Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pulih Bersama Pilihan

Presidensi G20 Indonesia: Momentum Diplomasi Jalan Ketiga di Tengah Persaingan Global AS-Rusia

31 Juli 2022   23:58 Diperbarui: 1 Agustus 2022   00:16 243 25
Presidensi Indonesia di G20 pada 2022 memang sangat berbeda ketimbang presidensi G20 pada 2020 dan 2021. Perbedaan itu lebih didasarkan pada tantangan eksternal, yaitu perang Rusia-Ukraina.

Sedangkan persamaannya adalah ketiga negara menghadapi pandemi Covid-19 yang menyebar ke seluruh dunia sejak awal Maret 2020. Persamaan itu menjadi alasan utama bagi ketiga negara tuan rumah G20 berupaya menyusun agenda kerjasama multilateral.

Agenda utamanya tentu saja adalah pemulihan ekonomi global dari dampak pandemi. Agenda itu diterjemahkan Presidensi Indonesia ke dalam tema 'Recover Together, Recover Stronger". Ada beberapa agenda di Presidensi Indonesia merupakan kelanjutan pembahasan dari Presidensi sebelumnya.

Sedangkan, tantangan dari perang Rusia-Ukraina mendesak Presidensi Indonesia mengambil langkah berbeda ketimbang Presidensi sebelumnya. Setidaknya ada tiga langkah yang secara umum menjadi pilihan negara-negara anggota G20.

Masing-masing pilihan kebijakan itu menunjukkan kemampuan tiap negara berdiplomasi dalam pusaran dampak perang Rusia-Ukraina. Dampak perang itu secara politik dan keamanan adalah perkubuan di antara berbagai negara, yaitu pertentangan antara pendukung Rusia dan pendukung Ukraina.

Kubu pendukung Ukraina adalah Amerika Serikat (AS) dan anggota NATO di daratan Eropa. Kelompok ini menentang agresi Rusia ke Ukraina. Sedangkan pendukung Rusia adalah negara-negara sahabatnya, seperti China, Myanmar dan seterusnya.

Di antara kedua kubu itu, ada juga kubu negara-negara netral. Dalam kerangka kerjasama forum ekonomi global G20, ketiga kubu itu mencerminkan pilihan-pilihan diplomasi. Salah satu negara netral inj adalah Indonesia.

Tiap pilihan diplomasi itu memiliki konsekuensi berbeda. Konsekuensi itu dapat dilihat pada perilaku tiap anggota dalam berbagai perundingan G20 yang merupakan bagian signifikan dari dukungan mereka terhadap perang Rusia-Ukraina.

Dalam pusaran dampak perang itu, anggota-anggota G20 setidaknya bisa dikelompokkan ke dalam tiga sikap atau respon.

Jalan Pertama

Diplomasi jalan pertama ini merujuk pada perilaku aktor-aktor negara di G20 dalam merespon perang Rusia-Ukraina. Dalam studi Hubungan Internasional (HI), jalan diplomasi ini disebut sebagai realisme.

Dalam pendekatan realisme, negara dianggap sebagai aktor satu-satunya dalam hubungan internasional. Negara adalah satu-satunya aktor yang menentukan situasi perang dan damai.  

Organisasi internasional berbasis negara, seperti PBB, tidak mampu berbuat sesuatu untuk mendamaikan kedua negara dan berbagai kepentingan globalbdi sekitarnya. Begitu pula aktor organisasi non-negara international juga bersikap diam melihat perilaku negara.

Dalam pendekatan ini, hubungan internasional berada dalam situasi anarki. Situasi global anarkis itu dapat diletakkan pada dampak serangan Rusia ke Ukraina. Perang tidak sekedar  melibatkan kedua negara, namun juga mengundang kepentingan negara-negara besar lainnya.

AS dan negara-negara anggota NATO menjadi pendukung Ukraina dan penentang utama Rusia. Alih-alih berinisiatif menciptakan peluang-peluang damai, AS dan pendukungnya justru mempersenjatai Ukraina dan menutup ruang dialog dengan Rusia.

Sebaliknya, Rusia tidak menganggap upaya AS dan negara-negara pendukungnya Ukraina sebagai sinyal untuk mengurangi dan, bahkan, menghentikan serangan ke Uraina. Rusia malah memperbesar serangan militer dan tekanan ekonomi-politik kepada Ukraina.

Lebih lanjut,  provokasi Rusia itu menimbulkan respon negara-negara di sekitar Ukraina dan Rusia ingin bergabung dengan NATO dan mendapatkan dukungan militer AS.

Dalam forum-forum perundingan G20, AS berusaha keras memperluas perang Rusia-Ukraina. AS dan pendukungnya di G20 menekan negara-negara anggota lainnya agar menegaskan dukungan kepada Ukraina dan menolak keras Rusia.

AS, bahkan, melakukan berbagai upaya mengeluarkan Rusia dari G20. Target minimal AS adalah menolak kehadiran Rusia, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin di KTT G20 pada November mendatang.

Di perundingan-perundingan G20, AS menunjukkan penolakannya kepada kehadiran perwakilan Rusia. Pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral menjadi langkah pertama AS. Lalu, pertemuan para Menteri Luar Negeri G20 di Bali menjadi upaya kedua.  

Jalan Kedua
Jalan diplomasi kedua adalah upaya negara-negara yang kebetulan juga anggota G20 memblokade Rusia di bidang ekonomi dan lain-lain yang non-politik keamanan. Sekali lagi, AS dan negara-negara pendukungnya menjadi motor utama di jalan kedua ini.

Dalam studi HI, perilaku ini biasanya merujuk pada pendekatan neo-realisme. Pendekatan ini masih berakar pada realisme, yaitu negara sebagai satu-satunya aktor internasional. Namun demikian, perilaku negara tidak terbatas di ranah politik dan pertahanan. Negara mulai menerapkan otoritas atau aturan main yang telah dibuat selama ini di bidang non-politik dan pertahanan. Oleh karena itu, pendekatan ini disebut sebagai neo-realisme.

Salah satu aturan main global itu berada di bidang ekonomi. Mengetahui bahwa diplomasi jalan pertama tidak berhasil, AS dan pendukungnya melakukan boikot ekonomi global kepada Rusia. Berbagai bisnis global di Rusia diminta keluar dari negara itu sebagai upaya menghukum negara agresor itu.

Selain itu, Rusia Dikeluarkan dari keanggotaannya di berbagai organisasi internasional. AS dan sekutunya menerapkan kebijakan winners take all. Semua hal yang berbau Rusia dihilangkan. Ekspor Rusia dihambat, sehingga produk energi dan pangan negara itu tidak bisa lagi diperoleh berbagai negara dengan mudah, seperti sebelum tindakan boikot AS dan sekutunya.

Seperti di jalan pertama, Indonesia juga menolak tekanan AS agar Indonesia tidak mengundang Rusia ke berbagai perundingan G20. Sebaliknya, Indonesia menerima tekanan AS dan sekutunya agar mengundang Ukraina. Sebagai Presidensi G20 pada 2022, Indonesia berketetapan mengundang semua anggota.

Bagi Indonesia, kehadiran Rusia dan Ukraina justru memberikan peluang-peluang perdamaian. Dialog kedua negara juga dapat dimanfaatkan untuk membuka hambatan ekspor produk energi dan pangan dari kedua negara. Indonesia memandang kehadiran kedua negara yang berperang justru mendukung tema utama G20, yaitu "Recover Together Recover Together."

Jalan Ketiga
Melalui Presidensi G20, Indonesia memilih tetap memegang doktin bebas aktif dalam politik luar negeri. Berbeda dengan realisme dan neo-realisme, jalan diplomasi Indonesia pada Presidensi G20 ini cenderung berada di jalur konstruktivisme dalam studi HI.

Berdasarkan pendekatan ini, Indonesia melalui G20 memilih berkutat pada upaya-upaya multilateral untuk menyusun aturan main bersama yang bersifat terbuka dan tidak memihak atau no party left behind. Imparsialitas aturan main itu diwujudkan dengan tetap mengundang Rusia dan juga Ukraina.

Tema "Recover Together, Recover Stronger" pada awalnya memang merujuk pada upaya pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Namun demikian, perang Rusia-Ukraina mulai 24 Februari 2022 mendorong Indonesia memainkan peran lebih substansial pada agenda setting bagi pemulihan ekonomi global melalui Presidensi di G20.

Salah satunya adalah mencari solusi global terhadap berbagai persoalan yang muncul sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina. Sebagaimana diketahui bersama, perang itu menimbulkan krisis energi dan bahan pangan.

Pemerintah Indonesia memilih untuk tidak mengikuti tekanan dan desakan AS, yaitu tidak mendukung salah satu pihak yang berperang dan tidak ikut menjatuhkan sangsi atau boikot terhadap kepentingan Rusia di Indonesia.

Begitu juga dalam menjalankan Presidensi G20, Indonesia lebih memilih menggunakan forum ekonomi global itu melalui perundingan agenda pokok G20 pada 2022 ini. Tiga agenda itu adalah kesehatan yang inklusif, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi.

Dalam rangka pilihan diplomasi itu, Presidensi Indonesia lebih berkomitmen menghadirkan semua anggota G20 dan mengundang Ukraina pada berbagai perundingan G20. Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan diri untuk memoderasi perbedaan dan persaingan kepentingan di antara anggota G20.

Selain itu, Indonesia mendorong banyak inisiatif kerjasama multilateral sebagai solusi terhadap dampak dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia Ukraina. Dengan tetap berkomitmen pada agenda pokok G20 itu, Indonesia menggunakan jalan diplomasi ketiga untuk menjalankan presidensinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun