kehakiman Nasional yang jatuh pada 1 Maret.

Apakah ini menjadi pertanda akan datangnya kematian dari penegakan keadilan bagi kasus-kasus korupsi?
Mengingat hingga saat ini belum terlihat adanya hakim-hakim penerus yang memiliki ketegasan, keberanian, kejujuran sekaligus kesederhanaan seperti beliau.

Mungkin ini hanya prasangka buruk saja yang semoga tak akan terjadi. Yang hadir dari harapan dan kerinduan akan sosok hakim yang nyaris sempurna seperti beliau.

Bagaimanapun selamat jalan pak Artidjo Alkostar, sang Bintang Keadilan. Doa kami seluruh rakyat Indonesia menyertaimu.


Tangerang, Maret 2021
Mahendra Paripurna

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun