Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Membidik Istana Air Karangasem dengan Lensa

17 Juli 2013   07:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:26 526 10

Setiap kali liburan sekolah tiba, kakiku semakin gatal saja. Tapi ini bukan penyakit lho. “Kaki gatal” dalam bahasa Manado, berarti orang yang suka jalan-jalan atau pesiar baik pribadi maupun bersama keluarga atau teman tanpa lelah.

“Yuk pesiar ke Bali” ajak teman saya saat tanggal kalender belum berubah merah alias hari libur sekolah yang lalu.

Lalu kami janjian bertemu di Bali. Bukan untuk pertama kali saya berlibur ke Bali. Kalau dihitung mungkin sudah lebih dari puluhan kali sejak pertama kali saya masih duduk di SMA ikut “study tour” sekolah. Jadi, rasa Bali dalam kamus jalan-jalan saya, bukan hal yang istimewa.

Singkat cerita, setelah berjumpa di Kuta, teman saya yang asli Bali, menawarkan diri untuk menjadi guide dan ia usul hari ini (13/7) pergi ke Taman Ujung, desa Tumbu, Karangasem, di ujung Timur Pulau Bali. Tanpa banyak alasan, kami sepakat. Saya sendiri rasanya kok belum pernah berkunjung ke Taman Ujung ini.

Dengan menggunakan kendaraan pribadi milik teman saya dari Bali, perjalanan ke Taman Ujung memakan waktu lebih dari dua jam. Itu sudah termasuk dengan kemacetan dan halangan perbaikan jalan di sepanjang by pass Denpasar.

“Kamu saya drop di sini, saya parkir mobil di bawah ya?” kata Gede. Lalu saya dan teman saya, turun dari mobil dan masuk melalui gapura berpintu. Di gapura itu tertulis “Taman Soekasada”.

Terbukanya pintu masuk dari atas ini, sangat kebetulan. Saat itu sedang ada foto prewed di bangunan kuno, yang disebut “Balai Kapal”. Konon menurut sejarahnya, Balai Kapal ini digunakan untuk memonitor kapal-kapal yang lewat di selat Lombok. Saya lega, karena Satpam memperbolehkan kami lewat pintu masuk atas ini, sebelum Satpam mengembok pintu masuk itu lagi.

Langit biru cerah, saat itu. Berdiri di Balai Kapal, keindahan landscape Taman Ujung begitu mempesona.Sebelah kiri, pegunungan Gunung Agung menyembul jadi latar belakang yang eksotik. Sebelah kanan terbentang laut biru selat Lombok. Dari ujung tangga balai itu, di bawah terlihat komplek Istana Air (Water Palace) yang luasnya sekitar 10 hektare. Menurut Satpam, dulu luas istana air ini hampir 400 hektare. Tapi karena terjadi “landreform” (Jaman Hindia Belanda) tanah luas itu dibagi-bagi ke masyarakat setempat.

Seperti tak ingin memejamkan mata karena indahnyaTaman Ujung, saya potret seluruh komplek Istana Air milik Putri Karangasem dari Raja Karangasem I Gusti Bagus Jelantik dengan gelarnya Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem (1909-1945).

Water Palace (lebih tersohor dengan sebutan Taman Ujung Karangasem) dibangun 1909 dan selesai 1921. Kalau melihat bentuk bangunannya, bisa diduga bahwa arsiteknya kolaborasi antara Belanda, China dan Bali.

“Arsitek Belanda namanya van Den Hentz. Dari China namanya Loto Ang. Seorang undagi, arsitek orang Bali juga dilibatkan. Tapi, besar perkiraan berasal dari Raja Karangasem sendiri” jelas Gede memberikan informasi pada kami.

Setelah puas melihat kompleks istana dari Balai Kapal, lalu saya turun melalui anak tangga dan kemudian belok ke kiri menuju ke Balai Bundar. Balai ini katanya dulu dipakai untuk Yoga Semedhi sang Raja. Sepanjang jalan menuju ke Balai Bundar, saya sempat memotret Balai Kambang (berada di sebelah kanan arah laut), tempat perjamuan yang berada di tengah kolam dan dihubungkan oleh jembatan beton kokoh.

Tak hanya itu yang saya lihat dan amati. Balai Gili, tempat peristirahatan keluarga Raja, yang berada di tengah kolam dengan dua jembatan penghubung pun tak luput dari bidikan lensa saya. Meletakkan bunga-bunga Jepun (Kamboja Hias) dan patung-patung khas Bali di pinggir kolam, makin mempercantik lingkungan Istana Raja Karangasem.

Langkah kaki saya terus berjalan memasuk bangunan Balai Gili. Di rumah peristirahatan raja itu terbagi dalam tiga ruangan. Ruang di sayap kiri, tengah dan sayap kanan. Setiap dinding ruangan ditempel foto-foto jadul keluarga Raja Karangasem.

Ruang sayap kanan, digunakan untuk ruang tidur dan ruang tamu pribadi dengan dilengkapi meja kursi antik kerajaan. Saat saya masuk di ruang ini, tampak beberapa Ibu-ibu beserta anaknya warga Bali berpakaian adat bali dengan kebaya Putih dan bawahan sapur batik warna coklat sedang berpose di tempat duduk untuk difoto oleh suaminya yang menggunakan udeng Destar Catur (hitam putih).

Kehadiran warga Bali di ruang peristirahatan raja itu, membuat suasana makin historis saja. Saya membayangkan suasana keluargaaan Sang Raja yang bercengkerama di ruangan ini penuh sukacita.

Sebenarya tak hanya warga Bali yang berkunjung saat itu, beberapa turis asing keluar masuk ke Istana Air. Demikikan juga terilhat rombongan wisatawan domestik sedang duduk-duduk di atas rumput sambil menikmati bekalnya. Istana Air sudah menjadi destinasi wisata unggulan di Bali.

Dari Balai Gili, saya dan teman-teman menyelusuri jalan setapak di pinggir kolam sehingga mendapatkan beberapa “angle” Balai Gili dengan leluasa.

Langkah saya dan teman-teman terhenti di sebuah tulisan yang diukir di atas batu, “Welcome to Water Palace”. Kemudian saya motret tulisan ini, dengan Balai Gili sebagai backgroundnya. Setelah itu, kami memutuskan untuk menuju ke tempat parkir melalui jembatan beton yang panjang dan lebar kurang lebih satu meter.

Kami berhenti sejenak di ujung jembatan karena saya melihat dua orang turis dan satu guide sedang melintasi jembatan itu untuk menuju ke istana. Setelah mereka lewat baru kami yang melintasi jembatan itu menuju tempat parkir kendaran.

“Tiket Masuk dewasa 5 ribu rp per orang. Karcis Restribusi Kendaraan Roda Empat, 2 ribu rp.Tiket Pengambilan Gambar pakai kamera DSLR 50 ribu rp per kamera. Untuk prewed, ditarik biaya 350 ribu rp. Kadang untuk prewed bisa dikenai 500 rb rp tergantung peralatan dan jumlah krunya” ungkap Gede sambil menyetir mobil ke arah kota Amlapura dan kemudian berbelok ke arah Denpasar (85 km).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun