Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Pengalaman Indonesia dalam Penyelesaian Krisis Domestik di Myanmar

23 Februari 2021   22:25 Diperbarui: 24 Februari 2021   08:27 525 29
Krisis Myanmar pada saat ini sedang menjadi sorotan negara-negara anggota ASEAN dan negara-negara besar mitra ASEAN. Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Retno Marsudi, sedang melakukan shuttle diplomasi atau diplomasi ulang-alik ke beberapa negara untuk memperoleh dukungan menyelenggarakan pertemuan menteri-menteri luar negeri se-ASEAN.

Diplomasi Indonesia itu merupakan kelanjutan dari hasil pertemuan antara Presiden Jokowi dan PM Malaysia Muhyiddin Yasin pada 5 Februari lalu. Mereka berinisiatif tentang perlunya pertemuan khusus antar-menteri luar negeri se-ASEAN untuk membahas kondisi di Myanmar.

Kedekatan antara Myanmar dan Indonesia telah membuat Myanmar memberi peluang kepada Indonesia untuk membantu penyelesaian krisis domestiknya. Salah satunya adalah krisis terkait etnis Rohingya di Myanmar. Yang terakhir adalah di tahun 2017-2018 ketika Indonesia 'memaksa' ASEAN memasukkan krisis itu sebagai agenda pada KTT di Filipina.

Tentang sejarah awal etnis Rohingya di Myanmar, perlakuan pemerintah Myanmar, kontroversi perilaku Daw Suu Kyi, dan tekanan internasional selama ini dapat dibaca di beberapa sumber lain.

Dalam diplomasi regionalnya, Indonesia telah berperan penting dalam berbagai krisis domestik di Myanmar. Peran Indonesia itu tentu saja mendapat 'lampu hijau' dari pemerintah Myanmar. Dalam penyelesaian krisis Rohingya 2017, diplomasi Indonesia dilakukan dalam kerangka mekanisme regional ASEAN dan bilateral.

Pertama, KTT ASEAN
Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-31 ASEAN di Filipina pada November 2017 merupakan bukti keseriusan Indonesia mendukung penyelesaian krisis. Inisiatif Indonesia memasukkan krisis Rohingya di Myanmar merupakan upaya mewujudkan sentralitas ASEAN. ASEAN sebagai satu-satunya organisasi regional di kawasan ini harus menjadi solusi dari berbagai masalah di Asia Tenggara. Jadi, ASEAN benar-benar diuji kapasitasnya dalam menyikapi isu krusial ini.

Walaupun KTT tersebut tidak memberikan hasil memuaskan pada perhatian ASEAN terhadap isu kemanusiaan bagi etnis Rohingya, namun setidaknya perilaku negara-negara anggota ASEAN sudah terbaca sejak sebelum KTT di Philippine International Convention Center (PICC), Manila.

Di satu sisi, anggota ASEAN secara individual enggan mengangkat isu Rohingya ke tingkat regional. Alasannya adalah kekhawatiran bahwa simpati kepada etnis Rohingya akan menimbulkan risiko pada prinsip non-interference ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN khawatir simpati itu dianggap Myanmar sebagai upaya mencampuri urusan dalam negerinya.

Di sisi lain, negara-negara ASEAN cenderung lebih menerima pada upaya kemanusiaan Indonesia untuk menggalang dukungan pada etnis Rohingya. Bagi Myanmar, kecenderungan perilaku negara-negara ASEAN itu lebih bisa diterima mengingat kompleksitas isu itu di tingkat domestik negara itu, termasuk kontroversi terhadap posisi Aung San Suu Kyi sebagai penerima hadiah Nobel.

Bagi Indonesia, dukungan terhadap etnis Rohingya dapat dilakukan dengan menggalang kekuatan negara-negara ASEAN atau multilateral lainnya untuk bisa memberikan pressure (tekanan) individual dan regional terhadap Myanmar.
 
Sementara itu, pada sidang pleno KTT ASEAN (13/11/2017), Presiden Joko Widodo mendesak agar krisis kemanusiaan di negara bagian Rakhine, Myanmar segera diselesaikan. Harapannya adalah agar The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on disaster management (AHA Centre) dapat diberikan akses secara penuh untuk dapat membantu.

Kedua, Formula 4+1
Desakan pemerintah Indonesia itu merupakan kelanjutan dari usulan formula 4+1 untuk mengatasi konflik kemanusiaan di Rakhine State. Sebelum KTT itu, Menlu Indonesia Retno L.P. Marsudi telah bertemu State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi, di Myanmar Senin (4/9/2017).

Dalam pertemuan itu, Menlu RI mengusulkan Formula 4+1, yakni: (i) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (ii) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (iii) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama; dan (iv) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.

Empat elemen pertama itu merupakan elemen utama yang harus segera dilakukan agar krisis kemanusian dan keamanan tidak semakin memburuk. Lalu, satu elemen lainnya adalah permintaan agar rekomendasi Laporan Komisi Penasehat untuk Rakhine State yang dipimpin oleh Kofi Annan dapat segera diimplementasikan.

Capaian penting dari misi diplomasi kemanusiaan Indonesia ini adalah disepakatinya Indonesia dan ASEAN terlibat dalam penyaluran bantuan kemanusiaan di Rakhine State.

Mekanisme penyaluran akan tetap dipimpin oleh Pemerintah Myanmar, namun melibatkan ICRC dan beberapa negara termasuk Indonesia dan ASEAN. Salah satu prinsip penting bantuan ini, yaitu bahwa bantuan harus sampai kepada semua orang yang memerlukan, tanpa kecuali, tanpa memandang agama dan etnis.

Diplomasi kemanusiaan Indonesia juga melibatkan aktor-aktor non-negara, yaitu sejumlah LSM Kemanusiaan Indonesia terhadap Myanmar. Mereka bergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar atau AKIM yang dibentuk pada 31 Agustus 2017.

Aliansi terdiri dari 11 organisasi kemanusiaan, yang memprioritaskan bantuannya pada empat hal, yaitu pendidikan; kesehatan; livelihood (ekonomi); dan relief. Aliansi telah berkomitmen memberikan bantuan sebesar USD 2 juta kepada warga di Rakhine.

Catatan Akhir
Penyelesaian atas krisis Rohingya itu sebenarnya menunjukkan kepercayaan Myanmar terhadap mekanisme ASEAN. Melalui ASEAN, penyelesaian krisis di negara anggota ASEAN selalu berpegang pada prinsip dasar non-interference dan sentralitas ASEAN.

Perkembangan itu menunjukkan bahwa prinsip dasar ASEAN dapat tetap dipertahankan dan diterapkan dalam penyelesaian krisis Myanmar pada saat ini. Kondisi Myanmar pada saat ini memerlukan dukungan ASEAN untuk mendorong pertemuan antar-menlu se-ASEAN. Pertemuan itu dapat dipandang sebagai upaya ASEAN untuk mengajak Myanmar berdialog sebagai wujud dari prinsip pelibatan konstruktif (constructive engagement).

Dengan pelibatan konstruktif itu, penyelesaian krisis politik Myanmar juga mendorong penyelesaian berbagai persoalan yang berkaitan dengan Rohingya dan vaksinasi Covid-19 di negara itu. Demonstrasi rakyat Myanmar mau tidak mau telah mengalihkan fokus penanganan kesehatan itu ke isu-isu politik sebagai akibat dari kudeta militer pada 1 Februari lalu.

Pada akhirnya, seperti ditegaskan Presiden Jokowi, ASEAN harus menjadi bagian dari penyelesaian masalah krisis di kawasan ini, termasuk di Myanmar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun