Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kemanakah Kita Menuju?

4 Mei 2014   04:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 29 0

Oleh : Luqman Wibowo*

Konon, seorang alim sekaligus sastrawan dari kasunanan Surakarta bernama Bagus Burham bergelar Raden Ngabehi Rangga Warsita, menerjemahkan sebuah karya peninggalan kerajaan Kediri yang disebut Serat Kalatida. Dalam karya ini, raja Jayabaya memberikan banyak gambaran keadaan masa depan negerinya dan terkenal dengan sebutan ‘Jangka Jayabaya’.

Banyak ramalan bumi nusantara diantaranya tentang kalung besi di pulau jawa dan zaman ketika orang-orang berjalan sambil bicara sendiri layaknya orang gila, serta keadaan negeri ini yang akan mengalami masa yang kacau dengan ciri tipisnya perbedaan antara yang baik dengan yang tidak. Maka, ia sendiri pun menganggapnya sebagai zaman edan.
Ramalan tentang adanya kalung besi di pulau jawa sudah menjadi kenyataan bagi para penafsir. Rel kereta api yang tertanam dari ujung barat (Cilegon) hingga ujung timur (Banyuwangi) pulau jawa itulah yang dimaksud kalung besi. Berkat kemajuan teknologi, akhirnya kita-pun bisa saling berkomunikasi dengan saudara kita yang berbeda tempat dalam waktu yang bersamaan. Seolah-olah, kita bicara sendiri layaknya orang tak berakal.

Seorang ahli hukum dan mantan anggota DPR Permadi dalam wawancaranya di media PENANTRA News (9/11) menyatakan bahwa ia begitu yakin dengan apa yang diungkap Rangga Warsita dalam Jangka Jayabaya karena sudah banyak yang terbukti. Ia menambahkan bahwa Indonesia sedang berada dalam masa goro-goro (Revolusi Sosial). Goro-goro berarti zaman banyak terjadi bencana. Bencana yang disebabkan oleh alam secara alami, juga karena ulah manusia sendiri.

Jati Diri Manusia

Jauh sebelum dunia modern lahir, sebagai mahluk yang berakal, manusia telah berhasil menemukan jati dirinya. Kesadaran menjadi tuan bagi tanah yang dipijak kemudian di implementasikan dan melahirkan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradaban. Sejarah mencatat bagaimana orang-orang mesopotamia mengalirkan air ke sawah dan ladang bahkan hingga dapur rumah warganya. Orang-orang mesir berhasil membuat sebuah piramida megah yang masih bisa saksikan hingga hari ini. Terdapat pula naga raksasa (Great Wall) di negeri kuning, konon menjadi satu-satunya bangunan yang bisa dilihat dari bulan.

Kemudian pada abad ke-7 dimana belahan dunia lain sedang mengalami masa kejumudan, Islam lahir membawa peradaban baru. Madinah yang berarti ‘beradab’ adalah sebuah ‘master plan’  peradaban manusia versi Islam dimana etika, hukum, perilaku, politik dan kekuasaan diperagakan dengan adil, dan mencapai puncak kejayaannya selama tujuh abad selanjutnya. Melalui Muhammad-lah pada akhirnya manusia kembali diberikan contoh bahwa manusia (dengan akalnya) yang memiliki kesadaran sebagai khalifah di bumi, dituntut untuk menerapkan keadilan semata-mata bentuk kepasrahan kepada ALLAH SWT.

Setelah ‘Pilot Project’ di Madinah berhasil dibangun, maka dimulailah ekspedisi – ekspedisi ke seluruh jazirah Arab, bahkan menembus hingga Afrika utara dalam rangka memperjuangkan Islam bagi seluruh umat (dakwah). Ekspedisi melalui perdagangan (ekonomi), persahabatan (politik) dan peperangan (militer) akhirnya membawa Islam dan bangsa Arab menguasai sepertiga dunia. Mulai dari semenanjung Iberia (Portugal dan Spanyol) hingga samarkand di India. Bagian utara Afrika hingga sebagian negara-negara laut hitam.

Mengutip pernyataan Huston Smith dalam Islam Doktrin dan Peradaban (1992) karya Cak Nur, “sikap pasrah (dalam bahasa Arab, Islam) adalah justru nama agama yang muncul ke permukaan melalui Al-Qur’an, namun masuknya agama itu kedalam sejarah menyebabkan ledakan politik paling hebat yang pernah disaksikan dunia”. Diakui Huston, Timur-Tengah dapat memimpin perabadaban tersebut tidak lain adalah buah pembebasan (kemerdekaan) individu yang berdampak pada pembebasan sosial pada masyarakat Arab.

Menurut Nurcholis Madjid dalam Islam Doktrin dan Peradaban (1992), kunci kemenangan Islam sehingga dapat memimpin peradaban adalah karena landasan (Tauhid) bagi individu yang kuat. Yakni pembebasan manusia atas belenggu (thagut) kepada sesuatu kemudian melakukan pengakuan terhadap kebenaran mutlak. Maka, menurut Cak Nur pembebasan dan pemurnian terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah jalan pertama manusia menuju kemerdekaan manusia dalam mencapai ke-adab-an nya.

Akibatnya, Madinah menjadi rumah bagi tiga agama samawi (Muslim, ahli kitab (Nashrani) dan Yahudi) dalam satu pemerintahan kota Madinah, menjadi contoh bagi generasi penerus Rasul dalam menjalankan pemerintahan. Aturan perang dan harta rampasannya (ghanimah) ditegakkan, mengelola hasil pertanian (zakat) dan menjaga baitul mal untuk negara walau sang amir hidup sederhana. Tidak ada penjarahan dan pengambilan paksa walau memiliki kekuatan untuk merebut. Bahkan umat Nashrani dan Yahudi mendapatkan keamanan menjalankan ibadahnya terutama di Yarussalem.

Perkembangan peradaban Islam menjadi imperium ini, mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti Abbasiah. Masa dimana kekuatan ekonomi – militer yang mapan sebelumnya, kemudian berkembang lebih jauh berkat adanya akulturasi ilmu pengetahuan umat muslim bersama pengetahuan Yunani (filsafat). Maka tersebutlah gudang-gudang ilmu di beberapa negeri yang dikuasai Islam pada saat itu. Seperti perpustakaan di Kordoba (Spanyol), Iskandariah (Istanbul/Turki), Al-Azhar (Mesir) dan lain-lain yang menjadi pusat pendidikan bukan hanya untuk umat muslim.

Epilog

Peradaban Islam yang terpecah dan runtuh pada abad ke-14 kemudian menjadi momentum baru bagi Eropa untuk kembali membangun peradabannya. Ilmu pengetahuan peninggalan Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averros) di Eropa (Imperiun Islam di barat) berhasil menjadi lokomotif bagi orang-orang Eropa untuk meninggalkan ‘ortodoksi buta’ agama. Eropa tidak berniat mengulang sejarah karena meninggalkan ilmu pengetahuan.

Berkat kemajuan ilmu pengetahuan Eropa, akhirnya ilmuwan barat berhasil menemukan kenyataan bahwa alam tidak statis. Alam semesta, begitu juga bumi mengembang sesuai dengan gaya dorong dan tekanan berasal dari energi internalnya (S Hawking : 1988) dan menjadi faktor alamiah yang memicu iringan bencana di bumi. Terutama sejak tsunami Aceh tahun 2004 melanda, beriringan pula gempa, banjir, longsor, dan gunung meletus melanda Indonesia yang berada di cincin Pasifik.

Namun, berbeda dengan negara barat dan Jepang yang cenderung menyiasati alam dan bersiap diri menghadapi rentetan bencana, Indonesia baru berhasil melahirkan perasaan pilu dan saling berbelas kasihan sebagai manusia. Bahkan sebagian dari kita menjadi lebih hipokrit (ciri Manusia Indonesia versi M Lubis : 1977) hingga bencana itu hanya layak jadi tontonan dan ajang kampanye tanpa respon yang begitu berguna. Meminjam istilah Indra Tranggono (dalam opini Kompas 1/2/2014) kita-pun pada akhirnya terjerat dalam degradasi peradaban. Kalap dan kemaruk menggaruk uang.

Zaman edan menurut Rangga Warsita dalam Serat Kalatida, adalah Hidup di zaman edan; gelap jiwa bingung; pikiran turut edan; hati tak tahan jika tidak turut; batin merana dan penasaran; tertindas dan kelaparan; tapi janji Tuhan sudah pasti; seuntung apapun orang yang lupa daratan; lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.
*Luqman Wibowo : mahasiswa Universitas Mathla’ul Anwar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun